Mohon tunggu...
Azwar Radhif
Azwar Radhif Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Paruh Waktu

Be a Critical Jurnalist

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mau Jadi Apa Mahasiswa Unhas Tanpa Workshop?

9 Mei 2020   00:59 Diperbarui: 9 Mei 2020   01:09 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: identitasunhas.com

Ketika mendengar kata "workshop", hal pertama yang terlintas adalah kegiatan pelatihan, seminar dan lain-lain. Tapi entah bagaimana sebab-musababnya, workshop bagi masyarakat yang hidup di sekitar Unhas Makassar diabadikan sebagai nama kawasan yang berada di pinggiran Kampus Unhas Tamalanrea. Barangkali karena terdapat sebuah bangunan di sebelahnya yang nampak seperti bengkel untuk mahasiswa Teknik dulunya.

            Bagi mahasiswa Unhas dan kampus lain di sekitarnya, kehadiran workshop menjadi sangat penting, layaknya Mace kantin yang sangat mengerti kondisi sosial-ekonomi mahasiswa saat akhir-akhir bulan. Di sejajaran jalan yang bersebelahan dengan kanal air, sepanjang jalan terlihat puluhan warung makan, yang harganya sangat bermahasiswa.

            Ketika memasuki malam hari, Workshop berubah layaknya pasar-pasar kecil. Disekeliling kiri-kanan jalan yang cukup sempit terlihat warung makanan, pertokoan, tempat fotokopian, penjual pakaian, hingga kos-kosan. Jalan ini juga menjadi area yang cukup sering dilewati pengendara, dikarenakan pintu utama Unhas Tamalanrea belum bisa digunakan sebagaimana biasanya. Disinilah kesabaran masyarakat sekitar diuji saat melewati jalan ini di sore hari.

Ada yang menarik dari keberadaan Workshop ini selain sebagai ruang hidup secara umum. Kawasan ini juga menjadi tempat yang vital dalam perekenomian masyarakat sekitar. Perputaran perekenomian mikro nampaknya cukup intens yang didasarkan pada asas kebutuhan. Hubungan antara penjual yang notabenenya masyarakat sekitar dan mahasiswa saling melengkapi satu dengan lainnya

Sebagai mahasiswa yang berasal dari luar daerah Makassar, tentunya menekan biaya hidup adalah sebuah keharusan untuk bisa bertahan hidup selain mengharapkan kepekaan sosial kawan seperjuangan. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen, minimal membeli makanan yang cukup dengan harga terjangkau, mirip-mirip gaya ibu-ibu menawar di pasar. Kehidupan mahasiswa pendatang seperti analogi seorang Sultan ketika diawal bulan dan survivor di akhir bulan.

Salah satu bentuk keharmonisan mahasiswa dan penjual warung makan adalah harga makanan yang tergolong manusiawi. Di Workshop Unhas, bermodalkan 5 ribu rupiah, mahasiswa sudah mendapatkan makanan plus senyuman penjualnya. Kategori makanannya pun cukup menyehatkan, sangat rendah lemak, cukup rekomended untuk para vegetarian.

Namun, keseimbangan ini mendapat tantangan dari kenaikan harga bahan pokok mahasiswa dan pemungutan biaya sewa. Selain itu, terlihat juga bentuk hubungan lain, antara masyarakat dan mahasiswa tanpa memandang harga barang, seperti tren miniresto dan gojekisasi yang notabenenya berbeda dengan hubungan mahasiswa pada umumnya dengan warung makan sederhana (seperti yang dijelaskan sebelumnya).

Kenaikan bahan pokok mahasiswa belakangan ini menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa, terutama mendengar wacana kenaikan harga rokok dan komoditas lainnya. 

Selain itu, beberapa waktu terakhir pihak Unhas (menurut informasi penjual) mengambil biaya sewa di setiap warung, hal ini bisa berdampak pada naiknya harga makanan. Tidak salah juga dengan mengambil biaya sewa, toh tempat warung makan berdiri merupakan tanah yang dimiliki Unhas.

Disinilah ujian yang dihadapi penjual agar keseimbangan tetap terjaga, karena banyak Mace Kantin di kampus yang akhirnya keluar karena tak mampu membayar biaya sewa. Terkadang pihak kampus lebih sibuk memajaki masyarakatnya ketimbang membantu pengetahuan dan memperbaiki fasilitasnya, Naudzubillah.

Kemunculan Mini Resto dan Fenomena Gojekisasi

Menjamurnya mini resto dengan nuansa kekinian dan menu yang sungguh pop memiliki peminat tersendiri dikalangan penjajak, termasuk mahasiswa. Harga makanan yang ditawarkan cukup variatif, ya bisa dikatakan agak cukup untuk kategori mahasiswa yang diterpa kemiskinan musiman (memasuki akhir bulan). 

Mulai dari bentuk bangunan ruko hingga dalam bentuk box, tetap menarik perhatian. Apalagi jika diberi label ke barat-baratan dan ke korea-koreaan, niscaya dapat menghegemoni pembeli.

Kehadiran mini resto juga ditopang oleh fenomena Gojekisasi yang dalam beberapa waktu terakhir sangat terasa. Gojekisasi merupakan istilah yang merujuk pada aktivitas distribusi makanan dari produsen (mini resto) kepada pembeli melalui aplikasi Gojek X Grab. Dengan Gojekisasi, konsumen warung mini resto tak perlu lagi repot-repot mendatangi meja kasir sembari menyapa penjual dan memesan makanan, sungguh idaman naks-naks rebahan.

Namun sadar atau tidak, kemunculan gojekisasi merubah wajah konsumerisme modern. Kalau dulunya pembeli harus mengantri untuk memesan makanan, membayar dan mengangkut sendiri makanannya ke meja makan ala-ala MC*, KF* dan semacamnya. Kini, transportasi daring sanggup membawa warung makan kepada pembeli tanpa terbatas ruang dan waktu (asal warung masih buka).

Belum lagi persaingan antara dua perusahaan transportasi daring ini yang saling menurunkan harga tarif pengantaran kepada pengguna (promo). 

Tak tanggung-tanggung, aplikasi kadang memberikan promo yang dibawah batas kesadaran, demi mempertahankan penggunanya. Namun, maraknya gojekisasi tentu memberi berkah tersendiri bagi para driver yang notabenenya merupakan masyarakat sekitar (termasuk penulis dulunya). 

Sehingga antara produsen (mini resto), distributor (driver) dan konsumen (generasi milenial) terjalin hubungan yang saling menguntungkan.

Kehidupan masyarakat workshop Unhas rasa-rasanya memiliki daya tarik tersendiri. Workshop dengan segala kesederhanaannya mampu bertahan di tengah arus pembangunanisme yang turut mendera Makassar, dengan slogan utamanya Makassar World City. 

Tantangannya adalah merawat keharmonisan antara kampus, mahasiswa dan masyarakat yang saling bergantung satu sama lain. Apalagi di sekitar Workshop bukan hanya mahasiswa Unhas semata, ada juga mahasiswa dari beberapa kampus dan masyarakat sekitar, yang hidup dari sepetak tanah dan Hablumminannasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun