Mohon tunggu...
Azzam Zakariya
Azzam Zakariya Mohon Tunggu... -

pengagum berat 'maklumat sastra profetik' Kuntowijoyo, penikmat alunan 'viva la vida' Coldplay, satu shaff di belakang pemikiran Buya Syafii Maarif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menadah Buya

18 Mei 2015   05:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Iman tanpa akhlak adalah semacam kemunafikan...” – Fahd Pahdepie

RS Pusat Angkatan Darat, pada suatu hari 1962…

Dengan suara terisak, pria itu berbisik lirih kepada lelaki yang berada tepat di sampingnya “terimakasih kasih sudah berkenan datang kemari”. Katanya dengan tenaga penghabisan, kini ia tengah terbaring lemah di sebuah ranjang, air mata menggantang di pelupuk matanya, seolah ada sebuah kesedihan yang sulit terlukiskan, atau mungkin semacam penyeselan terhadap masa silam lebih tepatnya. “temani saya” bisiknya kemudian sembari menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya itu….

Beberapa tahun sebelumnya, seorang lelaki berdiri dengan tegaknya di depan sebuah forum. ia tengah mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato politiknya dari atas mimbar, pada suatu persidangan konstituante. Lelaki itu lelaki yang kini mendampingi si pria yang sedang menjemput ajal, dengan suara lantang ia berfatwa “bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!” sebagai representasi kelompok islam, ia termasuk salah satu yang sangat berani menujukan sikap tegasnya dalam sidang itu.

Di seberang sana, seorang pentolan kelompok nasionalis duduk dengan khidmat. Namun, demi mendengar pidato yang baru disampaikan, ia bagai tersambar gledek di siang bolong. Tak dinyana, dari perbedaan pandangan politik itu lalu tumbuh benih-benih kebencian yang kian hari kian menjalar. Pria itu, Pria yang kini sedang menjemput detik-detik terakhirnya meninggalkan dunia.

Kebencian itu lama tersimpan, meski keduanya berasal dari satu daerah yang sama. kebencian itu tetap memancar, kebencian yang bermula dari perbedaan pandangan politik yang mereka ambil. Hingga pada suatu ketika, seorang pejabat penting pemerintahan datang bersilaturahim ke rumah lelaki yang dibenci itu membawa sebuah kabar, bahwa seorang yang dulu membencinya kini sedang terbaring lemah di sebuah rumah sakit.Dan ia menyampaikan wasiat untuk lelaki itu agar ia sudi mendampingi saat-saat terakhir si pria menjumpa ajal, seorang yang pernah membencinya. Namun, demi mendengar kabar tersebut, lelaki itu dengan legowo menuruti keinginan seorang yang dahulu pernah sebegitu membencinya, lelaki itu memaafkan segala sikap dari pria yang kini tengah terbaring lemah, menunggu detik detik perjumpaan dengan sang maut.

…kini, di sebuah ruang di rumah sakit, lelaki yang diminta itu mengangguk pelan, lalu segera ia membisikkan surah al fatihah ke telinga pria yang sedang terbaring menjemput ajal, dengan lemah pria itu merapal “alhamdulillahi rabbil aalamiin…” bisiknya sembari menggenggam erat tangan lelaki yang mendampinginnya. Setelah usai, lelaki itu lalu membisikkan kalimat tauhid, dengan suara yang kian lemah, pria itu kembali berbisik lirih “laa ilaaha illallah...”

Lalu tetiba pria itu tercekat, tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya, genggaman tangannya kian mengencang-erat, tetanda bahwa ia tengah menjemput sakaratul maut. Lelaki yang mendampingi itu kembali membisikkan kalimat tauhid, lalu genggaman dari pria itu mengendur, tangan pria yang terbaring itu mulai dingin, kemudian genggaman itu terlepas. Sepenuh cinta, lelaki tersebut mengantar si pria yang terbaring itu menjemput saat-saat terakhir. Betapa elok pemandangan di sebuah ruang rumah sakit sore hari itu.

Kelak kita tahu, bahwa pria yang wafat itu Mr. Moh. Yamin, sementara lelaki yang mendampingi sore itu tak lain ialah Buya Hamka…

“Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani saat-saat terakhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku di kampong halamanku di Talawi”– Moh. Yamin

Bilangan Kebayoran, sekitar 1960an...

Suatu hari sepasang muda-mudi bertamu ke sebuah rumah di bilangan kebayoran. Setelah salam dan sedikit basa basi si perempuan itu lalu berujar “Maaf Pak nama saya astuti dan ini calon suami saya Daniel” kata perempuan pribumi itu, sementara si lelaki pasangannya itu seorang keturunan China.

“saya anak Pak Pram” katanya sedikit ragu, entah untuk alasan apa, namun ucapannya kini tak selancar tadi. Bapak pemilik rumah itu tampak agak sedikit terkejut tapi lekas segera dapat menguasai diri dan kembali menunjukkan rona wajah yang tenang bersahabat, ia memandang lekat dan lantas mengangguk takzim.

Demi melihat ekspresi Bapak itu, si perempuan kembali berujar “Maksud kedatangan saya kemari untuk menemani Daniel yang ingin masuk islam dan sekaligus belajar agama pada Bapak jika Bapak berkenan” lanjutnya dengan penuh harap...

Sesederhana itu kah? Nyatanya tidak, sebab beberapa tahun silam, terjadi sebuah peristiwa yang teramat membekas di benak Bapak tersebut. Kala itu si Bapak yang merupakan seorang penulis mendapat cobaan, ia difitnah. Beberapa karya yang dihasilkannya sendiri dituduh sebagai hasil jiplakan dari novelis perancis. Tak hanya itu, ia bahkan dianggap mencuri karangan asli dari penulis prancis tersebut. Bahkan, tak sampai disitu, bukan hanya karya-karyanyanya yang diserang, ia juga diserang secara pribadi.

Dan berita bohong itu betapa cepatnya menyebar kemana-mana, namanya terseret-seret terimbas isu fitnah yang dihembuskan itu. Tak hanya ia saja yang terkena dampaknya, sebab bahkan anaknya yang kala itu sedang belajar di sekolah menengah juga tak lepas dari kalimat-kalimat bernada cemoohan yang ditujukan padanya, bahkan beberapa guru dengan sengaja selalu bertanya mengenai kesehatan bapaknya dengan nada yang mengejek.

Lalu siapakah orang yang membuat tulisan yang berisi tuduhan itu? Yaa… tak lain adalah ayah si perempuan yang kini sedang bertamu ke rumah si Bapak, penulis yang dulu dituduh menjiplak karya penulis lain oleh ayah perempuan itu.

...“baiklah” jawab bapak itu setelah mendengar maksud yang diutarakan oleh si perempuan.

Begitu mudahnya, seakan tak pernah terjadi apa-apa pada masa silam, seakan mereka adalah dua orang asing yang baru bertemu, yang tak pernah terikat oleh suatu momentum sejarah, dan bahkan bapak itu tak sedikitpun menyinggung masalahnya dengan ayah perempuan itu, seolah ia telah memaafkan segala apa yang pernah dilakukan ayah perempan itu pada masa silam

Ayshadu al laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah” terlafaz dari mulut bapak itu dua kalimat syahadat yang kemudian diikuti dengan mantap oleh pemuda yang hendak masuk islam tersebut. Ia kini telah menjadi muallaf, memulai lembar baru sejarahnya sebagai seorang manusia muslim. Menyapa hidayah yang dianugerahkan Tuhan untuknya. Dan lantas kemudian belajar agama pada Bapak yang seorang alim dan penulis shaleh tersebut. Pada bagian ini, betapa kita tak iri…

Bapak itu Buya Hamka, dan ayah perempuan itu adalah Pramoedya Ananta Toer

saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik” – Pramoedya Ananta Toer

Referensi :

Hamka, Irfan. 2013. Ayah; Kisah Buya Hamka. Jakarta: Republika Penerbit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun