Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kode Etik Berdiskusi: Bagian Satu

9 Agustus 2021   17:59 Diperbarui: 9 Agustus 2021   18:53 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menguasai sebuah kemampuan bukan hanya soal pembiasaan. Ada prinsip dan standar yang mesti diperhatikan dan ditaati. Termasuk kemampuan menjalin komunikasi ketika terlibat dalam sebuah diskusi. Ruang interaksi yang semakin terbuka dan bebas seperti media sosial dan forum kajian, tidak membuat setiap orang mampu mengindahkan kaidah dan etika yang berlaku.

Ruang diskusi tidak lagi menjadi media menemukan solusi atau bagaimana menjadi saling mengerti. Bukannya fokus pada topik bahasan, yang terjadi malah saling berbalas hinaan dan saling merendahkan. 

Sebagai orang terdidik, Mahasiswa(i) sudah seharusnya menunjukkan contoh yang baik dalam berdiskusi. Selain menegaskan derajat orang berpendidikan, juga sebagai teladan bagi masyarakat.

Edward Damer dalam Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments menjabarkan beberapa kode etik bagi kaum intelektual yang ia sebut sebagai A Code of Intellectual Conduct sebagai panduan menjalankan diskusi bersama orang lain. Kode etik tersebut bukan hanya menyebutkan prinsip tetapi juga standar yang mesti ditaati ketika seseorang terlibat dalam diskusi. Jabaran itu menuntun pada bagaimana melakukan diskusi rasional yang efisien dan efektif.

Selain itu, kode etik ini juga menyebutkan pentingnya seseorang untuk bersikap terbuka terhadap wawasan baru dan siap mengakui batas dari pengetahuan yang dimilikinya. Diskusi yang rasional juga mesti mengantisipasi penggunaan istilah ambigu atau tidak secara tepat mewakili argumen. Hal yang dalam istilah umum disebut akal-akalan dengan tujuan ingin mengaburkan masalah yang sedang dibahas.

Kode etik merupakan rambu yang menuntun pada konstruksi argumen bebas cacat pikir. Ia juga menunjukkan kedewasaan sikap seorang intelektual ketika melakukan interaksi mutual antar sesama. Secara umum, panduan itu juga mencakup kriteria dari argumen yang baik serta cara berargumentasi yang bisa menghasilkan diskusi yang efektif. Kode etik intelektual, sebagaimana disebut, memuat standar prosedural dan standar etis.

Prosedur standar dari kode etik menjelaskan aturan main mendasar dari jalannya diskusi. Pada hakikatnya, aturan ini tidaklah paten dan kaku. Namun secara umum, jika benar diterapkan, akan membantu mereka yang terlibat dalam diskusi untuk fokus mencari solusi atau membangun resolusi terhadap isu yang sedang dibincangkan. Ringkasnya, aturan ini merupakan formalitas dari cara-cara efektif yang selama ini dianggap berhasil menyelesaikan masalah.

Perilaku seorang intelektual dapat dikenali dari sikapnya menjauhi perselisihan dan lebih memerhatikan muatan argumen. Oleh karena itu, mereka selalu mengevaluasi penilaian mereka terhadap sesuatu dan terbuka merevisi kepercayaan bila memang terdapat bukti baru atau argumentasi yang lebih konsisten dengan prinsip-prinsip yang melandasinya.

Kode etik juga meregulasi adab seorang intelektual. Diskusi yang sehat menuntut perlakuan adil untuk semua peserta. Hak kebebasan berekspresi mesti dibarengi standar etis dalam hal menghargai sesama. Setiap pendapat layak dinyatakan secara terbuka dan setiap pernyataan layak dipertahankan melalui argumentasi. Diskusi mengolah ide, bukan tentang siapa yang mengutarakannya.

Diskusi melibatkan setidaknya dua peserta dengan dua sisi berbeda terhadap sebuah ide. Diskusi dapat pula melibatkan pertentangan ide pada suatu topik perbincangan. Apapun bentuknya, diskusi akan selalu mengembangkan ide. Sehingga untuk memastikan ide terus berkembang, masing-masing peserta diskusi mesti memastikan diskusi tetap berjalan dengan mematuhi kode etik intelektual berikut:

1. Memaklumi Prinsip Falibilitas

Prinsip falibilitas menyatakan bahwa tak satu pun fakta dapat dipertahankan tanpa bias atau penyimpangan. Artinya, setiap orang pasti berbuat salah dalam setiap tindakannya termasuk ketika mengajukan suatu klaim. Oleh karena itu mesti dipahami bahwa setiap pernyataan tidak dapat memberlakukan suatu kondisi secara merata pada setiap kasus yang ditemuinya. Dengan demikian, peserta diskusi harus mengakui bahwa keyakinannya siap direvisi karena keterbatasannya untuk tidak dapat mengetahui suatu kebenaran secara utuh.

Prinsip ini juga mengandaikan bahwa setiap bentuk pemahaman kita terhadap dunia tidak benar-benar memiliki dasar kebenaran yang tetap, berlaku universal, dan final untuk dijadikan standar baku penilaian atau petunjuk dalam kehidupan manusia. Memaklumi prinsip ini dengan baik akan terus menumbuhkan skeptisisme yang menjadi alasan lahirnya rasa ingin tahu dan hasrat eksplorasi.

Dorongan itulah yang terus melahirkan pertanyaan pertanyaan baru terhadap suatu ide. Sebagai ruh dari diskusi, pertanyaan lah yang memastikan diskusi berjalan. Sehingga diskusi yang baik tidak terpaku pada jawaban, secemerlang apapun itu, tetapi pada penundaan simpulan melalui ajuan pertanyaan baru. Seperti ungkap Richard Rorty, seorang tokoh pragmatisme, bahwa dinamisme diskusi meruntuhkan ketaatan kita terhadap aturan teoretis yang selalu berupaya menyederhanakan berbagai dimensi kehidupan manusia.

Sebagai contoh, penjelasan seseorang tentang keadilan hanya akan berujung interpretasi berdasarkan pemahaman dan pengalaman masing-masing terhadap suatu kasus tentang keadilan yang pernah ditemuinya. 

Sehingga diskusi tentang keadilan tidak melahirkan aturan baku dan kaku tentang bagaimana memaksakan keadilan ketika seseorang punya kuasa untuk mewujudkannya. Namun melihat suatu kasus berdasarkan keunikannya sendiri kemudian mengajukan pertanyaan keadilan seperti apa yang mampu menangani kasus tersebut.

Jika kalian penasaran tentang apa guna dari penundaan eksekusi dari sebuah ide yang sudah kita yakini; haruskah setiap keputusan yang membutuhkan tindakan harus ditunda oleh diskusi? Tidak juga. Itu soalan lain. Diskusi memang ranahnya pergulatan ide dan bukan perumusan tindakan. Diskusi menjabarkan pertimbangan dari berbagai sisi dan sudut pandang. Agar tindakan yang diputuskan memang telah melalui perumusan matang dan tetap terus dapat dibicarakan kembali di masa yang akan datang.

2. Prinsip Tunduk Pada Kebenaran

Setiap peserta diskusi tentu menyadari bahwa keterlibatannya pada diskusi itu, bersama pihak yang bisa saja berseberangan dengannya, adalah untuk menguji klaim kebenaran yang ia yakini. Setelah memaklumi bahwa setiap klaim akan jatuh pada prinsip falibilitas, pencarian terhadap apa yang perlu diklarifikasi dari keyakinan kita selama ini tentu akan terus berlanjut.

Tak dapat dipungkiri, manusia selalu dibuat penasaran terhadap sesuatu yang tidak dipahaminya dengan baik. Meski tahu bahwa tak satu pun dasar kebenaran yang bisa secara tetap dipijaki, setidaknya kita bisa bersandar pada simpulan yang paling bisa dipertanggungjawabkan klaimnya melalui argumen yang koheren dan konsisten. 

Ingat bahwa mempertanyakan suatu klaim tidak selalu berarti harus mengingkarinya. Namun bila tidak lagi mampu mengasah penalaran kita, masihkah ia pantas dipertahankan?

Kesadaran untuk terlibat dalam diskusi menguji kadar toleransi kita terhadap dua sisi; klaim yang kita pertahankan dan keterbukaan kita menerima sudut pandang baru yang ditawarkan oleh orang lain. Setiap orang punya hak untuk memertahankan kebenaran yang ia yakini meski tak satu pun di antara mereka punya hak untuk memaksakan klaim benar terhadap yang lainnya.

Benar dan kebenaran adalah dua hal yang sama sekali berbeda meski terpaut dengan kuat. Memaksakan kebenaran sebagai sesuatu yang benar hanya akan menyesatkan kita kepada pembenaran. 

Sehingga perlu dipahami dengan baik bahwa diskusi tidak menjaminkan kuasa pada subjek peserta diskusi. Diskusi hanya memjaminkan kuasa pada argumentasi. Konsekuensinya, setiap peserta punya hak untuk diberi giliran untuk mengajukan argumennya entah dalam rangka memperkuat argumen lainnya atau justru menyatakan keberatan atasnya.

3. Prinsip Bebas Ketaksaan

Prinsip ini mengharuskan peserta diskusi untuk menyajikan argumen sejelas mungkin dan menghindari penggunaan istilah taksa atau ambigu. Tidak jarang diskusi melenceng dari topik akibat penggunaan istilah berbelit atau kalimat yang dibuat untuk membingungkan pendengar. Kekaburan linguistik selalu menjadi momok yang membuat diskusi menjadi membosankan.

Ketaksaan dapat pula berupa perpindahan topik secara tiba-tiba tanpa mengindahkan konteks pembicaraan. Sesaat membahas suatu hal lalu tiba-tiba membahas hal lainnya yang ditujukan untuk mengalihkan fokus lawan bicara terhadap topik yang sebenarnya sedang dibahas. Sehingga kebiasaan yang sering disepelekan ini terkadang menuntun pada penggunaan analogi yang keliru.

Sebagai contoh, penggunaan istilah kenakalan remaja tetapi justru membahas kebiasaan atau kegemaran mereka tanpa menyebut secara tegas akibat negatif dari kebiasaan tersebut. 

Seperti pada pernyataan, "Remaja hari ini cenderung melakukan kekerasan akibat game yang mereka mainkan di ponsel atau di konsol game. Game itu mengajarkan kekerasan melalui tayangan pada aplikasi yang kemudian dicontoh oleh remaja. Game ini lah yang membuat remaja kecanduan sehingga menuntun pada kejahatan lainnya seperti pemerkosaan dan penyalahgunaan narkotika." Perhatikan betapa banyak kerancuan linguistik dan kekeliruan penggunaan analogi pada rentetan pernyataan itu.

Secara spesifik, rentetan pernyataan itu tidak membuktikan satu sama lain. Perlakuan kekerasan pada kalimat pertama disebabkan oleh game tetapi tidak memberi tinjauan lanjut tentang kadar, aspek dari pengaruh, atau hal lainnya yang berkenaan dengan klaim tersebut. Pun tak ada sumber berupa hasil studi atau kajian yang bisa dijadikan rujukan untuk membuktikan klaim yang diajukan. Pada kalimat-kalimat berikutnya dijelaskan pengaruh turunan berasal dari sebab yang sama (game) tanpa menyebutkan secara rinci kaitan antar pengaruh-pengaruh tersebut.

4. Prinsip BebanPembuktian

Prinsip ini cara kerjanya sederhana. Peserta yang mengajukan klaim atau pernyataan juga bertanggungjawab menghadirkan bukti dari pernyataannya tersebut. Hal ini menjaga diskusi tetap sehat tanpa harus ada saling lempar tanggungjawab. Jika lawan diskusi mengajukan pertanyaan maka yang ditanya mesti membalas dengan argumen sesuai cakupan dari pertanyaan tersebut dan tidak membalas dengan pertanyaan baru di luar konteks diskusi atau bukan dalam rangka mengonfirmasi/ memperjelas apa yang ditanyakan.

Prinsip ini menjaga arah diskusi tetap fokus pada apa yang dibicarakan dan tidak berujung pada ketaksaan (ambiguitas). Bayangkan saja jika seseorang bertanya kepada seseorang tentang sesuatu tetapi dibalas dengan tantangan tanpa terlebih dahulu mengajukan argumen dan bukti maka diskusi hanya akan berisi saling lempar tuduhan. Coba perhatikan skenario diskusi berikut:

A: Saya tidak percaya terhadap pandemi Covid-19. Coba buktikan kalau orang yang disebut meninggal karena covid memang karena covid dan bukan karena penyakit bawaannya!

B: Buktikan dulu ke saya kalau ketidakpercayaan anda terhadap Covid-19 memang benar. Jangan sampai itu hanya pengakuan anda tapi sebenarnya anda juga percaya.

A: Anda buktikan dulu kalau Covid-19 itu memang ada. Jangan hanya karena banyak liputan TV tentang covid lantas menjadikan covid itu memang benar adanya.

B: Kalau begitu coba anda buktikan yang disampaikan TV nasional itu salah. Jika anda bisa buktikan itu, baru saya bisa mempercayai anda.

Nah, bayangkan jika diskusi berjalan sebagaimana skenario di atas. Diskusi hanya berkutat pada saling lempar beban pembuktian kepada lawan diskusi. Mestinya, setiap klaim atau pernyataan mesti diikuti oleh argumen dan setiap argumen mesti diikuti dengan pembuktian sebelum beban itu dilempar ke lawan diskusi.

5. Prinsip Keterbukaan Terhadap Koreksi

Prinsip ini berkaitan dengan prinsip yang disebutkan sebelumnya. Ketika peserta diskusi mengajukan suatu argumen untuk sebuah klaim dan lawan diskusinya ingin memastikannya dengan baik maka lawan diskusi itu boleh mengajukan klarifikasi dan konfirmasi. Nah, jika lawan diskusi mengajukan klarifikasi atau konfirmasi maka peserta diskusi mesti memberikan penjelasan lanjut mengenai argumennya agar lawan diskusi tidak salah memahami apa yang telah disampaikan.

Salah seorang peserta diskusi bisa saja menjelaskan suatu argumen dengan berbelit-belit, menggunakan istilah yang keliru, atau terkesan ingin menghindari fokus pembicaraan. Sehingga lawan diskusi berhak untuk meminta penjelasan lebih lanjut, mengulang apa yang telah disebutkan, memberi contoh atau menggunakan penalaran berbeda untuk memastikan maksud yang coba disampaikan oleh peserta diskusi. Hal ini penting agar lawan diskusi dapat memberikan tanggapan yang pas dan mengena terhadap argumen yang diberikan.

Sebagai contoh, peserta diskusi menyebutkan, "Media sosial membuat orang semakin bodoh." lalu lawan diskusinya mengklarifikasi dengan, "Maksud anda media sosial menyita waktu orang sehingga tidak lagi berkesempatan membaca buku atau bagaimana?" Nah, bentuk klarifikasi seperti itu diperlukan kedua belah pihak agar argumen dapat diekspresikan dengan sebaik mungkin. Jadi prinsip ini membuka kesempatan bagi lawan diskusi untuk mencoba menyelami metode penelaran kita. Bukan hal yang tabu ketika lawan diskusi justru membantu membuat argumen kita menjadi lebih jelas dan tepat merepresentasikan apa yang kita pikirkan.

6. Prinsip Tata Bangun Argumen

Peserta diskusi yang mengajukan argumen mesti memastikan standar baku dari struktur bangunan argumentasi agar argumen yang disampaikan memang patut. Dalam artian bahwa argumen tersebut tidak mengalami kontradiksi dengan argumen yang disampaikan sebelumnya. Kontradiksi ini dapat ditemui pada basis penalarannya, alasan yang melatarbelakanginya, atau langsung lompat ke simpulan baik secara sengaja atau tidak. Kontradiksi dapat mempengaruhi proses penalaran secara umum.

Sebagai contoh, peserta diskusi menyatakan, "Saya menyukai semua seniman dan karya-karya mereka. Namun seniman ini adalah seorang ateis dan saya sangat membenci ateisme." Pernyataan itu ditopang oleh argumen yang kontradiktif. Simpulannya tentang kebencian terhadap ateisme mengimplikasikan bahwa ia membenci siapapun yang menganut ateisme termasuk seniman ateis yang kemudian kontradiktif dengan kalimat awal ia sebutkan yang menyatakan bahwa ia menyukai semua seniman.

Kontradiksi dalam struktur argumen dapat pula ditemui pada bagian internalnya. Bahwa kalimat yang digunakan untuk menyampaikan suatu argumen dapat memuat kosa kata yang makna atau maksudnya mengindikasikan kontradiksi dengan kosa kata lainnya pada kalimat tersebut. 

Seperti pernyataan berikut, "Amin menikahi Nirma tetapi Nirma bukanlah istri Amin." Banyak contoh kontradiksi elemen internal kalimat yang kita temui setiap hari. Meski sebagian besar hanya dipakai dalam konteks candaan atau berkelakar tetapi perlu dicatat bahwa memang terdapat orang yang menggunakan itu dengan serius entah karena tidak menyadarinya secara langsung atau memang pada dasarnya proses penalarannya memang kontradiktif.

Selain 6 (enam) poin Prinsip Dasar yang melandasi Kode Etik Intelektual yang melandasi kegiatan diskusi sebagaimana dijabarkan, masih terdapat lagi 6 (enam) prinsip dasar lainnya. Keenam prinsip itu akan dijabarkan pada bagian berikutnya. Kedua belas prinsip dasar yang disebutkan Edward Damer dalam Attacking Faulty Reasoning-nya dpat menjadi panduan bagi siapa saja yang berniat menjalankan diskusi secara sehat dan efektif. 

Saat ini, berbagai media dapat kita akses untuk memudahkan kita berbagi dan mendiskusikan ide kepada orang lain. Sangat disayangkan bila media-media tersebut justru hanya dimanfaatkan untuk membuat diskusi menjadi membosankan dan dihindari banyak orang karena diisi oleh peserta diskusi yang hanya ingin menjatuhkan orang lain. Diskusi bukan tentang menang atau kalah apalagi sampai menjatuhkan orang lain dengan tujuan menghancurkan kepercayaan dirinya terlibat lebih jauh dalam diskusi. Diskusi ranahnya pengembangan ide di mana setiap peserta punya hak yang sama untuk menguji kualitas penalarannya atau mencari pandangan baru terhadap apa yang selama ini mereka yakini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun