Tulisan ini merupakan hasil dari diskusi panjang bersama rekan Mahasiswi a.n. Ainun Rahman. Semoga bacaan di diskusi berikutnya lebih kaya sehingga hasil diskusinya juga semakin komprehensif.
Sekolah dan Kampus merupakan institusi sakral yang sampai hari ini kepercayaan penuh terhadapnya masih dipegang teguh oleh masyarakat luas. Keduanya merupakan gerbang peradaban di mana nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ditanamkan kepada generasi selanjutnya agar warisan peradaban masyarakat tersebut bisa bertahan.
Secara umum, masyarakat menilai kemajuan suatu bangsa dari kualitas institusi pendidikan di garda depan yaitu sekolah dan kampus. Landasan utama pendidikan yang dilaksanakan di institusi tersebut adalah membentuk suatu karakter siswa(i) atau mahasiswa(i) yang terdidik dan berpengetahuan.
Sayangnya, Sekolah dan Kampus cenderung melaksanakan pendidikan dengan mengandalkan pengetahuan dan pemahaman. Sehingga pendidikan identik dengan aspek kognitif dengan kapasitas intelektual sebagai tolak ukurnya.
Aspek emosional hingga perilaku kurang mendapat perhatian. Kedua aspek itu memang dirumuskan dalam kurikulum namun samar dalam penerapan dan tindakan.
Lihat saja instrumen evaluasi hasil belajar yang hanya menyuburkan aspek kognitif dan sama sekali tidak menyentuh aspek emosional atau perilaku. Interaksi belajar mengajar pun hanya didefinisikan oleh ruang kelas.Â
Padahal, tegur sapa, tutur kata, hingga tabiat yang ditunjukkan oleh baik pendidik maupun peserta didik di lingkungan sekolah dapat menjadi saran dan media penanaman aspek-aspek pendidikan lainnya.
Lalu, bukankah Sekolah dan Kampus sudah selayaknya membentuk peserta didik yang bermoral dan beretika? Rumusan itu jangan disalah artikan menjadi sekadar konseptual di mana peran sekolah dan kampus memang memastikan peserta didik memahami konsep tentang moralitas. Rumusan pertanyaan ini menjadi penting agar tujuan dari diskusi ini menemui maksudnya.
Institusi Pendidikan dan Rekayasa Perilaku Bermoral
Konsep tentang moralitas dan etika jelas diajarkan di sekolah hingga perguruan tinggi. Namun yang menjadi soalan adalah perlukah sekolah dan kampus mengatur sekaligus membentuk watak, perasaan, tabiat, hingga pola berperilaku peseta didik yang sesuai dengan standar moral tertentu? Untuk membahas ini secara mendalam, perlu kiranya Michael Hand diseret ke dalam diskusi ini.
Profesor filsafat pendidikan di Universitas Birmingham ini pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Sehingga, dalam konteks pendidikan moral dan etika di institusi pendidikan, ia mulai bahasannya dengan membedakan antara konsep moral dan perilaku bermoral. Baginya, konsep moral menyangkut pembahasan rasional mengenai asal muasal, muatan, hingga pertimbangan mengenai standar moralitas tertentu.