Mohon tunggu...
Mahdiya Az Zahra
Mahdiya Az Zahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - lifetime learner

Mompreneur yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Israel Bukan Sedang "Pulang" ke Palestina

20 Juni 2021   15:42 Diperbarui: 20 Juni 2021   15:45 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: detik.net.id

Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan tentang makna pulang. Pulang bukan sekedar perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin. Pulang bukan tentang tempat asal kita, namun tempat di mana kita merasakan ketenangan, kenyamanan, dan kedamaian. 

Pulang bukan sekedar perjalanan menuju tempat kelahiran kita, pulang adalah perjalanan batiniah, terkait hubungan kita dengan alam. Di mana pun kita merasa nyaman, di situlah kita kembali. Di manapun kita kembali, di sanalah tempat asal kita. 

Pulang adalah perjanalan menuju tempat di mana kita bisa menjalin hubungan keterkaitan dengan alam. Di mana jiwa kita bisa bekerja sama dengan alam, saling merindukan dan saling menjaga. Pulang sejatinya adalah kembali menemukan bagian dari jiwa kita yang sudah tertaut di alam. Dan alam itu sejatinya tak berbatas wilayah. 

Pulangnya Zionis

Orang-orang beragama Yahudi dan berideologi Zionis sejak berpuluh tahun lamanya hingga kini menjadikan Palestina sebagai tempat pulang. Mereka berpikir bahwa Palestina adalah tempat asal dari nenek moyang mereka. Mereka yang dulunya ditolak di mana pun memilih untuk 'pulang' ke Palestina. 

Mereka memiliki harapan yang pasti tentang tanah Palestina. Mereka yang terusir di semua tempat berharap bisa pulang dan menjalani kehidupan dengan kedamaian. Mereka berharap menemukan kebahagiaan dan ketenangan di tempat yang baru, tempat yang mereka anggap sebagai rumah nenek moyang mereka.

Faktanya, tanah Palestina bukanlah tanah tak berpenghuni yang bisa diduduki siapa saja. Tanah Palestina adalah milik warga Palestina yang sudah tinggal di sana sejak berabad yang lalu. Sama halnya dengan warga Indonesia yang kemudian mengusir para penjajah karena sudah menempati wilayah ini terlebih dahulu. 

Jika mereka benar-benar ingin 'pulang', maka keputusan untuk datang ke Palestina adalah pilihan yang salah dan fatal. Menduduki wilayah Palestina secara paksa hanya menimbulkan kerusakan alih-alih kedamaian. Jika memang ingin mencari kedamaian di Palestina maka pilihan tepatnya adalah menjadi warga Palestina, hidup berdampingan dengan warga asli Palestina. 

Untuk menjadi warga Palestina, tak perlu menghancurkan properti, merampas tanah, dan membunuh warga Palestina. Untuk bisa hidup damai di Yerusalem, tak perlu merusak sekolah, rumah sakit, dan rumah warga. 

Kepulangan seharusnya menjadi kabar baik bagi warga tempat kembali. Kepulangan seharusnya menjadi penawar derita dan sumber kebahagiaan. Kepulangan seharusnya menjadi tautan jiwa dengan alam tempat kita kembali. 

'Pulangnya' zionis ke Palestina justru membuat warga asli Palestina terusir dari rumahnya sendiri. Mereka harus mengungsi di tanah kelahirannya dan hidup tidak layak di negaranya sendiri. Mereka kehilangan masa kecil, udara yang bersih, sekolah dan tempat ibadah yang nyaman.  Jika 'pulangnya' mereka ke Palestina justru menimbulkan kerusakan, maka langkah terbaik adalah pergi ke tempat di mana mereka merasakan kedamaian. 

Pulang ke Perantauan

Ketika saya di Riau, saya melihat banyak orang Jawa yang transmigrasi ke sana. Mereka tinggal dalam satu wilayah yang semuanya berisi orang Jawa dan menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi. Mereka yang bertransmigrasi itu sudah memiliki keturunan hingga muncul lah istilah Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatra). 

Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak ingin pulang ke Jawa? Apakah mereka tidak rindu kampung halaman? Apakah mereka tidak ingin tinggal bersama leluhur dan nenek moyang mereka? Bukankah jauh lebih menyenangkan tinggal di Jawa daripada di Sumatra? 

Namun para Pujakesuma yang kerja di Jawa pun tetap merasa bahwa Sumatra adalah tempat mereka pulang. Padahal, nenek moyang mereka jelas ada di Jawa. Banyak yang masih punya kerabat di Jawa, namun tetap kembali ke Sumatra seusai kuliah di Jawa. 

Hal ini karena jiwa mereka sudah tertaut dengan Sumatra, meski nenek moyang mereka berada di Jawa. Mereka telah menautkan jiwa mereka di tempat yang baru. Mereka bahkan lebih menyukai masakan Padang yang pedas dan asin dibanding masakan Jawa yang manis dan tidak terlalu pedas.

Artinya jiwa mereka sudah menyatu dengan alam Sumatra, berbaur dengan budaya dan tradisi Sumatra, dan mereka bangga menjadi bagian dari Sumatra. Ya, pulang bukan hanya kembali ke tempat asal nenek moyang kita. Pulang adalah tempat kita berbagi cinta dengan alam. 

Jika pun mereka pulang ke Jawa, mereka sudah tak punya apa pun. Kembali ke Jawa artinya memulai kembali kehidupan di Jawa sebagai warga yang baru. Hutan, ladang, dan sawah yang dulu mereka kenal sudah berubah. 

Alam yang dulu berbagi kasih dengan mereka sudah berubah. Dan kini mereka berbagi kasih dengan alam Sumatra. Mereka menemukan tempat kembali yang baru, mereka pulang ke rumah yang baru. Mereka pulang ke perantauan.  

Begitu pula alam di Palestina, jika pun benar bahwa nenek moyang Zionis berasal dari Yerusalem, maka Zionis tidak lantas berhak mengusir warga Palestina. Kondisi ratusan tahun yang lalu dengan masa kini sudah berbeda, alam sudah berubah, dan alam itu sudah berbagi kasih dengan warga Palestina. 

Tidak, Zionis tidak sedang pulang. Mereka adalah bentuk dari ketamakan, kerusakan, dan kesombongan. Mereka bukan mencari tempat pulang, mereka hanya sedang bermain catur sambil terbahak melihat pion mati bergelimpangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun