Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Anak Minang Harus Merantau?

27 November 2017   10:56 Diperbarui: 2 Desember 2017   10:33 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya. Perpindahan penduduk dari kampung halamannya ke daerah yang dapat memberikan mata pencarian untuknya, ke daerah yang dapat menghidupinya. Merantau dilakukan atas kehendak sendiri dan semua kebutuhan hidup diusahakan dengan kemampuan sendiri. Bila dikaji lebih jauh, sebenarnya ada beberapa faktor yang "memaksa" anak-anak Minang untuk pergi merantau, meninggalkan kampung halamannya.

Tradisi merantau didukung oleh bentuk kekerabatan di Minangkabau yang berbeda dengan suku lain di Indonesia atau dunia. Umar Yunus dalam Koenj buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970: 247) mengatakan bahwa suku Minangkabau garis keturunan dalam masyarakatnya diperhitungkan secara matrilineal. Seseorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya. Seorang ayah dalam keluarga Minangkabau termasuk keluarga lain dari anak dan istrinya, sama halnya  dengan seorang anak dari laki-laki Minang akan termasuk keluarga lain  dari ayahnya.

Garis keturunan yang matrilineal itu membuat posisi laki-laki Minang dalam keluarga menjadi tidak kuat. Dalam keluarga ibu sebenarnya dia hanya sebagai pengelola, tidak sebagai pemilik harta. Sementara dalam keluarga istri dia hanya sebagai tamu, tidak dapat berbuat sebebasnya. Keadaan ini sekali lagi membuat banyak laki-laki Minang yang memilih rantau untuk  tempat hidup mereka.

Sistem kekerabatan matrilineal telah mengharuskan mereka untuk tidak memiliki apa-apa dikampung halamannya, sungguhpun demikian ternyata orang Minang tidak dapat dengan mudah melupakan kampung halaman. Hal ini dapat kita lihat dari pepatah yang melekat dalam kehidupan masyarakat "setinggi-tinggi terbang bangau kembali kekubangan jua" sejauh-jauhnya laki-laki Minang pergi merantau pulangnya kekampung halaman juga.

  • Faktor kebutuhan hidup

Kemajauan zaman ternyata menjadikan kampung halaman sebagai tempat yang tidak cocok lagi untuk mempertahankan hidup. Hidup di kampung dipandang sebagai hidup yang ketinggalan zaman dan tidak memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi lebih baik.

Hal ini mungkin dapat dimaklumi, dapat dilihat bagaimana semakin sempitnya lahan pertanian untuk bertani. Sementara masyarakat terus berkembang tanpa harus memperhitungkan dimana nanti mereka akan ditempatkan.

Semakin banyak penduduk, semakin banyak keluarga, menyebabkan semakin sedikitnya lahan pertanian. Ada yang dibagi-bagi berdasar jumlah kerluarga, kemudian dijadikan perumahan. Di lain pihak kita melihat perut terus saja harus diisi, maka masyarakat Minang mencoba melihat alternatif lain untuk menghidupi diri dan keluarga.

  • Faktor Mata Pencarian

Beralih ke mata pencarian lain karena tanah pertanian semakin sedikit, contohnya ke usaha kerajinan. Walau sebenarnya hanya usaha sampingan tapi pada awalnya sangat membantu kehidupan masyarakat. Kita harus mengakui bahwa usaha kerajinan dari daerah Minang pernah ternama. Sebut saja kerajinan perak bakar dari Koto Gadang atau Songket dari Silungkang.

Tapi zaman ternyata mengambil alih lahan produksi mereka. Kemajuan zaman yang diiringi kecanggihan teknologi  menciptakan alternatif  baru untuk memproduksi barang dengan efisien. Membuat perak bakar lebih cepat dengan teknologi canggih, membuat songket bisa lebih banyak, lebih baik, lebih bervariasi dengan menggunakan teknologi modern.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kerajinan tradisional yang dijadikan dan diharapkan untuk mencukupi kebutuhan hidup akhirnya tersingkir. Maka merantau menjadi pilihan bagi generasi Minang yang ingin mengubah nasibnya. Tak mungkin lagi bertahan di kampung halaman yang membuat hidup semakin susah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun