Mohon tunggu...
Azwar Sutan Malaka
Azwar Sutan Malaka Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Kompasianer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media, Politik, dan Ruang Publik

26 Oktober 2017   13:33 Diperbarui: 26 Oktober 2017   13:42 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Koleksi Pribadi

Media sebagai ruang publik diharapkan menjadi tempat dimana masyarakat bisa menyampaikan ide-ide tentang kemaslahatan masyarakat. Dalam tataran berbangsa dan bernegara, media diharapkan menjadi tempat dimana masyarakat mendapatkan informasi yang benar tentang kondisi kebangsaan.

Sementara itu, hal idealis seperti yang ditulis pada kalimat pembuka itu tidak mungkin didapatkan dalam kondisi saat ini. Ada dua hal yang menghalangi media menjadi ruang publik yang baik, yaitu faktor ekonomi dan faktor politik. Namun walaupun demikian hal tersebut masih bisa di atasi dengan dua hal pula, yaitu dengan regulasi secara vertikal dan gerakan komunitas secara horizontal.  

Tentang hal di atas mengingatkan kita pada Jurgen Habermas, seorang filosouf dan sosiolog kritis dari Jerman. Tokoh kritis yang melanjutkan proyek besar Theodor W Adorno dan Max Horkheimer ini menegaskan bahwa  ruang publik memiliki peran yang signifikan dalam proses berdemokrasi. Lebih jauh generasi kedua dari Mazhab Frankfurt ini menyatakan bahwa ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.

Dewasa ini peran seperti yang disampaikan Habermas tersebut dapat dilakukan oleh media. Pada media, semestinya warga bisa menyampaikan kegelisahan-kegelisahan politis mereka. Pada media masyarakat bisa menyampaikan aspirasi secara terbuka tanpa ada intervensi dari pemerintah atau institusi lainnya.

Habermas pada intinya menginginkan dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat untuk melawan mesin kapitalis dan mesin politik. Namun dalam kenyataannya kedua hal ini justru menjadi tembok besar yang menghalangi media menjadi ruang publik yang dicita-citakan sebagai tempat yang demokratis.

Contoh konkrit hal sedemikian adalah dalam fenomena pemilihan umum 2019 mendatang. Semestinya media bisa menjadi sebuah lembaga yang otonom, bebas dari kepentingan politik tertentu. Namun bagaimana mungkin sebuah media akan otonom jika di belakang media itu sendiri ada kekuatan politik yang memengaruhi pemilik media tersebut.

Bahkan ada beberapa pemilik media yang terjun langsung ke ranah politik. Sebutlah beberapa televisi swasta ternama di Indonesia seperti MNC Group (RCTI, Inews, Global TV, dan MNC) dimana pemiliknya Hary Tanoesoedibjo juga merupakan Ketua Umum Partai Perindo. Sementara itu di balik TV One dan ANTV ada mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya, Aburizal Bakri. Metro TV milik Surya Paloh yang juga merupakan Ketua Umum Partai NasDem.

Selain televisi, media cetak dan media baru (media online) juga tidak terlepas dari pengaruh politik, karena sudah bukan rahasia lagi bahwa kepemilikan media cetak dan media baru juga tidak terlepas dari tangan-tangan kekuasaan politik. Intinya semua media tidak terlepas dari kepentingan politik tertentu. Kalaupun tidak secara langsung, minimal karena kepentingan ekonomi, dimana media mau tidak mau harus menerima pemasukan dari iklan yang dipasang oleh politisi atau partai politik.

Bagaimana mungkin masyarakat mengharapkan terselenggaranya proses demokrasi yang baik bila media sudah tak lagi menjadi ruang publik, karena telah terpengaruh oleh kepentingan politik. Sementara itu berharap pada media-media yang tidak dimiliki oleh tokoh politik tertentu masyarakatpun sepertinya pesimis. Karena mesin-mesin pasar seperti yang dibahasakan oleh Habermas tidak bisa dipungkiri telah menjangkiti media itu sendiri sampai ke akar-akarnya.

Kalaupun tidak menyuarakan kepentingan pemilik media yang merupakan tokoh partai, dalam kondisi pesta politik saat ini, apalagi menghadapi pemilihan umum yang akan berlangsung pada tahun 2019 tentu media menyuarakan kepentingan orang yang bisa menggerakkan mesin produksinya.

Secara sederhana media akan menyuarakan pesan-pesan politik dari siapa saja yang bisa membayar mahal untuk iklan-iklan, pariwara atau advertorial mereka. Oleh sebab itu, agar media benar-benar bisa menjadi ruang publik yang baik yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat semestinya ada regulasi yang tegas dan jelas mengatur sejauh mana tokoh-tokoh politik dan mesin-mesin ekonomi boleh "mengatur" isi media. Tentang hal ini tentu berpulang pada pemerintah yang bisa membuat regulasi ini.

Artinya harus ada kebesaran jiwa dari legislatif dan eksekutif untuk membuat peraturan yang berpihak kepada masyarakat. Tidak hanya memikirkan kepentingan partai politik atau kepentingan golongan tertentu bahkan kepentingan pimpinan besar mereka yang berada pada dua kaki; sebagai pemilik media dan juga sebagai pemilik partai.

Kalaupun regulasi yang diharapkan bisa dibuat oleh eksekutif dan legislatif itu belum berpihak kepada msyarakat, semestinya warga tidak berputus asa. Warga bisa menyandarkan harapan mereka kepada pilihan kedua dari solusi yang bisa menciptakan ruang publik yang baik bagi proses demokrasi, yaitu gerakan komunitas.

Komunitas bisa menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk menciptakan iklim yang baik bagi proses penyampaian aspirasi dan ide-ide tentang kebangsaan. Komunitas tak ubah sebagai secercah cahaya pada ujung lorong gelap yang panjang yang memberi harapan agar masyarakat bisa mendapatkan suasana yang baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga harapan ini selalu menyala dalam hati kita, kehidupan berbangsa yang lebih baik! (asm).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun