Sudah setahun sejak pernikahanku berakhir berantakan. Aku tidak lagi bersama dengan kedua anakku. Mantan istriku yang mengasuhnya bersama suaminya kini. Aku sesekali menemui kedua anakku, Azzam dan Aisha. Jika ada waktu disela-sela libur kuliah akhir pekan atau libur semester yang panjang. Namanya bagus sekali bukan?Nama kedua anakku itu menggambarkan bagaimana kekuatan, kekokohan dan semangat orang-orang yang berdakwah dengan sungguh-sungguh untuk memperjuangkan asma Tuhannya. Nama itu juga menggambarkan bagaimana perjuangan hidup yang sesungguhnya jika dihadapkan pada kepahitan. Tetapi itu hanya bagi orang-orang yang tahu penderitaan. Sementara jaman sekarang: anak muda bersenang-senang, atas jerih payah orang tuanya.
Tidak banyak teman-temanku yang tahu bahwa aku sudah menikah dan mempunyai anak. Yang mereka kenal dari aku adalah seorang yang pemalu dan pendiam. Aku memang tidak terlalu banyak berbicara dan menutupi banyak hal dari diriku. “Orang yang aneh dan misterius”. Kata-kata itu cukup baik barangkali menggambarkan diriku. Mungkin yang tidak cukup mengerti tentang aku, akan mengiraku seperti anak autis atau menderita kelainan psikologis yang tidak umum. Hha..biarlah.
Sesekali aku rajin menatap dan memikirkan tentang masa depan. Masa depan yang membawaku pada kehidupan yang baru. Kehidupan yang kali ini aku nikmati bersama tanaman-tanaman yang menjalar dan kacang-kacangan. Atau pop mie yang selalu membuatku muntah ketika memakannya. Tidak enak, tetapi haruslah masuk kedalam perutku yang lapar. Kehidupan melalui kesempatan kedua yang Tuhan berikan padaku, tidak akan pernah lagi aku sia-siakan.Itu janjiku.
Selepas membaca buku Dr. Marwah Daud Ibrahim, yang tertulis besar dalam sampulnya “Menata Hidup dan Merencanakan Masa Depan”. Menjadi salah satu buku favoritku. Lalu kususun berbagai strategi, mind map dan daftar impianku selama sepuluh tahun kedepan. Sungguh mengasyikkan. Boleh kalian coba nanti membacanya, dan lihatlah perubahan rencana apa yang terjadi dalam hidupmu. Sesuatu yang tersusun rapi n mengalir begitu baik. Hmmmm…..
***
Andai kehidupan kedua ini tak menuntunku untuk hidup.
Aku tau rasanya mati.
Huruf dalam papan itu tak pernah dapat terbaca dengan baik. Arumi mencoba membacanya dengan bantuan gurunya. Kata itu sebenarnya cukup pendek sekali, hanya tersusun dari tiga kata. huruf “D” dan berakhir dengan huruf “A”. Sangat mudah seharusnya bagi anak usia 3 sekolah dasar untuk membacanya. Tetapi, untuk benar-benar dapat membacanya, Arumi harus diejakan oleh gurunya. Jika tidak, tulisan itu hanya berupa simbol aneh yang tidak pernah dimengerti olehnya.
“Anak ini tak bisa apa-apa, pak! Sudah hampir tiga tahun lebih kita mengajarinya. Dia bodoh, bahkan prestasinya tak pernah bisa naik melampaui siswa lain .” Kata-kata itu memanaskan suasana antara guru kelas Arumi dengan bapak Kepala Sekolah.
“Barangkali kita bisa memindahkan dia ke sekolah khusus di kota.” Timpal guru yang lain.
Bapak kepala sekolah yang memasukkan Arumi ke daftar siswa tiga tahun yang lalu. Dia tidak mendapatkan pendidikan anak usia pra sekolah. Seorang anak yang terlunta-lunta hidupnya. Ibunya sudah tiada. Bahkan siapa lagi yang akan mengurusnya jika tak ada pamannya itu. Bukan rasa belas kasihan saja yang ditunjukkan pamannya.
“Anak-anak seperti dia jelas masa depannya suram.” Kata tetangga rumah pak kepala sekolah. Itulah yang menyebabkan bapak kepala sekolah telah berani memasukkan nama keponakannya sendiri ke dalam sekolah yang dipimpinnya itu. Setiap mendengar itu diucapkan tetangganya, bapak kepala sekolah merasa gelisah tak menentu.
“Baik bapak ibu guru, siapa lantas yang bisa menjamin masa depan anak ini jika tak bersekolah.” Hasan menyela, guru SD kelas 1 dan 2 Arumi. “Sekolah di kota itu begitu jauh ditempuh, bapak-ibu.” “Sementara, sekolah lain di kecamatan ini tidak ada yang mau menerima Arumi.”
Suasana menjadi ramai kemudian. Bapak-Ibu guru itu terpecah menjadi dua-golongan: setuju dan tidak setuju Arumi tetap bersekolah disana. Masalah ini muncul menjadi satu hal yang dibahas mendadak, karena guru kelasnya pak Ridwan merasa lelah dan jengkel dengan kondisi belajar Arumi. Hasilnya: Arumi tetap diperbolehkan melanjutkan sekolah.
***
Aku menelaah dan memikirkan beberapa teori-teori pagi ini. Setidaknya ada dua teori yang sudah aku ungkap berikut kelemahannya. Yang pertama, teori hierarki kebutuhan dari Maslow. Dan yang kedua, teori motivasi populernya Mc Clelland. Sebenarnya kedua teori ini mengungkap kebutuhan dasar manusia.
“Aku tak pernah setuju dengan konsep tingkatannya Maslow, Mas.” Mas Hadi, lawan diskusiku. Dia mengangguk-angguk tanda setuju juga. Hal yang tak pernah coba dipikirkan oleh mahasiswa lain, yang hanya mengikuti teori tanpa tahu landasannya. Kulanjutkan, “Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Bahkan dalam keadaan lapar pun, seorang Ibu bagaimanapun akan berpikir untuk lebih mendahulukan anaknya daripada memenuhi kebutuhan biologis dirinya sendiri. Itu kebutuhan cinta kasih pada tingkatan 3.”
Tentang Mc Clelland, kubahas berlarut-larut minggu lalu dengan Ayu. Sama-sama menghasilkan kesimpulan bahwa sebenarnya perilaku manusia tidak didasari atas tiga kebutuhan dasar sekaligus (n.ach, n.aff atau n.po). Tetapi salah satunya saja yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu dan meningkat menjadi motivasi diri.
“Entah apa kata dosen yang sangat tekstual itu, menurutmu apakah bisa jika tidak ada pertanggungjawaban yang kuat tiap materi.” Kata Ayu, yang aku tak mengerti maksudnya apa-apa. Dia memang berbeda universitas denganku. Aku mencoba berpikir…
Jika berpikir lama, aku jadi ngelamun. Yang ada dipikiranku justru tentang Azzam dan Aisha. Tentang apakah kasih sayang yang diberikan ibu dan ayahnya kini benar-benar kasih sayang yang murni. Yang kutahu, Yumi bukan Ibu yang baik. Bahkan namanya (Yumi Ariesta Safitri) saja tak kucantumkan dalam nama Aisha (Aisha Izzatur Himmah). Dahulu dia sering menelantarkannya, ketika masih bersamaku. Yumi lebih suka berjibaku dengan kehidupan bebasnya. Pergi ke-mall, membeli baju baru, hang-out dengan sahabat wanitanya. Hebat benar mantan aktivis islam itu. Aku tak peduli.
Jika perilakunya seperti itu terus dalam mendidik anak. Bukan tidak mungkin jadinya seperti kawanku, Sheila. Karena Ibunya terlalu sibuk mengurusi dirinya sendiri, sibuk bekerja. Dan Ayahnya pula tak pernah ada di dalam rumah. Jadinya, Sheila pun perilakunya melebihi batas norma moral dan agama. Tak usah kusebutkan disini, karena apa yang pernah dilakukannya lebih parah dariku dulu.
Aku ingat percakapanku dengan Sulton. “Kau tahu, Him. Orang-orang seperti kamu yang menikah karena kecelakaan. Mana pula anaknya hasil hubungan itu mereka pedulikan”. Tampak kurasakan kata-kata itu pula seperti menyindirku. Tak karuan aku dibuatnya. Kepikiran.
“Ini masalah kasih-sayang, Him”. “tentang bagaimana kasih-sayang orang tua, bapak-ibunya menyumbang perilaku yang benar dan kehidupan yang cerah bagi anak itu nanti. Kalu bapaknya saja preman dan kasar, apa anaknya pula tak mengikuti tabiat bapaknya itu.” Aku meyerap kata-katanya.
Benar aku pikir teori-teori behavioristik. Bagaimana keluarga adalah tempat pertama anak melakukan sosialisasi. Anak besar dan tumbuh dengan pengaruh lingkungannya, terutama keluarga. Aku juga sedang menganalisis tentang hubungan nama dengan sifat anak. Tentang pendapat yang mengatakan bahwa nama seorang anak itu menunjukkan sifat anak. Entah teori siapa itu, tetapi di Jawa barangkali sudah dikenal lama. Ketika Bapak-Ibuku melekatkanku dengan nama Jawa dan diharapkannya anaknya pula menjadi seperti namanya itu. Itu yang Aku usahakan kali ini. Di kehidupan ini. Karena di masa lalu aku telah mengecewakannya benar-benar.
Sungguh dosa. “Aku menyesal”.
***
Di bilangan ini, sepuluh.
Betapa angka nol menunjukkan dominasinya dalam setiap penutupan bilangan persepuluh.
Angka tak pernah dimulai dari “nol’.
Tetapi 1, cukuplah nol sebagai tanda penyesalan. Fitrah dan Suci.
Kata yang diucapkan oleh Arumi di papan itu dengan terbata-bata adalah kata “do’a”. Kata yang menununjukkan betapa ibunya pernah berharap banyak kepada Tuhan. Memanjatkan permohonan di tengah malam nan sunyi. Seperti harapan ibunya Einstein, yang menangis setiap malam, yang menyadari anaknya tidak bisa membaca ketika sekolah dasar. Tetapi kemudian menjadi ilmuwan supercerdas. Begitu jugalah Thomas Alfa Edison, pencipta lampu itu. Satu kata yang melekat padanya: “bodoh”.
Arumi menyandarkan sepeda kecilnya tiga rodanyaitu ke tembok rumah Paman. “Bu lik, Arumi ke tempat pak Hasan ya bu-Lik, ada pelajaran.” Kata Arumi kepada Bibinya yang lagi memasak didapur dengan suara keras khas anak-anak. “Pulangnya sebelum Maghrib ya, nak.” Arumi berlari, sedikit mendengar ucapan bibinya. Bibi sudah hafal dengan kebiasaan tiap sore Arumi, belajar pelajaran khusus.
Arumi selalu terlihat gembira. Hanya sesekali ia menunjukkan raut muka muram dan cemberut. Yaitu saat teman-temanya ceria bersama ibu dan ayahnya. Saat pengambilan raport pun setelah ujian sekolah selesai. Ibu mengambil rapor untuk anaknya. Tetapi, bagi Arumi, cukup pamannya saja yang mengambilnya. Rapor khusus bagi Arumi. Rapor yang berbeda dari kawan-kawannya.
Kubayangkan betapa sedihnya Arumi, ketika tahu bahwa kecerdasannya jauh dibawah rata-rata anak normal seusianya. Saat ini dia bahkan tatau "idak mengetahui apa itu “cerdas”. Vonis “bodoh” itu selalu melekat padanya setiap hari. Itu saja sudah membuatnya tertekan dan malu bergaul dengan teman-temannya. Takut diejek atau dilempar dengan batu-batu kecil atau mainan milik temannya ketika bermain dengan mereka. Kondisi fisiknya memang terlihat berbeda.
Celaka nian, bagi Arumi yang sering diejek oleh teman-temannya di sekolah. “Arumi itukan soal gampang,Arumi bodohh..”, Jika sudah begitu seisi kelas menjadi bersaut-sautan. Lain lagi guru kelasnya sekarang, Pak Ridwan. Jika sudah jengkel maka penghapus pun bisa melayang. Memang tak pernah kena siapapun. Karena pasti menjadi kasus yang menghebohkan seantero negeri ini.
“Saa-tu, dua, emmmmpat”. “Tiga dulu, Arumi.” Pak Hasan, guru Arumi yang sabar itu mengajarinya khusus. Biji-biji keringat Arumi membasahi seluruh tubuhnya. Menetes dari mulai ujung rambutnya. “Arumi tidak bisa pak.”. Jika mentok, maka angka Sembilan merupakan usaha terakhirnya. Sulit bagi Arumi menggabungkan angka “satu” dan “nol” itu. Dibacanya dalam bahasa latin saja, butuh usaha keras. Tentu saja dengan bantuan dieja. “Bisa, ayo Arumi.”
Menurut cerita yang kudengar, Arumi lahir adalah suatu keajaiban. Arumi selamat dari kecelakaan maut yang melibatkan ibu dan mobil yang menabrak ibunya. Ia di dalam kandungan. Dan betapa tegangnya nyawa ibunya yang bersimbah darah. Arumi lahir prematur, sementara Ibunya menghela nafas terakhirnya. Malangnya, diagnosis dokter menunjukkan ada suatu kelainan pada otak Arumi. Kelainan itu yang menyebabkan pengaruh pada kecerdasaannya saat ini.
***
“Kau pikir bagaimana bisa para orang tua itu menganggap kecerdasan adalah satu-satunya kunci yang bisa membuat anak-anak mereka sukses dalam hidupnya?.”Ucapku dengan menunjuk buku hijau tempat teori itu ada.
Erin menjawab kalimatku, “Kukira sejak dulu, orang tua selalu menilai kemampuan anaknya dari prestasi belajarnya di sekolah, itu bukti dari kecerdasan anak selalu lebih diutamakan. Mereka, anak-anak yang tak mengerti disuruhnya agar ranking satu. Mereka, orang tua tak mengerti bagaimana kesulitan anak, bagaimana sesungguhnya anak punya bakatdan minat lain, olahraga misalnya.”
Dalam diskusi di shelter FKIP siang itu, Aku, Mas Hadi, Mbak Vita, Erin dan Ayu. Kami membahas mengenai topik pendidikan berbasis kecerdasan ini. Ayu melanjutkan, “kau tahu, orang tua dari dulu selalu memaksa kita masuk kelas yang kita kesulitan mengikutinya, pilih jurusan di universitas pun sudah diatur orang tua. Yang harus jadi dokter lah, atau jadi guru karena bapak-ibunya juga guru.”
Mas Hadi nyeletuk tiba-tiba, “Lain lagi, biar pintar kita diles-kan dengan berjuta-juta duit keluar. Padahal tak banyak hasilnya pula semua kursus berduit itu”. “Itu karena gengsi.”
Aku yang hanya berbicara diawal, kemudian ketika mereka berempat saling beradu argument, panjang sekali. Tiba-tiba mbak Vita membuka wawasan kami mengenai “penjara” dalam sekolah. Membuat kami, memperhatikan dengan begitu antusias.
“Aku minggu lalu mengunjungi SMA. Kalian tahu betapa Aku terkejut, ketika sekolahku berubah kini menjadi semacam penjara. Bayangkan saja, setiap bel masuk dibunyikan, sekolah itu tertutup rapat, tanpa celah. Pintu-pintu pagarnya yang dua lapis itu digembok. Lapis pagar yang paling luar sekarang dibangun tembok-tembok besar yang mengelilingi sekolah. Tujuannya satu agar anak-anak sekolah itu tidak kabur dari sekolah saat jam pelajaran.”
“Wah macam mana itu sekolah sekarang. Kalau guru-gurunya pintar, pandai mengajar, pelajarannya tidak membosankan dan tahu bagaimana mengajari moral. Mana mungkin anak-anak kabur. Lha wong gurune ae yo seneng ngerokok, cangkru’an, moral do gak karuan. Pantes yo nek murid-murid’e do nggugu lan niru.” Mas Hadi, dengan sedikit campuran bahasa Jawa kasarnya yang medhok. Bersama dengan suara gelak tawa yang cukup keras dari kami semua dan percakapan dalam bahasa Suroboyo-an. Bahasa Suroboyo-an memang akan terdengar lucu bila diucapkan di Solo.
Aku jadi teringat dengan Arumi. Kalian tak tahu dan tak bisa merasakan, bagaimana anak-anak seperti mereka juga terkurung dalam dunianya sendiri, terkurung dalam keterbatasan yang dimilikinya. Kuceritakan itu pada kawan-kawan diskusi-ku itu lalu menjadi sebuah tambahan yang menarik. Mereka mendengarkan argumentasiku.
“Anak-anak itu ya, rek! Bagaimana orang tua mereka memasukkan mereka ke sekolah luar biasa. Karena disitulah tempat mereka. Sudah disediakan khusus oleh pemerintah dan masyarakat. Anak yang keterbatasan penglihatan, mereka tak bisa tahu bagaimana rasanya melihat dunia yang indah ini, teman-teman mereka yang sama-sama punya batasan penglihatan tidak akan juga bisa menceritakan pada dia. Bagaimana dunia yang indah itu. Sementara jika mereka diberikan kesempatan bersekolah di sekolah umum. Berapa banyak cerita indah dunia yang mereka bisa bayangkan dari cerita teman-temannya, walupun mereka tak pernah melihatnya.”
Aku berhenti sejenak. Teman-teman masih mendengarkanku. “Mereka juga sama dengan kita, mereka punya hak yang sama. Dilindungi oleh Undang-Undang pula. Tetapi lihatlah bagaimana masyarakat menjauhinya dan menganggapnya lain.Lihatlah, orang tua mereka yang malu membawa anak-anaknya sendiri pergi jalan-jalan ke luar, ke mall, ke pesta, ke pantai. Mereka malu pula punya anak yang terbatas fisik dan mental-nya. Anak-anak itu akan menjadi pusat perhatian orang banyak.”
Sekolah itu bagaikan penjara.
***
Pagi itu, Pak kepala sekolah tidak ada di ruangannya. Pak sekolah dipanggil khusus ke Jakarta oleh Direktorat Pendidikan Luar Biasa. Ini hasil kerja keras pak kepala sekolah yang memperjuangkan anak-anak dengan kelainan fisik dan mental ini di desanya yang jumlahnya tidak sedikit. Beruntunglah kebijakan pemerintah telah berganti. Pemerintah menerapkan suatu kebijakan perlakuan “inklusif” bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini. Setidaknya ini jalan keluar yang baik.
Kami: aku, Laras, Kiky dan Deni yang melihat Arumi terduduk diam manis di kursinya. Merasakan benar, pengalaman panjang yang dialami anak itu. Setidaknya kami senang, telah membantunya mengeja kata. Jalinan kata yang tak pernah harmonis dan menyatu untuk bekerjasama membantu dirinya. Itu terakhir kali kami bertemu dengannya.
Kabarnya kesempatan kedua itu langka.
Hanya sedikit orang yang memilikinya.
Itu kata Tuhan.
Tuhan tak memberinya pada sembarangan orang.
Setahun yang lalu, ketika kelas kami kehilangan seorang teman. Akibat kecelakaan juga. Tepat pada saat bulan Ramadhan. Tak pernah terbayangkan, salah satu orang akan hilang dari peredaran waktu secara tiba-tiba. Andai helm itu tak pernah lepas dari kepalanya. Itulah kesempatan kedua yang tak didapatnya. Kesempatan hidup dari helm. Syukur yang tak pernah dapat terkira bagi yang masih hidup.
Arumi mengeja bilangan angkanya yang ia pelajari dari kami. Dia senang untuk pertama kalinya dapat lancar mengeja satu-persatu kata. Untuk pertama kalinya, Dia bisa mengeja angka “10”. Dan membaca satu tulisan yang amat penting baginya yaitu do’a. kalaupun bisa mengeja kata itu. Dia pun tak tahu artinya. Paman dan bibinya sering mengajaknya berdo’a selepas shalat.Tetapi Arumi baru mengerti bahwa kata itu menunjukkan kebiasaan yang sering diajarkan padanya. Kurasa dorongan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya yang bisa membuatnya belajar dan berusaha lebih rajin. Hidup dalam kasih sayang, itulah yang diinginkan banyak anak di dunia ini.
Berdo’a tak lain adalah memanjatkan rasa syukur dan kepasrahan pada Tuhan. Kami mengajaknya berdo’a. Satu kalimat ucapan Arumi ketika berdo’a, dia panjatkan dengan air mata yang membasahi pipinya. “Ya Tuhan, Arumi ingin sekali bertemu dengan Ibu di Surga saat ini. Arumi rindu pada Ibu.” Arumi menelungkupkan kedua tangannya yang masih kecil itu ke wajahnya yang cantik dan manis. Do’a terakhir yang penah diucapkannya. Kami dengar dan bersama-sama, kami ucapkan kata, “aminnn….”.
(TERUNTUK KEDUA ANAKKU YANG MANIS, AZZAM DAN AISHA. SEMOGA KALIAN TUMBUHDENGAN KASIH SAYANG).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H