Mohon tunggu...
Azzahra Sabrina Hanifa
Azzahra Sabrina Hanifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Agama Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

if it's meant to be, it will be.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Sebelum Kemerdekaan Indonesia

23 September 2024   15:48 Diperbarui: 23 September 2024   15:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembelajaran pendidikan yang berbasis agama Islam diawali pada abad ke-13 M, terlihat dari kehadiran para pedagang yang berasal dari Gujarat (India) ke tanah air. Agama Islam semakin berkembang di kawasan pesisir yang menjadi jalur perdagangan dan interaksi antara pedagang Gujarat dengan penduduk pribumi. Penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda menandakan berakhirnya masa kejayaan kerajaan Islam di Nusantara. Pendidikan Islam pada masa pra-kemerdekaan dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dari pemerintah kolonial dimana pendidikan pada era pra-kemerdekaan terfokus pada penyiapan tenaga kerja yang mampu memenuhi kebutuhan penjajah, yakni nantinya para tenaga kerja tersebut juga akan menjadi pekerja untuk kepentingan para penjajah pada saat itu.

 Kurikulum pendidikan pada masa penjajahan Belanda-Jepang disentralkan pada pemenuhan misi dan tujuan penjajah, yakni menghasilkan sumber daya manusia yang mampu memenuhi kebutuhan dan membantu misi kolonial. Pada mulanya, penjajahan yang mereka lakukan murni hanya untuk mencari rempah-rempah. Namun, ternyata kolonial Belanda juga melakukan misi penyebaran agama para penjajah, yakni Kristen. Oleh karena itu, pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan sebuah lembaga pendidikan dalam upaya untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara. Penyebaran agama tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi para penjajah, tetapi juga bagi para masyarakat pribumi. 

 Selain misi penyebaran agama, bangsa Eropa juga membutuhkan pegawai rendahan yang mampu membaca dan menulis untuk membantu misi pengembangan usaha, contohnya seperti tanam paksa. Maka dari itu, didirikanlah lembaga-lembaga pendidikan. Namun, lembaga tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan khusus, yaitu golongan priyai. Pendidikan Islam pada saat itu dikelola secara langsung oleh para masyarakat pribumi dengan beberapa model pendidikan, seperti pesantren, langgar, sekolah, dan di berbagai tempat yang mmeungkinkan untuk dilaksanakan proses pengajaran agama Islam.

 Pada masa pra kemerdekaan, pendidikan terbagi menjadi dua corak, yakni pendidikan bercorak lama yang bersifat tradisional dengan model pondok pesantren dan pendidikan bercorak baru yang ditandai dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan oleh kolonial Belanda. Pendidikan yang dikelola oleh kolonial sangat berbeda dengan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi dimana pendidikan Belanda terutama dari segi aspek, kurikulum dan tujuannya lebih mengarah pada ilmu-ilmu pengetahuan umum, sedangkan lembaga pendidikan Islam uang dikelola oleh masyarakat pribumi lebih menekankan pada pengajaran dan praktik ilmu agama. 

  • Pengajian Al-Qur’an

Model pendidikan agama Islam ini dikelola oleh masyarakat pribumi dengan pelaksanaannya yang masih sangat sederhana. Corak pendidikan ini mengarah pada pendidikan Islam tingkat awal (dasar) dimana keseluruhan materi dan tujuan difokuskan pada pengkajian al-Qur'an. Proses pengajian al-Qur'an dilaksanakan di rumah, langgar, masjid, ataupun serambi rumah sang guru yang berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk belajar membaca al-Qur'an, mempelajari tata cara shalat sesuai dengan syariat dan tuntunan ajaran agama Islam, juga materi tauhid atau ketuhanan. Dalam pelaksanaannya, para murid mempelajari huruf hijaiyah, surat-surat yang terdapat di dalam Juz 'amma, membaca surat al-Fatihah, dilanjut dengan menghafal surat-surat di dalam al-Qur'an, serta bacaan dan do'a dalam shalat.

Pengajian al-Qur'an dilaksanakan secara tatap muka (face to face) dan bersifat individual antara guru dengan murid. Murid berkumpul di suatu langgar atau masjid, kemudian membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur'an secara berhadapan dengan guru selama kurang lebih 15 sampai 30 menit. Ketika ada murid yang maju, maka murid lainnya menggunakan waktu tersebut untuk memperbaiki bacaan kemarin yang telah diperbaiki oleh guru atau menambah hafalan al-Qur'an secara mandiri. Dalam perkembangannya, model pengajian al-Qur'an mengalami klasifikasi dalam tingkatan pendidikan, yakni 1) pemula yang baru saja mempelajari huruf hijaiyah hingga ia mampu membaca ayat al-Qur'an dan 2) tingkat lanjutan dimana materi poin pertama ditambah dengan ilmu-ilmu lain, seperti kitab kuning, ilmu tajwid dan nahwu sharaf.

Model pelaksanaan pada pengajian kitab cenderung seperti pesantren. Kurikulum pendidikan pesantren mengacu pada tingkat kemudahan dalam kitab-kitab yang dipelajari, yakni mulai dari kitab tingkat dasar, menengah dan atas. Pengajian kitab dilaksanakan di langgar, masjid, mushola, juga di rumah sang Kyai atau Ustadz. Sistem pengajian ini tidak hanya dilakukan secara individu seperti pengajian al-Qur'an, tetapi juga dilakukan secara berkelompok dengan model halaqah. Pada perkembangannya, pengajian kitab melakukan penyempurnaan di segala aspek, khususnya dalam bidang kurikulum dimana pesantren tidak hanya fokus terhadap ilmu agama, tetapi juga mulai menghimpun ilmu-ilmu pengetahuan umum. Terdapat tiga tingkatan dalam pembelajaran kitab di pesantren dimana kitab-kitab tersebut langsung dipilihkan oleh sang Kyai atau Ustadz, diantaranya yakni:

1. Tingkat rendah. Diawali dengan mempelajari ilmu tata bahasa, seperti nahwu atau sharaf. Pada tingkat ini, salah satu kitab yang digunakan adalah Kitab Fathul Qorib.

2. Tingkat menengah. Pada tingkat ini, santri tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu pada tingkatan pertama, tetapi juga mulai mempelajari ilmu tauhid atau ketuhanan dengan merujuk pada beberapa kitab, yaitu Kitab Fathul Mu'in, Kitab Sanusi, dan Syaikh Khalid.

3. Tingkat Tinggi. Ilmu yang dipelajari pada tingkat ini lebih kompleks dibandingkan dengan tingkat sebelumnya, yakni santri juga mulai mempelajari ilmu fiqih dan tafsir dimana salah satunya menggunakan kitab Baidhawi.

Pengajian kitab dimulai dengan pembacaan teks satu demi satu perbarisnya oleh seorang guru, kemudian menterjemahkan teks tersebut. Lalu, apabila masih terdapat kosa kata yang belum dipahami oleh santri, maka guru akan menjelaskannya lebih detail. Pendidikan model pesantren pada pengajian kitab ini bertujuan untuk mencetak lulusan yang memiliki penguasaan dalam ilmu-ilmu agama. Dilihat dari perkembangannya, pesantren dan beberapa lembaga pendidikan Islam informal memiliki cikal bakal menjadi madrasah. Pada awal kelahiran madrasah, kurikulum yang digunakan lebih banyak terfokus pada ilmu-ilmu pengetahuan agama. Namun, seiring berkembangnya zaman, madrasah mulai menginternalisasikan mata pelajaran umum, seperti ekonomi, geografi, sejarah, dan lain-lain.

Referensi:

Kodir, Abdul. (2015). Sejarah Pendidikan Islam dari Masa Rasulullah hingga Reformasi di Indonesia. (Bandung: CV Pustaka Setia).

Miswar Saputra et al. (2021). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. (Pidie, Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini).

Niswah, Choirun. (2022). Sejarah Pendidikan Islam. (Palembang: Noer Fikri Offset)

Zaelani et al.. (2023). “Transformasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Perkembangan Terkini dan Tantangan di Era Digital)”. Schemata: Jurnal Pascasarjana UIN Mataram. 12 (1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun