Bagi pembaca atau orang yang tidak mengalami peristiwa itu, tentu akan menganggap pilihan itu mudah. Sebab Sophie tidak punya pilihan alternatif lain. Namun bagi Sophie, pilihan itu akan menghantuinya sepanjang hidup.
Terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menarik perhatian banyak kalangan. Terlepas dari latar belakang penunjukan beliau sebagai Menteri, yang saya sama sekali tidak tertarik membahasnya, dianggap sebagai social gesture dari kebijakan politis Bapak Jokowi. Bagaimana tidak, Nadiem Makarim memimpin Kementerian yang banyak diisi Guru Besar.
Banyak opini dan komentar yang dilempar publik di media sosial menanggapi hal tersebut. Banyak yang meragukan dan banyak pula yang mendukung. Saya pribadi menerjemahkan gesture itu sebagai komitmen Bapak Jokowi terhadap perubahan paradigma yang selama ini mendominasi perumusan arah kebijakan pendidikan kita.
Apapun itu, ini adalah pintu bagi kaum muda untuk menawarkan definisi mereka terhadap zaman ini. Sebut saja interaksi belajar-mengajar, beranikah mereka merevolusi kebebasan mengenyam pendidikan yang terkondisikan ruang kelas? Begitupun dengan karir, beranikah mereka menciptakan bidang dan jenjang karir yang sama sekali merombak konsep 'dunia kerja' yang diwariskan orang tua mereka?
Bung Karno meminta sepuluh pemuda untuk menemaninya mengguncang dunia. Kelompok kecil yang meminimalisir meluasnya konsep-konsep yang mereka rumuskan sekaligus mengantisipasi kecenderungan kelompok besar untuk memaksakan pandangan mayoritas terhadap yang minoritas. Lagipula, kelompok kerja akan lebih efektif dan sistem pengawasannya bisa lebih maksimal.
Tan Malaka pun pernah menyinggung kaum muda yang memeroleh kesempatan dan keistimewaan mengenyam pendidikan namun enggan mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya. Beliau berpesan bahwa jikalau generasi dengan karakter seperti itu berada di tengah-tengah masyarakat maka lebih baik pendidikan, yang membuat mereka istimewa, tidak usah diberikan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan khazanah corak kebudayaan begitu besar. Sejak awal para Pahlawan sudah berani bermimpi besar.
Jika saat itu kolonialisme menjustifikasi penjajahan dan perbudakan, bangsa Indonesia sudah mendefinisikan kebebasan dengan hak semua bangsa untuk merdeka dan hidup harmonis secara berdampingan. Mimpi yang mengundang tawa bangsa kolonial namun mampu menginspirasi bangsa lain merebut kemerdekaannya.
Dari cibiran Bung Karno, Tan Malaka, dan Jean-Paul Sartre terhadap pergerakan kaum muda yang menunggu cemeti dipecut untuk melakukan pergerakan, kita menunggu pembacaan baru kebebasan yang bisa ditawarkan kaum muda untuk zaman ini:
"Kami kaum muda dengan berbagai latar belakang menganut nilai kebebasan yang satu; kebebasan yang tak terkondisikan!"