Malam ini final piala Afrika. Mungkin yang mengikuti di media sosial sudah tau nama lengkapnya ya, Africa Cup of Nation, AFCON. Tim legendaris AFCON Mesir akan bertarung melawan Senegal di final, yang kebetulan juga mempertemukan Liverpool No. 10 yang memperkuat Senegal, dengan Liverpool No. 11 yang memperkuat Mesir.Â
Final yang menarik, dan bukan tidak Mungkin bisa menjadi tonggak sejarah sepakbola baru. Karena betapa tidak, kembalinya Liverpool ke pertarungan sepakbola Eropa tertinggi tidak bisa begitu saja dilepaskan dari kiprah Sadio Mane dan Mohammed Salah begitu saja. Semoga Tim terbaik yang menjadi juaranya.
Terlepas dari hingar Bingar final nanti malam, ada Hal menarik yang bisa disimak tentang AFCON tahun ini. Drama yang mengikuti kompetisi ini sangat luar biasa, mulai dari rencana penundaan kompetisi, wabah covid yang menyerang Africa, hingga skandal korupsi yang disinyalir kuat bermain di panitia pelaksana, federasi, dan organ sepakbola Africa.Â
Namun satu hal yang menarik disini, adalah bagaimana kompaknya Tim Tim besar Eropa, terutama Tim Liga Primer yang bahkan secara resmi meminta agar tahun ini AFCON ditunda.Â
Tidak hanya Tim kecil dengan budget terbatas, nama nama besar seperti Jurgen Klopp dan Thomas Tuchel, masing-masing pelatihan Liverpool FC dan Chelsea FC rame memprotes tentang kompetisi ini. Hingga Jurgen Klopp dipanggil pelatih arogan oleh Pelatih Timnas Senegal.
Ada apa sebenarnya dengan AFCON? Padahal di saat yang sama, masih berlangsung Kualifikasi piala dunia yang mengambil tempat di jeda internasional, dan kejuaraan regional lain yang tetap berjalan, Namun tidak diiringi oleh protest keras sebagaimana AFCON.
AFCON, KOMPETISI BERGENGSI AFRIKA
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perlahan, kekuatan sepakbola baru mulai muncul baik di Benua Afrika maupun Asia, yang mulai menanantang dominasi negara Amerika Latin dan Eropa.Â
Salah satu factor selain muncul nya bakat-bakat istimewa, adalah bagaimana konfederasi sepakbola di tingkat Benua Maupun regional, semakin memperbaiki kualitas dan professionalisme penyelenggaraan kompetisi.Â
Piala Afrika sudah berjalan sejak zaman dahulu Kala, yang bahkan pada tahun 2010 saat pemenang Piala Afrika terbanyak mesir menang, penulis masih ingat membaca kolom berita bahwa asosiasi sepakbola Ghana menuduh mesir main dukun saat pertandingan final. Berita yang sangat menarik di awal zaman digital.
Namun di tahun-tahun itu, Piala Afrika tidak se riuh sekarang, bahkan tuduhan lucu semacam main dukun masih mungkin terjadi. Namun saat ini, ditengah kemelut yang luar biasa paska covid-19, tidak hanya kompetisi berjalan sampai final, Namun nama AFCON menjadi bahasan dan topik perbincangan berbagai khalayak.Â
Hal ini menandakan bahwa dengan Segala keterbatasan, panitia pelaksana AFCON dan konfederasi sepakbola Afrika betul-betul mengusahakan tercipta sebuah kompetisi yang layak dinikmati khalayak.Â
Dikelola secara professional terlepas dari beberapa hal yang merupakan bagian dari kasus di lapangan, kualitas Piala Afrika sebagai sebuah kompetisi sudah meningkat drastis bila dibandingkan 12 tahun lalu.
Lantas, mengapa kemudian Afrika, sebuah benua yang "Masih belum diterangi listrik" mampu membuat kompetisi internasional yang semenarik ini?Â
Ini sebuah pembuktian sederhana, bahwa pengelolaan kompetisi lokal di negara-negara peserta piala Afrika banyak yang sudah up to bar, professional dan terstandar. Liga Mesir, Afrika Selatan, Maroko dan Tunisia, adalah beberapa Liga yang menghasilkan nama-nama besar, Tim sepakbola professional yang tidak hanya Dikenal di level regional, Namun juga internasional.Â
Beberapa tim seperti AL Ahly pernah bersaing di level piala dunia antar klub, Tim Tim seperti Wydad dan Raja Casablanca muncul di dunia internasional melalui ultras mereka. Serta tim-tim dan kompetisi lain, yang sudah Dibuktikan dengan fakta negara Afrika berhasil menjadi penyelenggara piala dunia yang amat berkesan, tahun 2010 di Afrika Selatan.
Maka kualitas kompetisi lokal sangat berbanding lurus dengan kualitas kompetisi internasional. Bukti bukti ini sudah dapat kita lihat di berbagai belahan dunia dan baru baru ini Afrika menjadi bukti paling gamblang, selama kompetisi Dikelola dengan professional, ada Bumbu apapun disana tetap akan membawa dampak positif bagi perkembangan sepakbola baik di level lokal, maupun regional dan internasional.
Maka tidak bisa disalahkan, pemain-pemain seperti Salah, Edouard Mendy, atau Wilfried Zaha memilih meninggalkan rumah nyaman rantau mereka, dan pulang kampung serta mempertaruhkan masa depan mereka di kompetisi ini. Karena sederhana, kompetisi ini sudah sangat worth it untuk diri mereka sebagai pemain, atau negara mereka.Â
Meskipun bisa jadi dampak di karir klub mereka tidak bisa digaransi positif. Bisa dibayangkan reaksi Sadio Mane saat akhirnya pulang ke Anfield, dia mendapati sudah ada anak muda Amerika Latin yang siap bersaing untuk posisi starter di sayap kiri lini serang Liverpool. #VamosDiaz
Karena kompetisi AFCON ini bukan kompetisi kaleng-kaleng, bukan juga piala ciki yang diperebutkan, perlu kita lihat struktur pemain di liga-liga besar Eropa, terutama Liga primer inggris. Kenapa kok bisa protest sampai sebegitunya.
PEMAIN AFRIKA: FIGUR PENTING DI TIM-TIM LIGA INGGRIS
Tetap tidak dapat dipungkiri bahwa liga-liga Eropa, termasuk didalamnya Liga Inggris masih didominasi pemain dari Eropa maupun Amerika Latin. Nama-nama besar seperti Messi, Neymar, Ronaldo, Lewandowski, termasuk pemain muda berbakat seperti Kylian Mbappe dan Erling Haland serta Vinicius Junior semua berdarah eropa atau Amerika Latin.Â
Kaliber pemain dengan latar belakang seperti inilah yang sering kita temui di liga-liga eropa dan menjadi alasan kenapa timnas dari Eropa dan Amerika Latin kuat-kuat. Karena pemain mereka pun juga bersaing di klub-klub kuat dan professional Eropa.
Tapi jika kita melihat pemain Afrika, kita akan menemukan fakta menarik, bahwa mereka memang ada. Banyak sebenarnya yang sudah menjadi anggota Tim di klub eropa, Namun sekalinya ada yang bersinar, mereka akan menjadi Jimat Kemenangan, Talisman di klub tersebut.Â
Kita tentu masih ingat dengan legenda Chelsea Didier Drogba, atau pemain tengah Manchester City Yaya Toure. Mereka berdua sama-sama berasal dari Pantai Gading, dan sampai sekarang kita tidak bisa melepaskan kejayaan Manchester dan Chelsea pada masanya dari peran mereka berdua.
Pada era saat ini pun masih bisa kita saksikan, bagaimana Salah dan Mane menjadi permata bagi Liverpool, dimana saat Redmontada melawan Barcelona, cederanya Salah menjadi kerugian besar menurut prediksi para pundit.Â
Kemudian Edouard Mendi yang akhirnya menjadi Jawaban bagi kacau nya posisi penjaga gawang di Chelsea. Bahkan Crystal Palace menganggap keberhasilan mereka menjaga Wilfried Zaha sebagai sebuah prestasi tersendiri.
Secara kuantitas, mungkin pemain Afrika di liga-liga eropa "Unda-undi" lah dengan pemain Asia dan benua-banua lain. Tapi dari segi dampak mereka bagi klub, sampai saat ini belum ada pemain Asia di Liverpool misalkan, yang memiliki urgensi seperti Mane dan Salah.Â
Bahkan jika penulis boleh jujur, pemain Asia saat ini yang memiliki "bleger" sama dengan Salah dan Mane di liga inggris paling hanya Son Heung Min.
Maka bisa dibayangkan, perasaan klub saat harus melepaskan Figur penting mereka untuk bersaing di sebuah kompetisi. Dimana kompetisi ini berbeda dengan cara Jurgen Klopp memandang Carabao cup.Â
Timnas yang berlaga ingin menang, maka bisa kita Jamin akan terjadi banyak hal yang mungkin tidak akan disukai oleh manajemen klub. Bisa dibayangkan misal Salah atau Mane kembali ke Anfield dalam kondisi cidera berat, akan sangat sulit berkompetisi dengan monster seperti Manchester City untuk dapat memperebutkan juara liga.
Inilah profil menarik dari pemain-pemain Afrika. Penikmat sepakbola di Indonesia mungkin tidak kenal mereka, Namun sekali nya ada yang terkenal, bisa digaransi mereka juga menjadi Figur pemain yang penting baik di timnas ataupun di klub.Â
Sekarang, pemain seperti Roberto Firmino sangat mungkin tidak dipanggil oleh timnas Brazil, Namun tidak mungkin Sadio Mane tidak dipanggil oleh timnas Senegal. Ada apa gerangan? Dan bisakah Indonesia meniru model pengembangan pemain dari tim-tim Afrika?
TIMNAS DI AFRIKA: TUMBUH DAN TERUS BERKEMBANG
Kembali lagi di tahun 2011 atau 2012, sangat mungkin penggemar sepakbola di Indonesia kebanyakan hanya kenal pemain seperti Drogba, Adebayor dan Toure bersaudara, saat ditanya mengenai pemain Afrika yang bersaing di liga inggris misalkan.Â
Namun saat ini, penulis yakin banyak penikmat sepakbola yang tahu siapa itu Riyad Mahrez, tahu juga siapa itu Andre Ayew, Wilfried Zaha, Trezeguet dan sebangsanya. Terlepas dari mudahnya akses informasi, memang banyak pemain-pemain Afrika yang mulai mengisi arsenal tim-tim besar eropa.
Jika ditelisik cerita mereka, banyak yang memulai karir sepakbola secara apa adanya di kampung Halaman, kemudian bertaruh dan bertarung dengan membangun karir dari kerak-kerak sepakbola eropa. Mane memulai karir dari FC Metz, yang mungkin sampai sekarang penikmat sepakbola Indonesia belum pernah tahu itu klub apa.Â
Salah sendiri memulai karir dari FC Basel, sebuah tim di liga primer Swiss. Sangat jarang ada yang langsung mentereng dan bersinar di Tim top eropa, seperti misal Ansu Fati atau Trent Alexander-Arnold. Mayoritas pemain Afrika benar-benar harus memulai dari bawah, membuktikan diri mereka tahap demi tahap, sebelum akhirnya meraih apa yang mereka nikmati sekarang.
Saat ini keadaan di Afrika mungkin sudah lebih baik minimal dari aspek sepakbola. Liga-liga menjadi teratur dan rapi, dan semakin banyak bakat-bakat muda yang tidak harus memulai dari bawah. Namun bagi negara, dengan struktur sepakbola acakadut, kualitas liga yang Amburadul, dan manajemen klub yang wallahu 'alam, keberanian menit karir menjadi semacam kata ajaib untuk meningkatkan kualitas sepakbola, dan karir mereka.
Perlu diingat disini, bahwa menjadi atlit sepakbola berarti memilih karir yang singkat. Sangat jarang ada pemain sepakbola yang dapat bersaing bersaing level tertinggi saat lepas dari umur 30 tahun. Pemain seperti Neymar Bahkan menyatakan dia akan pensiun saat memasuki usia 31 tahun, yang berarti kurang 1 tahun lagi karena kemarin dia baru berulang tahun.Â
Maka jika Anda adalah bakat muda sepakbola yang berasal dari negara, dengan federasi lawak, liga amburadul dan tim acakadut, sepertinya menjadi sebuah kewajiban untuk mengadu nasib dan mencoba sepakbola internasional, karena ini yang dilakukan bintang-bintang sepakbola Afrika disaat mereka juga menghadapi federasi, liga dan klub professional yang korup dan tidak professional.
Leap of faith.
Apakah lewat tulisan ini penulis tidak mendukung perkembangan sepakbola di negara-negara yang lucu-lucu federasinya? Tentu tidak. Sampai Liverpool juara sekalipun selama orang-orang di federasi masih suka lawak selama itu juga yang disaksikan dan disajikan adalah sepakbola yang lawak.Â
Maka selama belum ada kejelasan dan ndelalah para pelawak ini masih ada umur, mending membangun nasib sendiri. Karena beda dengan PNS, sampai 60 tahun masih bisa kerja Bahkan mungkin jabatan nya naik terus. Kalau pemain bola sudah usia 40-an, ya biasanya sih sudah pada pensiun.
Harapannya juga, dengan menikmati, menyaksikan dan hidup di tengah-tengah kancah sepakbola tertinggi, saat pensiun nanti pemain-pemain professional ini bisa membawa rombakan besar, mengganti orang-orang lawak yang selama ini mengelola sepakbola. Sudah dicontohkan oleh Samuel Etoo, bahwa sepakbola ya sebaiknya Dikelola oleh yang tahu sepakbola. Bukan bapak-bapak wallahu alam yang mungkin tidak paham apa itu offside.
Wallahu 'alam
Semoga tim terbaik yang menjadi juara di AFCON tahun ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H