Mohon tunggu...
azzam abdullah
azzam abdullah Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan Swasta

Lulusan Magister Manajemen yang sedang kerja di perusahaan swasta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komunitas: Di Persimpangan Jalan

12 Agustus 2021   14:08 Diperbarui: 12 Agustus 2021   14:17 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Oleh: Muhammad Abdullah 'Azzam

Dewasa ini beragam komunitas yang umumnya diisi dan dikelola anak-anak muda mulai bermunculan. Bak jamur di musim hujan, kondisi pandemic seolah membuat banyak anak muda tersadar akan tanggung jawab social mereka. Beramai-ramai membuat berbagai macam perkumpulan dengan tujuan meringankan sesama, menghimpun para donator, dan dalam beberapa kasus menjadi cara paling mudah untuk tampil di media baik media social ataupun media massa. Tetapi, apakah sebuah kewajaran bahwa sesuatu yang bersifat spontan dan berbentuk komunitas hadir dan menghilang secepat rontoknya daun jati di musim kemarau?

Komunitas dan pemuda 

Menurut beberapa studi ilmiah yang membahas tentang generasi millennial, seperti yang dikutip oleh Pew Research Center, generasi millennial memang memiliki kecenderungan tertentu terhadap peran mereka untuk diri sendiri dan lingkungan. Generasi ini lebih menghargai sesuatu seperti kejelasan karir dan peluang mengembangkan diri disbanding sekedar angka nominal gaji. Inilah kenapa kegiatan bersifat kerelawanan mengundang banyak perhatian dari generasi millennial. Karena dipandang kegiatan semacam ini mampu memberikan pengembangan diri sekaligus memberikan kebermanfaatan bagi lingkungan.

Tetapi memang satu sifat dasar yang para ahli bersepakat, adalah generasi millennial adalah generasi bebas. Stewart et.al (2017) menjelaskan bahwa generasi ini sudah memiliki visi diri yang jelas, sehingga dalam konteks tempat kerja visi pribadi ini bisa membuat generasi ini stand out dan bahkan memicu dinamisasi di perusahaan. Inilah kenapa sifat seperti tidak ingin dikekang, kebebasan berpendapat dalam Bahasa verbal atau Bahasa Tindakan sangat dijunjung oleh generasi ini, dan kenyataannya, saat ini generasi millennial dan generasi-generasi dibawahnya lah yang umum disebut sebagai para "pemuda".

Maka jatuh cintanya pemuda pada konsep komuitas ini bisa ditelusuri salah satunya adalah latar belakang generasional mereka. Visi pribadi yang dibangun oleh generasi millennial ini tidak lepas dari ramahnya generasi ini terhadap penggunaan teknologi, keterbukaan informasi dan globalisasi. 

Sehingga konsep komunitas yang tidak memberikan ikatan formal sangat digandrungi karena didalam komunitas terdapat kebebasan berekspresi, kemudian kejelasan kontribusi, dan yang paling utama, tidak ada keterikatan formal disana.

Lain halnya dengan organisasi-organisasi dalam bentuk formal. Terdapat kontrak yang jelas, tupoksi, aturan, tanggung jawab yang semuanya hitam diatas putih dan bisa dipertanggungjawabkan dihadapan hukum. Komunitas bisa memiliki hal semacam ini, namun pada dasarnya, pengelola dan peserta komunitas sendiri tidak mau berurusan dengan hal merepotkan semacam ini. Karena pada akhirnya, komunitas adalah kumpulan individu yang fluid dimana mereka memiliki kesamaan, baik itu kesamaan sudut pandang, sudut pandang hingga kesamaan masalah.

Komunitas dan Self Branding

Luar biasa kalau kita bertemu dengan seorang individu yang dia berkenan membantu orang jompo, sibuk memberikan beasiswa pada mahasiswa, dan membuat kelompok belajar sekaligus. Seolah kita menyaksikan datangnya seorang juru selamat yang bisa melakukan apa saja. Lebih luar biasanya lagi kalau ternyata setiap postingan media sosialnya seolah senantiasa memberikan yang baik-baik. Tidak berlebihan jika akhirnya muncul sebah fans club yang menyanjung si manusia, bahkan menjadi teladan, mungkin bisa dibilang semacam itu.

Tetapi kadang kabar bubarnya komunitas yang membantu orang jompo, entah tiba-tiba beasiswa yang diberikan tidak ada kabarnya, atau kelompok belajar yang sudah tidak pernah belajar lagi, luput dari pandangan. Hanya nama besar si orang yang sekarang mungkin sudah duduk di parlemen, menjadi komisaris BUMN atau pejabat tinggi di daerah masing-masing yang tersisa. Hanya kalimat dulu dia pernah ini, pernah itu, pernah anu, pernah gini, dan seterusnya.

Pertama memang tidak ada salahnya hal semacam ini dilakukan. Toh memang sejatinya sifat komunitas ya semacam itu saja, kalau anggota-anggotanya sudah sama-sama mufakat untuk membubarkan, bubar sudah. Tidak perlu mengurus apapun ke notaris, meskipun memang ada paguyuban-paguyuban yang terdaftar juga di kementrian terkait. Tentu juga tiada beban social apapun, karena Ketika pun dicari sangat jarang ditemukan komunitas semacam ini yang memiliki kantor secretariat, atau bahkan struktur yang definitive.

Kedua memang Namanya kehidupan akan terus berjalan. Berbicara realistis-materialistis sangat tidak mungkin ada individu yang mau untuk terus memberikan bantuan kepada orang lain. Terutama jika yang bersangkutan bukan merupakan Lembaga social terdaftar. Hanya sekelompok orang yang pengen bantu orang lain saja misalkan. 

Bantuan tersalurkan, urusan kelar, hanya portofolio diri saja yang nambah. Ohya saya dulu pernah bikin komunitas A yang bantu tukang becak, sekarang sudah ndak ada lagi, tapi yasudah saya tulis saja co-founder komunitas A tahun 2016, dan seterusnya.

Maka memang realitas tengah dihadapi, oleh siapapun yang pernah bersinggungan dengan Namanya komunitas. Tidak ada keabadian selain nama harum si pendiri pada waktu itu dan mungkin di masa mendatang.

Bahkan kenyataan bahwa komunitas hobi umurnya bisa lebih Panjang dibandingkan dengan komunitas social sangat bisa dipahami. Karena hobi kuat kaitannya dengan kesenangan pribadi. Sedangkan komunitas adalah usaha-usaha kolektif menyenangkan orang lain dengan mengorbankan diri sendiri. 

Kalau misalkan Islam adalah agama otoriter, sangat mungkin kurban tidak dilaksanakan setahun sekali, tetapi setiap bulan. Tetapi Alhamdulillah, islam sendiri menganjurkan kurban hanya setahun sekali dan bagi yang mampu, karena islam tahu setiap orang ya butuh untuk menghidupi diri dan keluarganya,

Mungkin akan banyak yang tidak bersepakat Ketika saya sampaikan dalam opini ini bahwa komunitas digunuakan untuk memperbaiki branding pribadi. Tetapi saya yakin semua orang bersepakat, bahwa dengan nama kita terpampang menjadi seorang founder komunitas tertentu, branding diri kita akan semakin cemerlang.

Mahalnya Istiqomah 

Sebenarnya kalau mau jujur Indonesia ini penuh dengan Lembaga bonafide yang awalnya hanya sebuah komunitas. Tetapi yang membedakan adalah mereka-mereka yang dulu membuat komunitas semacam ini secara total memang menginginkan untuk terus memberikan yang terbaik bagi diri dan bagi lingkungan. 

Sebut saja Perguruan Muhammadiyyah, yang berawal dari sebuah kegiatan ta'lim dan belajar mengajar, LAZ Nasional Dompet Dhuafa yang berawal dari keresahan para wartawan dari koran Republika, Green Peace, dan semacamnya,

Artinya, ada sesuatu yang bisa sebenarnya dicontoh oleh para pegiat komunitas modern untuk membuat apapun yang mereka lakukan, memiliki umur yang Panjang, berkelanjutan, dan terus menebar manfaat. Salah satu diantaranya adalah membuat etika dan tata Kelola organisasi. Meskipun formatnya sukarela bukan berarti tidak ada tata Kelola dan etika dalam berorganisasi.

Sebuah documenter yang dibuat oleh Vice Asia tentang bosozoku (semacam geng motor) di jepang, anak-anak preman ini pun memiliki kode, struktur organisasi, dan jenjang karir yang jelas. Tidak bisa seenaknya saja mereka keluar dan pergi, meninggalkan sesuatu yang mereka sudah terjun. 

Maka tidak heran meskipun liar, komplotan-komplotan ini bisa berumur sangat Panjang bahkan hingga puluhan generasi. Sekarang, bayangkan saja sebuah komunitas kebaikan yang minimal bisa menginspirasi dan menjaga nafasnya agak Panjang, mungkin hingga 10 tahun. Tidak hanya KitaBisa.com saja yang mengurus anak-anak terlantar, tetapi juga puluhan bahkan ratusan komunitas muda yang menjawab tantangan di wilayahnya masing-masing.

Kedua adalah mulai ditanamkannya sebuah sudut pandang, bahwa fluidity organisasi tidak berarti sambil lalu meninggalkan tanggung jawab. Perlu diingat bahwa jalan yang dipilih terutama jika menjadi sebuah komunitas social adalah anda sudah menyalakan harapan orang lain. 

Jangan karena kita tidak professional serta merta kita padamkan harapan orang lain tersebut. Penulis sendiri pernah bergabung dalam komunitas pecinta hiburan dari Jepang, dan ya, setiap event-event anime member komunitas pun tetap menghasilkan karya untuk bisa disajikan kepada khalayak atas nama komunitas. Padahal ini hanya komunitas hepi-hepi melihat gambar 2 dimensi, tidak lucu kalau komunitas yang sudah memberikan harapan, hanya berakhir menjadi batu loncatan mereka-mereka yang punya ambisi pribadi.

Kedua hal diatas adalah hal-hal dasar yang setidaknya mampu membuat komunitas yang kita buat tidak hampa, tidak kosong. Karena kita harus menyadari bahwa saat ini komunitas sebagai sebuah elemen social sedang berada di persimpangan. Antara dia sebagai wadah yang nyata bagi generasi millennial untuk mewujudkan idealism dan membantu menyelesaikan permasalahan Bersama. Atau dia hanya digunakan sebagai alat panjat social, atau lebih parah lagi, memuluskan Langkah untuk mencapai ambisi tertentu.

Jawaban nya ada di tangan kita masing-masing.

Wallahu 'Alam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun