Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Memperingati Sumpah Pemuda dengan Bincang Buku

28 Oktober 2017   20:46 Diperbarui: 28 Oktober 2017   21:23 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Bincang Buku BBBRH dan CSN. Sumber Foto Mayadah el Hawani Jurnalistik.

Sesampai di Bukittinggi, Narisha tahu ternyata Alam pulang ke kampung halamannya untuk merawat Ibunya yang sedang sakit. Alam anak tunggal dalam keluarganya, sementara Ayahnya sudah duluan meninggal dunia. Ibunya yang sebatangkara itu selama Alam di Jakarta dirawat oleh Alia, janda beranak satu yang merupakan mantan pacar Alam.

Cover Novel Cinta Seribu Nyawa. Sumber ASM.
Cover Novel Cinta Seribu Nyawa. Sumber ASM.
Kisah ini berlanjut pada perjuangan Narisha yang jatuh bangun membunuh rasa cemburu dalam dirinya. Dalam hidup yang rumit itu, Ibu Alam yang sedang sakit meminta agar Alam menikah dengan Alia. Demi baktinya pada Ibunya, Alam mengikuti kemauan Ibunya untuk menikahi Alia, sementara itu Narisha menunggu jawaban cinta dari Alam.

Narisha ternyata memiliki batas perasaan juga, betapapun dia jatuh cinta, akhirnya rasa putus asa membawanya kembali ke Jakarta. Alia sadar Narisha sangat mencintai Alam, dia menolak pinangan Alam. Tapi Alam sudah bulat tekadnya untuk menikahi Alia demi Ibunya.

Alia akhirnya pasrah tapi dia menyampaikan syarat mau dinikahi Alam asalkan Alam sudah menikahi Narisha terlebih dahulu. Alam menyusul Narisha ke Padang untuk menyampaikan perasaannya yang sebenarnya bahwa dia juga mencintai Narisha. Tapi Alam terlambat, karena Narisha menjadi korban gempa 30 September 2009.

Pada kesempatan yang sama, Laras Sekar Seruni yang sudah menulis dua buku tunggal dan 44 buku antologi bersama ini menceritakan proses kreatifnya dalam menulis. Laras, begitu alumni UIN Jakarta itu dipanggil juga memotovasi peserta untuk terus menulis.

"Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah kerja untuk keabadian, jadi kalau ingin abadi maka menulislah," begitu pesan Laras pada peserta acara itu.

Lebih jauh Laras menyampaikan banyak hal terkait proses kreatif menulis dan juga industri buku saat ini. Laras bahkan menyinggung proses penerbitan buku fiksi secara indie dan juga secara mayor. Menurut Laras, kedua proses penerbitan itu ada untung dan ruginya. Persoalannya bukan pada proses penerbitannya, yang penting itu adalah proses menuliskan karya itu. (asm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun