Mohon tunggu...
Mahdiya Az Zahra
Mahdiya Az Zahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - lifetime learner

Mompreneur yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hanya Atta yang Boleh Punya Banyak Anak

18 Juni 2021   18:33 Diperbarui: 19 Juni 2021   23:43 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Netizen Indonesia sekarang sedang heboh dengan keinginan Atta untuk memiliki 15 anak. Banyak orang lantas menulis berbagai nasehat untuk Atta. Banyak netizen yang kemudian bersimpati pada Aurel yang harus mengalami siklus hamil, melahirkan, dan mengasuh tanpa henti. 

Namun sebenarnya kita perlu melihat ini dari sudut pandang Atta Halilintar. Ia dibesarkan dalam keluarga kaya raya dan memiliki 9 saudara. Bukan hal yang baru bagi Atta ketika sebuah keluarga memiliki banyak anak. Faktanya, keluarga mereka sehat fisik dan mental, kebutuhan dan fasilitas terpenuhi, ibunya pun sehat dan bahagia. 

Banyak orang mengkhawatirkan kondisi fisik dan mental Aurel nantinya. Namun Atta tak melihat hal itu sebagai sebuah hal yang perlu dicemaskan. Bisa kita lihat dari keluarga Halilintar, mereka berkecukupan, paham agama, serta teredukasi dengan baik. Saya lihat ayah dan ibu Halilintar juga memiliki ilmu parenting yang bagus.

Saya pernah melihat bahwa tiap anak Halilintar memiliki tugas masing-masing dalam rumahnya. Ada yang mengurus makanan, laundry, cucian piring, membersihkan rumah. Memberikan tanggung jawab pada tiap anak bukanlah sesuatu yang mudah dan harus ada ilmunya.

Mereka juga termasuk keluarga yang memahami agama, Pak Halilintar sendiri merupakan orang yang taat beragama dan membekali anak-anaknya pemahaman agama yang baik. Anak-anak tak masuk ke kelompok radikal dan juga tidak masuk pergaulan bebas. 

Sekarang kita lihat dari sisi fisik dan mental ibu. Saya belum pernah membaca kisah ibu Halilintar yang melahirkan dan mengasuh anaknya, bagaimana kondisi fisik dan mentalnya. Namun kita bisa proyeksikan kondisi Aurel jika memiliki banyak anak. 

Kehamilan seringkali menjadi hal yang mengerikan bagi sebagian perempuan. Jika Aurel mengalami kehamilan yang menyakitkan, Atta bisa membayar dokter kandungan pribadi untuk datang ke rumahnya, mempekerjakan banyak pembantu untuk menemani dan membantu Aurel. 

Mempekerjakan pembantu untuk membersihkan dan memasak di rumah. Berbagai fasilitas bagi Aurel akan dengan mudah dipenuhi Atta. Jika sampai Aurel tertekan, Atta bisa dengan mudah mendatangkan psikolog ke rumah. Aurel juga bisa ikut kelas kehamilan dengan biaya mahal namun bisa memudahkan proses melahirkan nantinya. 

Selanjutnya tentang melahirkan. Bagi orang kaya, melahirkan normal bukan masalah karena mereka sanggup membeli epidural sehingga sang ibu tak merasakan sakit. Atta juga tak masalah jika harus membayar biaya operasi caesar. Oiya mereka juga sanggup memilih dokter dan RS dengan pelayanan terbaik. 

Banyak ibu akan merasa kelelahan dan tertekan setelah melahirkan. Faktanya Atta bisa menyewa 10 baby sitter untuk satu bayi. Memandikan, mempersiapkan ASI perah jika Aurel masih kesakitan, menjadi back up untuk Aurel ketika membutuhkan. 

Ibu yang tertekan biasanya karena banyak tuntutan agar ibu bisa begini dan begitu. Namun berbeda dengan aurel, ia bisa mendapatkan fasilias psikolog untuk mengatasi kondisi mentalnya setelah melahirkan. 

Atta juga bisa menemani Aurel dan bayinya sambil bikin vlog. Dan ini mungkin juga yang dialami ibu Atta, atau setidaknya Atta tak pernah melihat ibunya kelelahan dan tertekan karena melahirkan dan mengasuh bayi. Atta lahir dan tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan.

Dengan kondisi tersebut, wajar jika Atta ingin memiliki 15 anak karena ia siap dengan segala konsekuensinya. Ia siap menyediakan fasilitas untuk Aurel dalam menghadapi berbagai masalah nantinya. Uang memang tak bisa membeli kebahagiaan, tapi uang bisa membeli fasilitas. Dan fasilitas seringkali berbanding lurus dengan ketenangan. 

Berbekal dari pengalaman dalam keluarganya, wajar jika Atta tidak berpikir bahwa mendidik adalah hal yang sulit. Faktanya orang tuanya berhasil mendidiknya berserta adik-adiknya menjadi orang yang bertanggung jawab. Hal ini salah satunya dibuktikan dengan pembagian tanggung jawab dalam rumah, dan kini masing-masing mencari uang sendiri. 

Berbeda dengan kondisi yang ada pada masyarakat dengan ekonomi kurang. Saya sendiri yang cuma 4 bersaudara, ayah PNS, merasakan hidup yang begitu kekurangan. Saya hampir tak pernah memiliki keinginan. Untuk kuliah pun saya dan kakak saya harus mencari beasiswa. Bagi saya yang tumbuh dalam kondisi seperti ini saya malah jadi kapok, saya tak ingin punya banyak anak. 

Ada kelompok yang mulai teredukasi terkait parenting, kesehatan mental, dan gender. Mereka adalah kelompok yang cukup mampu untuk ikut seminar parenting, bertemu psikolog, ikut kelas kesehatan mental danpemikirannya terbuka. Biasanya mereka orang-orang yang kondisi ekonominya cukup dan teredukasi dengan baik terkait pentingnya kesehatan mental bagi setiap orang.

Namun ada kelompok yang belum sadar akan kesehatan mental.  Mereka yang ekonominya kurang tak sempat membaca informasi terkait perkembangan kondisi masyarakat. Biasanya mereka juga tipe yang tak peduli jika diberi nasehat terkait kesehatan mental.  

Tak sedikit keluarga dengan kondisi kurang adalah keluarga banyak anak. Mereka tak mengenal KB, memilih KB suntik atau pil yang kalau lupa bisa dengan mudah hamil lagi. Mereka juga percaya kalimat banyak anak banyak rezeki. 

Padahal maksud dari pernyataan tersebut adalah pintu rezeki akan terbuka, artinya kita lah yang harus membuka. Kita harus mencari rezeki dari berbagai macam sektor, yang tadinya satu kita harus tambah seiring bertambahnya anak. 

Biasanya juga keluarga ini masih menganut sistem patriarki sehingga perempuan lah yang harus mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga. Tak jarang juga mereka menjadi tulang punggung. Sudah kerjaan rumah, ngurus 10 anak, menyusui, mengasuh, hingga bekerja. 

Mereka tak punya waktu dan uang untuk mengikuti kelas gender atau parenting, apalagi kesehatan mental dan bertemu psikolog. Me time yang gratis saja mereka tak berharap bahkan tak tahu jika harus ada me time. 

Badannya sudah rapuh duluan, akibatnya hiburannya paling nonton tv alih-alih membaca informasi terkait parenting. Saya sendiri pernah berbincang dengan tetangga tentang parenting. Dia adalah ibu yang tak pernah mengenyam pendidikan dan belum terbuka pemikirannya. Ia tak percaya dengan parenting, kesehatan mental, juga psikolog. Alhasil saya malah dimusuhi olehnya. 

Sebenarnya kelompok menengah ke bawah lah yang perlu diedukasi tentang anak. Mereka perlu diperkenalkan dengan KB yang berlaku 5 tahun sekali. Mereka perlu diajak berdiskusi terkait kesehatan mental, gender, dan parenting, serta tanggung jawab dalam memiliki anak. 

Mereka lah kelompok yang tak memiliki support system dan tak bisa membeli fasilitas seperti Atta. Mereka juga yang harus bekerja dalam kondisi luka jahitan pasca melahirkan, mengurus anak dan suami bersamaan. Jangankan istirahat, mengeluh saja tidak boleh. 

Mereka adalah masyarakat yang membutuhkan pemahaman tersebut dan kita juga perlu mengupayakan untuk memberi pemahaman. Kampanye tentang hak perempuan seharusnya ditujukan dan didedikasikan untuk mereka. Mereka yang tak mampu membeli kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun