Mohon tunggu...
Azwin Assabil Aldiansyah
Azwin Assabil Aldiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa sejarah, menyukai seputar otomotif dan musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Politik Etis Belanda Terhadap Stratifikasi Sosial Di Indonesia : Warisan Kolonial Dalam Masyarakat Modern

20 Desember 2024   23:14 Diperbarui: 20 Desember 2024   23:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

  • Pendahuluan

Politik etis merupakan kebijakan yang diterapkan oleh Belanda pada awal abad ke-20, dimulai pada sekitar tahun 1901, bertujuan untuk memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat bumiputera di Hindia Belanda sebagai bentuk balas budi atas eksploitasi yang sebelumnya telah berlangsung cukup lama selama kolonial yang sebelumnya telah terjadi. Politik etis menekankan pada tiga aspek yang utama, yaitu pendidikan, irigasi, dan emigrasi, yang pada awalnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat bumiputera. Meskipun ada upaya meningkatkan pendidikan dan infrastruktur, kebijakan ini tidak menghilangkan stratifikasi sosial yang ada. Kelasn priyayi dan terdidik tetap mendapat akses lebih baik terhadap perekonomian dan politik, sementara rakyat biasa tertinggal. Hal ini melahirkan kelas intelektual baru yang sadar akan ketidakadilan kolonial dan mendorong gerakan kemerdekaan.

Dengan adanya pengaruh kebijakan politik etis terhadap pembentukan kelas sosial baru di Indonesia di masa pascakolonial. Dengan mempelajari politik etis, akan mengeksplorasi lebih lanjut bagaimana kebijakan tersebut tidak hanya membentuk kesenjangan sosial di masa kolonial, tetapi juga meninggalkan dampak yang masih terasa dalam masyarakat modern Indonesia.

  • Politik Etis

Politik etis merupakan kebijakan yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1901, sebagai respons terhadap kritik dari kalangan liberal di Belanda mengenai perlakuan terhadap rakyat bumiputera. Kebijakan politik etis ini disebut-sebut sebagai politik balas budi kepada masyarakat bumiputera, di mana kolonial Belanda berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bumiputera melalui tiga pilar utama, yaitu pendidikan, irigasi, dan migrasi.

Politik Etis adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada tahun 1901 sebagai bentuk tanggapan terhadap kritik dari kalangan liberal di Belanda mengenai perlakuan terhadap masyarakat bumiputera. Disebut sebagai politik balas budi, kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bumiputera melalui tiga pilar utama, yaitu pendidikan, irigasi, dan migrasi. Melalui pendidikan, banyak sekolah didirikan untuk mengurangi angka buta huruf dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang tidak hanya menciptakan tenaga kerja terampil tetapi juga individu yang sadar akan kondisi sosial politiknya, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Pilar irigasi bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian dengan memperkenalkan sistem irigasi modern, meskipun manfaat utamanya lebih banyak dirasakan oleh pemerintah kolonial daripada petani lokal. Sementara itu, migrasi yang memindahkan penduduk dari Jawa ke wilayah lain bertujuan mengurangi kepadatan penduduk dan memperluas lahan pertanian, namun sering kali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat lokal sehingga menimbulkan dampak negatif bagi bumiputera yang dirugikan oleh kebijakan tersebut.

Secara keseluruhan, meskipun politik etis ini memberikan beberapa kemajuan dalam bidang pendidikan dan infrastruktur, kebijakannya tetap berakar pada tujuan eksploitasi ekonomi yang lebih besar. Dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan alam Indonesia, pemerintah kolonial Belanda tidak hanya “membayar utang budi”, Tetapi juga mempertahankan kontrolnya atas wilayah koloni demi kepentingan ekonomi mereka sendiri.

  • Dampak Kebijakan Politik Etis terhadap Stratifikasi Sosial

Pada masa politik etis, pendidikan mulai merata dengan berdirinya sekolah-sekolah formal untuk masyarakat bumiputera, memberikan akses ilmu pengetahuan yang sebelumnya sulit dijangkau. Pendidikan ini melahirkan kaum intelektual dan kelas menengah baru yang terdidik, memahami konsep-konsep modern, serta menyadari kondisi sosial dan politik bangsa mereka. Generasi muda ini menjadi pelopor kesadaran nasionalisme dan aktif dalam organisasi pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, kaum terdidik bumiputera juga memperoleh peluang menjadi pegawai pemerintah dalam struktur kolonial, berperan sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan masyarakat lokal, sekaligus memberikan perspektif lokal dalam kebijakan yang diambil. Posisi strategis ini memperkuat peran bumiputera dalam administrasi kolonial dan membentuk fondasi penting bagi perjuangan menuju kemerdekaan.

Selain pendidikan, kebijakan irigasi dan migrasi pada masa politik etis juga memberikan dampak besar. Irigasi yang bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian sering kali disertai eksploitasi tenaga kerja, di mana buruh tani bekerja dalam kondisi berat dengan upah rendah. Sementara itu, kebijakan migrasi yang mendorong perpindahan penduduk ke perkotaan mengubah struktur sosial masyarakat agraris, memaksa banyak buruh tani menjadi pekerja industri yang sering menghadapi eksploitasi. Meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kebijakan ini justru memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi, membuat masyarakat agraris tetap terjebak dalam kemiskinan dan penindasan.

Pada masa politik etis, terbentuk kelas sosial baru berupa kaum intelektual dan pegawa bumiputera terdidik yang memainkan peran penting dalam memperkuat sistem hierarki sosial kolonial. Meskipun mendapatkan akses pendidikan dan posisi yang lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa, mereka tetap berada di bawah kontrol pemerintah kolonial dan sering berperan sebagai perantara, seperti halnya priyayi tradisional. Namun, mereka memiliki ciri khas modern dengan legitimasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat dan pekerjaan administratif. Kehadiran kelas ini menciptakan dinamika sosial, di mana mereka menyaingi priyayi dalam peran administratif, tetapu tetap terikat pada sistem kolonial yang membentuk mereka. Dalam peran ini, mereka turut melanggengkan struktur sosial kolonial dengan menjaga ketertiban yang diinginkan pemerintah Belanda.

Kelas sosial baru ini memberikan legitimasi tambahan bagi pemerintah kolonial melalui kebijakan politik etis yang seolah membawa manfaat bagi bumiputera. Namun, mereka juga menghadapi dualisme kepentingan antara melayani kolonial dan mendukung rakyat. Fragmentasi sosial yang mereka ciptakan dengan memisahkan diri dari rakyat jelata turut memperkuat kontrol kolonial, meskipun pada saat yang sama membuka jalan bagi munculnya kesadaran nasionalisme. Dengan demikian kelas ini memiliki dua peran yang berbeda, yaitu memperkuat hierarki kolonial sekaligus menjadi katalisator bagi perjuangan kemerdekaan.

  • Warisan Sosial pada Masyarakat Modern

Pembentukan kelas sosial baru pada masa kolonial, yang dipicu oleh kebijakan Politik Etis masa Hindia Belanda, memberikan dampak signifikan terhadap struktur sosial Indonesia pasca kemerdekaan. Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat bumiputera melahirkan kelas intelektual yang menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dan rakyat, tetapi tetap berada dalam kontrol sistem kolonial. Setelah kemerdekaan, kelas terdidik ini, yang sebagian besar berasal dari kalangan priyayi, bertransformasi menjadi birokrat modern yang mendominasi struktur pemerintahan baru. Pola hierarki sosial yang terbentuk selama era kolonial terus berlanjut, memperkuat dominasi elit dalam birokrasi dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin dalam. Kelompok terdidik menikmati akses pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, sementara pekerja agraris tetap terjebak dalam kemiskinan dan terbatasnya peluang, mewarisi ketimpangan yang sudah ada sejak masa kolonial.

Pola interaksi sosial dan sistem hierarki yang terbentuk pada masa kolonial, khususnya melalui kebijakan Politik Etis, masih terasa hingga kini dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk birokrasi dan feodalisme. Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan kesejahteraan bumiputera melalui pendidikan, irigasi, dan emigrasi, justru menciptakan kelas intelektual baru yang berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan rakyat, namun tetap berada dalam kerangka hierarki kolonial. Setelah kemerdekaan, kelas terdidik yang banyak berasal dari kalangan priyayi ini melanjutkan peran mereka dalam sistem birokrasi modern, memperkuat struktur sosial yang hierarkis dan menjaga ketimpangan sosial antara elit dan masyarakat agraris. Meskipun feodalisme tradisional telah berubah, jejaknya masih terlihat dalam hubungan sosial dan akses ekonomi, di mana kelompok elit terdidik menikmati keistimewaan, sementara masyarakat agraris tetap menghadapi keterbatasan.

Namun, dominasi kelas priyayi secara perlahan mulai memudar seiring dengan meningkatnya akses pendidikan dan peluang yang tersedia bagi berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, Joko Widodo, yang berasal dari keluarga sederhana tanpa latar belakang priyayi, berhasil memegang jabatan tertinggi sebagai presiden, mencerminkan perubahan menuju struktur sosial yang lebih terbuka. Meski demikian, jejak priyayi masih terlihat dalam kepemimpinan Indonesia, seperti presiden terbaru, Prabowo Subianto, yang berasal dari keluarga aristokrat dan memiliki hubungan dengan tradisi priyayi masa kolonial. Kombinasi ini menunjukkan bahwa warisan kolonial masih ada, tetapi perlahan digantikan oleh dinamika sosial yang lebih beragam.

  • Kesimpulan

Politik etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 memiliki dampak signifikan dalam membentuk kelas sosial baru di Indonesia. Melalui kebijakan ini, pendidikan, irigasi, dan migrasi diperkenalkan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bumiputera. Meskipun terdapat kemajuan dalam akses pendidikan yang melahirkan kaum intelektual dan kelas menengah terdidik, stratifikasi sosial tetap terjaga dengan kuat. Kelas-kelas baru ini, meskipun memperoleh posisi yang lebih baik dalam struktur sosial, tetap berada di bawah kontrol kolonial dan berfungsi sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat. Akibatnya, ketimpangan sosial yang ada justru semakin dalam, dengan elit terdidik menikmati akses yang lebih baik terhadap sumber daya ekonomi dan pendidikan, sementara masyarakat agraris tetap terjebak dalam kemiskinan.

Memahami warisan kolonial, terutama dampak dari politik etis, menjadi penting untuk memperbaiki ketimpangan sosial dalam masyarakat modern Indonesia. Warisan ini tidak hanya menciptakan hierarki sosial yang masih terasa hingga kini, tetapi juga memengaruhi pola interaksi sosial dan akses terhadap peluang yang ada. Dengan mengenali sejarah ini, kita dapat lebih memahami akar masalah ketimpangan sosial yang ada saat ini dan merumuskan strategi yang lebih efektif untuk menciptakan keadilan sosial. Upaya untuk mengatasi ketimpangan harus melibatkan semua lapisan masyarakat dan mempertimbangkan dinamika sejarah yang telah membentuk struktur sosial kita saat ini. Dengan demikian, kesadaran akan warisan kolonial dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan dan penghapusan ketimpangan sosial di Indonesia. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ricklefs, M. C. (2004). Sejarah Indonesia modern 1200–2004. Jakarta: Penerbit Serambi. Retrieved from https://archive.org/details/m.-c.-ricklefs-sejarah-indonesia-modern-1200-2004

Pasaribu, T.N., Ginting, J.C., & Saputri, A.D. (2024). Dampak Kebijakan Politik Etis Belanda terhadap Masyarakat Indonesia. AR-RUMMAN: Journal of Education and Learning Evaluation.

Novriyanto, Y., Apriyana, S.B., & Komariyah, S.N. (2023). Pengaruh Kebijakan Politik Etis Terhadap Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial.

Sinaga, R., Lubis, S.A., Wisabla, N., & Raunaq, U.S. (2024). Politik Etis: Dari Eksploitasi Ke Emansipasi di Era Kolonial. AR-RUMMAN: Journal of Education and Learning Evaluation.

Puri, W.H. (2019). POLITIK BALAS BUDI, BUAH SIMALAKAMA DALAM DEMOKRASI AGRARIA DI INDONESIA. Masalah-Masalah Hukum.

Notosusanto, N., & Poesponegoro, M.D. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI.

Siagian, N.E., Silalahi, Y.R., & Hasiholan Pandiangan, Z.L. (2024). Politik Etis Sebagai Pemantik Awal Pembentukan Organisasi Pergerakan Nasional: Study Kasus Budi Utomo. JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun