Ngeri, pembahasan pekerjaan rumah matematika anak sd entah kelas berapa itu jadi perbincangan seantero negeri. Seantero negeri? iya, buktinya Kemendikbud sampai mengeluarkan pernyataan, belum lagi perdebatan banyak pihak mulai dari profesor sampai dosen-dosen. Alamaknjang, sudah serenggang itukah jarak antara guru dengan murid? Sampai-sampai hendak protes saja tidak cukup kalu diutarakan secara langsung, tapi harus disebarkan lewat sosial media yang sekali ter-posting maka bisa membelah diri menjadi ribuan lewat tombol -share, -copypaste, -retweet dst.
Dulu sewaktu saya SD, tiap ada kesalahan saya mengerjakan soal atau kesalahan penilaian guru, saya tinggal minta penjelalasan. Biasanya di akhir jam pelajaran guru akan bertanya, ada yang masih kurang jelas?. Nah pada moment inilah biasanya saya bertanya pada guru, Bu kok saya nilainya segini, kok ini disalahkan? Kemudian guru saya akan menjelaskan sampai saja jelas, atau kalau memang ada kesalahan koreksi langsung dibetulkan koreksinya. Dulu saya jarang yang namanya nilai-nilai jelek dilaporin sama ibu di rumah, bisa dimarahin, adanya nilai jelek pasti karena tidak mendengarkan pas diterangkan guru. Tambahan lagi, ibu saya juga guru SD, masa anak guru SD nilainya jelek? hahaha
Terhadap polemik PR Habibi ini, yang sampai Kemendikbud ikut turun tangan, pemikiran saya adalah nggak perlu sampe segininya juga kaleee! Perkara PR harusnya menjadi interaksi antara murid dan gurunya. Keluarga nggak perlu ikut campur sampai terlalu jauh, si adik cukup diberi arahan agar minta penjelasan lebih lanjut pada bu gurunya. Selain melatih si adik agar lebih cermat, teliti juga percaya diri. Bu Guru juga tidak diintervensi wewenangnya, urusan PR kok sampai ditegur Mendikbud, Bu Gurunya juga manusia bos! Kalau ada kesalahan bolehlah dikasi kesempatan biar introspeksi sendiri, gak perlu kesalahan diumbar-umbar ke sosial media.
Karena bu guru/ pak guru juga manusia. Punya keterbatasan, tidak sempurna, kadang ada kesalahan. Toh hidupnya seorang guru tidak hanya ngoreksi pr doang, kadang harus nyambi usaha sampingan buat nguliahin anaknya di jogja, kadang harus ikut ngurusin pengajian di komplek rumah, kadang sibuk ditunjuk jadi pengurus ranting muhammadiyah, kadang sibuk ngrenteng laporan keuangan BOS yang beuh repot bgt.
Tapi yang jangan dilupakan dari sosok guru di manapun, Guru adalah orang tua kedua kita. Merekalah yang mengajarkan ilmu kepada kita sejak TK, SD sampai SMA, kalo kuliah namanya dosens :p. Mereka mengabdi, membaktikan sebagian hidupnya untuk kecerdasan bangsa Indonesia. Apakah begitu cara kita memperlakukan orang tua kita di sekolah?
Jangan ada yang menyalahkan guru yang bersangkut paut pada pr dik Habibi. Kepada kakanya Habibi, kalo bisa dahulukan komunikasi dengan gurunya adiknya itu. Atau dorong dik Habibi supaya berlatih kritis dengan bertanya jika kurang jelas. Dan lagi, media sosail itu seperti pisau bermata seribu. Kamu lemparkan ke khalayak ramai, ada banyak orang yang bisa terkena tajamnya mata pisau itu.
selamat malam, mohon maaf kalo ada yg kurang berkenan, kalo ada salah mohon dikoreksi, penulis masih mahasiswa dan belum lulus-lulus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H