Mohon tunggu...
Azzatunnabila
Azzatunnabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2019, Universitas Negeri Jakarta

Diri Sendiri yang membuatnya sulit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penyebab Meningkatnya Pernikahan Dini Pada Remaja

20 Oktober 2021   12:40 Diperbarui: 20 Oktober 2021   12:43 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Wirda Azzatunnabila -- 1405619072

(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)

Pernikahan adalah wadah yang sah bagi pasangan untuk saling menyayangi, karena dibawah payung agama dan hukum mereka bebas menyalurkan kasih sayang mereka kepada pasangan tanpa takut melanggar nilai dan norma masyarakat. Indonesia sendiri memiliki batas umur pada warganya untuk melakukan pernikahan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pernikahan yang sah di mata hukum negara apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Namun, saat ini di Indonesia pernikahan dini mengalami kelonjakan yang cukup signifikan. Berdasarkan kadata.co.id pada catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 34.000 permohonan dispensasi pada Januari - Juni 2020, dimana sebanyak 97% permohonan dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak dibawah 18 tahun. Pernikahan dini dianggap sebagai jalan pintas untuk permasalahan yang ditimbulkan oleh pasangan (hamil di luar nikah), perjodohan, atau tradisi keluarga.

Lalu, sebenarnya kenapa pemerintah mematok usia tersebut sebagai usia legal untuk menikah? Karena pada usia tersebut dianggap sudah cukup dewasa dalam mengendalikan kehidupan pasca pernikahan. Bahkan menurut pihak pihak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa "Usia Perkawinan Pertama diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun".

Oleh karena itu, pernikahan dini sangat tidak dianjurkan oleh kesehatan karena organ reproduksi dan juga mental mereka yang belum siap untuk menyelesaikan masalah pernikahan kedepannya. Selain itu, pasangan juga harus siap untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan yang akan diketahui saat pernikahan itu terjadi.  

Penelitian UNICEF dan ICRW juga menunjukkan bahwa pernikahan dini yang menyebabkan pihak perempuan hamil dibawah umur juga akan melahirkan bayi yang prematur, komplikasi saat melahirkan, sampai kematian yang tinggi dari pihak ibu mapun anak. Ibu muda juga akan mengalami kebingungan identitas dengan teman sebayanya karena jika dibilang sebagai remaja tap nyatanya mereka sudah menjadi orang tua. Hal ini, akhirnya menyebabkan rasa cemas dan beban tanggung jawab terhadap anak mereka karena ilmu yang belum cukup.

Penelitian yang sudah dilakukan oleh organisasi terkait seharusnya bisa memberikan edukasi bagi orang tua dan remaja. Pada usia tersebut seharusnya mereka masih menikmati masa muda mereka untuk menempuh pendidikan yang tinggi dan meningkatkan mutu hidup mereka sendiri agar bisa meningkatkan kehidupan pernikahan mereka kelak saat umur mereka sudah cukup.

Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan remaja memutuskan untuk menikah?

Pertama, masih banyak di daerah Indonesia, orang tua yang melakukan perjodohan. Orang tua seringkali merasa bahwa mereka sepenuhnya berperan dalam menentukan masa depan anak mereka. Namun, kegiatan yang mereka lakukan sendiri pasti tidak sepenuhnya baik untuk anak mereka, contohnya adalah perjodohan. Perjodohan, mereka anggap sebagai salah satu jalan agar anak perempuan mereka segera menikah dan tidak perlu menuntut ilmu tinggi karena kodrat perempuan berada di sumur, kasur, dan dapur.

Sangat patriarki, padahal zaman sudah banyak berubah dan ibu Kartini yang berusaha untuk memperjuangkan emansipasi wanita masih tidak mendapatkan hasil yang maksimal pada wanita Indonesia. Perjodohan ini yang akhirnya banyak merugikan pihak perempuan karena dengan terikat pernikahan mereka tidak sepenuhnya bebas untuk menuntut ilmu dan mengembangkan kreativitas mereka. Padahal dengan pendidikan mereka bisa menjadi seorang ibu yang memiliki kematangan berpikir dalam membina rumah tangga dan mendidik anak mereka. Sering disebutkan juga bahwa keluarga adalah pendidikan pertama pada anak, sehingga ibu yang mendapatkan pendidikan bisa menjadi contoh yang baik untuk anak mereka ke depannya.

Kedua, pergaulan bebas. Saat ini, anak bebas mengekpresikan diri mereka pada banyak hal. Hal ini yang akhirnya membuat mereka kebablasan dalam berperilaku menyimpang, yaitu hamil di luar pernikahan. Lagi-lagi pihak yang dirugikan adalah perempuan karena perut yang akan membesar dan menjadi bahan gunjingan tetangga membuat mereka stress dan akhirnya saat masa kehamilan tidak siap secara mental dan fisik.

Selain itu, melakukan seks di bawah umur juga rentan mengalami infeksi pada rahim, sehingga bisa megalami kanker serviks pada 15-20 tahun kemudian. Laki-laki juga bisa terkena IMS, seperti klamidia, sifilis, gonore, dan sebagainya. Pada   tahun   2010 BKKBN melakukan survei pada remaja, hasilnya sekitar 51% remaja di wilayah Jabodetabek sudah tidak perawan, 4% responden mengaku melakukan hubungan seksual sejak usia 16-18 tahun, dan 16% responden melakukannya pada usia 13-15 tahun. Selain itu, seks pranikah di Surabaya mencapai 47%, di Bandung dan Medan 52%. (www.bkkbn.or.id). Oleh karena itu, pendidikan seks sejak dini sangat diperlukan, mulai dari hal kecil dengan menjelaskan bagian tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh kecuali oleh diri sendiri dan suaminya kelak, sehingga mereka bisa menolak dan bertindak jika dalam bahaya.

Ketiga, pengetahuan masyarakat yang kurang. Masyarakat Indonesia khususnya di desa kurang paham mengenai aturan hukum yang berlaku. Menurut Dewi, masyarakat sulit memahami ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, sehingga belum berlaku secara efektif. Hal ini menjadikan faktor pernikahan di bawah umur masih ada di berbagai daerah dan dianggap hal yang biasa (2017:11). Selain itu, pihak keluarga merasa bahwa anak mereka mampu menjalani bahtera rumah tangga daripada mereka melakukan perzinahan sampai hamil di luar nikah yang akhirnya mengizinkan anak mereka untuk menikah.

Pernikahan dini yang selalu menjadi topik permasalahan di Indonesia, karena meskipun pihak pemerintah sudah membuat undang-undang yang mematok umur minimal untuk menikah, tetapi jika pemerintah daerah dan instansi terkait masih mengizinkan, usaha tersebut akan sia-sia dan permasalahan ini akan terus meningkat.

Lalu bagaimana dengan pihak laki-laki? Ketidaksiapan mental mereka menjadi seorang ayah membuat mereka tidak mempunyai bekal dalam pengasuhan. Emosi yang belum stabil juga bisa memicu depresi dan rasa cemas. Selain itu, laki-laki dituntut untuk mencari nafkah, dimana pada kasus pernikahan dini, mereka masih mengenyam bangku pendidikan, sehingga pengalaman untuk bekerja dan hidup di dunia yang sebenernya belum cukup.

Berdasarkan teori tindakan sosial Weber, yaitu instrumental rasional, dimana aktor akan bertindak karena memiliki tujuan. Tindakan ini secara sadar dipilih oleh aktor sebagai cara terbaik untuk mencapai yang diinginkan, yaitu melakukan pernikahan dini karena perjodohan, dimana pasangan tersebut bisa menghindari perbuatan zina yang berdampak buruk pada individu dan masyarakat. Lalu, pernikahan karena hamil di luar nikah menjadi wajar karena sebagai jalan pintas untuk 'menutupi aib', bisa memperbaiki nama baik anak dan orang tua karena sudah melaksanakan pernikahan, dan juga beban tanggung jawab orang tua bisa berkurang bahkan membantu perekonomian mereka.

Penyebab tersebut bisa menjadi pertimbangan kembali orang tua dan anak untuk melakukan pernikahan dini, karena data di daerah ada ribuan kasus perceraian pada pernikahan dibawah umur. Hal ini yang bisa menjadi pertimbangan orang tua ketika memutuskan untuk menikahkan anak mereka. Karena pernikahan dini lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya, kemiskinan juga akan meningkat karena pendidikan yang kurang juga bisa membuat pasangan menjadi tidak siap menjalani kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu pola asuh orang tua dalam memberikan pemahaman mengenai pernikahan dan seks bebas bisa menjadi proteksi bagi anak untuk menjalan kehidupannya.

 

Referensi

Fitrianis, N. (2018). Hubungan Tingkat Pengetahuan Remaja dan Lingkungan Pergaulan Terhadap Pernikahan Dini di Desa Samili Tahun 2017. Fondatia: Jurnal Pendidikan Dasar, 109 - 122.

Mubasyaroh. (2016). Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan, 386 - 411.

Vionita, Y. O. (2020). Pandangan Masyarakat Tentang Pernikahan Dini Sebagai Implementasi Undang-Undang Perkawinan di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten. Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 764 - 778.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun