Pagi ini Nala cukup dibuat terburu-buru. Dia mengecek satu-persatu penampilannya. Melihat cermin di depannya. Terasa masih ada yang mengganjal di matanya. Ya dia melupakan sesuatu yang cukup penting menurutnya. Ciput. Dia belum mengenakan ciput. Dia tidak mau sehelai rambutnya dilihat oleh seseorang yang bukan mahramnya. Setelah selesai bersiap-siap, dia berangkat ke kampus dengan motor yang dibelikan sebagai hadiah ulang tahun oleh orang tuanya.
"Pak, Bu, Nala berangkat dulu ya. Assallamualaikum." Pamit Nala sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
Nala sebagai mahasiswi semester tiga dikenal alim. Dengan balutan hijabnya yang panjang, tak heran teman-teman menyebutnya ukhti. Banyak orang yang menyukainya karena dia ramah, ceria dan selalu mengajarkan kebaikan. Meski begitu, tetap saja kebaikan Nala tidak disukai beberapa orang.
Suara adzan berkumandang. Nala memilih untuk shalat Dhuhur terlebih dahulu. Ia mengajak Putri untuk sholat bersama. Letak mushola lumayan jauh dari kelasnya. Suara adzan yang merdu semakin jelas di telinganya. Nala di buat merinding mendengarnya.
"MasyaAllah," ucap Nala seketika.
"Kamu kenapa Na?" Tanya Putri.
"Yang adzan itu siapa sih? Bagus banget," pujinya.
"Iya, mending masuk yuk, nanti kita juga tahu siapa yang adzan," ajak Putri.
Mata Nala melirik ke kanan dan kiri. Ia mencari sosok yang mengumandangkan adzan sebagus itu. Akhirnya, mata Nala menemukan sosok muadzin itu. Nala tersenyum kecil kagum dengan sosok muadzin itu.
Beberapa hari kemudian, Nala bertemu lagi oleh sosok muadzin yang belum ia ketahui namanya. Ia dipertemukan lagi dalam organisasi yang sama-sama mereka daftarkan. Nala sontak kaget. Ternyata lelaki itu satu angkatan dengannya. Tak sempat mencari tahu namanya, ia harus pulang ke rumah karena hari menjelang petang.
Sesampai dirumah, Nala teringat suara muadzin siang tadi. Laki-laki itu menampakkan senyuman pada Nala. Nala jatuh pada khayalannya.