Pancasila lahir melalui proses penyusunan yang sangat panjang dan penuh peluh, tidak mudah menyatukan argumen-argumen dari banyak kepala dan golongan, sehingga Pancasila bisa dijadikan satu rangkaian naskah yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.
“Ketuhanan Yang Maha Esa,” sekiranya itulah bunyi sila pertama Pancasila yang kita ketahui sekarang. Namun, apakah anda tahu bahwa naskah awal Pancasila sempat membubuhkan “tujuh kata” yang merujuk pada agama mayoritas, sehingga menimbulkan perdebatan yang berujung perang pena antar golongan Islam dan golongan nasionalis? Mari menyelami artikel kisah di balik perubahan dramatis ini dan temukan jawabannya.
Asal Mula Piagam Jakarta
Piagam Jakarta, atau yang termasyhur sebagai Jakarta Charter, merupakan rancangan awal dasar negara Indonesia yang dicetuskan oleh Panitia Sembilan dalam BPUPKI, yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 22 Juni 1945. “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” menjadi simbol bahwa golongan Islam ingin menekankan dasar negara dalam religius keislaman. Namun, naskah ini menuai kontra dari golongan nasionalis dan wakil-wakil dari Indonesia timur dengan tokoh Kristen dan Katolik juga ikut terlibat memperhitungkan frasa tersebut yang tidak mengakomodasi semua agama di Indonesia.
Perdebatan Antara Golongan Islam dan Nasionalis
Suasana semakin mencekam ketika sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945. Khawatir penegasan pada syariat Islam akan menimbulkan diskriminasi penganut agama selain Islam, sejumlah wakil dari Indonesia Timur mengintimidasi akan mengundurkan diri dari Republik Indonesia jika naskah tersebut tetap dipertahankan. Para tokoh nasionalis seperti Mohammad Hatta memiliki peran krusial dalam meredam ketegangan. Tokoh yang dijuluki sebagai Bapak Koperasi Indonesia ini menyadari pentingnya mengakomodasi semua agama di Indonesia demi mewujudkan persatuan bangsa di tengah keberagaman agama.
Peniadaan Tujuh Kata
Ki Bagus Hadikusumo ialah tokoh dari golongan Islam yang bersikukuh mempertahankan frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” agar tetap termaktub dalam naskah Piagam Jakarta. Setelah perdebatan alot dan diskusi panjang Hatta mengajukan peniadaan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang kemudian resmi digantikan pada 18 Agustus 1945 dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Tidak hanya melambangkan antusiasme toleransi persaudaraan lintas iman, perubahan ini juga mendeskripsikan kesungguhan para pendiri bangsa dalam merawat persatuan di tengah masyarakat yang beragam suku, budaya dan agama.