Di bagian pertama, Tom Nichols menyinggung posisi para pakar sebagai warga negara dengan kewajibannya terhadap masyarakat. Selain itu, intelektual muda dalam masa perkembangannya dianggap masih terlalu dini untuk menantang para pakar ketika mereka melaksanakan fungsinya. Pada bagian ini, saya akan menjelajahi konsep-konsep yang dipilih oleh Tom Nichols untuk menjelaskan relasi pakar-awam yang dalam ruang demokrasi.
Keran yang membuka jalan bagi arus kesadaran akan selalu menemani kemajuan suatu peradaban. Dalam konteks kita hari ini, internet tak ubahnya mesin cetak Johannes Gutenberg pada abad 15. Mesin cetak juga menjadi ancaman otoritas keagamaan pada saat itu karena Al-Kitab akhirnya bebas dicetak dan dimiliki oleh siapapun yang mampu membaca.
Itu berarti interpretasi ayat-ayat Ilahiyah tidak lagi berada dalam kuasa para pemuka agama. Semua orang menjadi merasa berhak memberikan dan menyebarkan tafsirannya atas ayat yang dibacanya. Meski demikian, penggunaan mesin cetak menandai suatu tahap revolusi intelektual publik. Hal itu juga berarti bergesernya kuasa kepakaran.
Pendidikan tidak lagi menjadi hal istimewa kalangan aristokrat atau kaum terpelajar. Masyarakat awam pun dapat mendidik diri sendiri melalui bacaan. Internet menawarkan pengalaman yang sama namun dengan cakupan yang lebih luas. Siapapun bisa dengan bebas menaruh dan menulis apapun di internet. Informasi yang jumlahnya sangat besar itu dapat menyita perhatian seseorang dalam waktu bersamaan.
Jika membaca buku memberikan kesempatan untuk menyerap dan mencerna informasi, internet memancing orang bereaksi tanpa harus berpikir panjang. Pembaca buku mesti menemukan orang yang bersedia mendengarkan pendapatnya sedangkan internet sudah memastikan agar respon seseorang dapat langsung dilihat dan dibaca oleh siapa saja. Ini membuat orang fokus membela dirinya sendiri.
Masifnya arus informasi yang datang saat keterbatasan waktu dan kemampuan kognitif seseorang dalam memilah serta mengecek informasi satu per satu membuat saling berbantah di media sosial menjadi sia-sia.Â
Menghabiskan waktu mengomentari para awam yang hanya beropini tanpa basis argumen logis dan rujukan fakta tidak akan memberikan manfaat apa-apa selain menyuburkan prasangka.
Informasi yang terlanjur dipajang di internet akan bertahan selama pusat datanya terhubung atau sudah menyebar di banyak tempat. Hal ini membuat masalah konfirmasi informasi semakin runyam.Â
Orang akan mudah menemukan informasi yang tidak lagi akurat atau sudah dibahas secara komprehensif namun masih tersimpan rapi di internet. Mereka yang mengaksesnya tanpa menilik penjelasan terkait dengannya akan dengan mudah dijejali informasi palsu.
Algoritma yang mengatur munculnya informasi berdasarkan kata kunci yang paling sering diinput suatu saat akan menampilkan informasi terkait bahkan dari sumber anonim dan memenuhi laman seseorang meski informasi yang ditampilkan tidak lagi relevan. Ironisnya, internet akan terus menampilkannya meski orang itu tidak sedang mencarinya.Â
Bahkan, iklan dan kampanye dengan kata kunci terkait akan terus bermunculan. Internet juga menyertakan konsep anonim dalam arus pertukaran informasinya. Di media sosial, misalnya, tanpa informasi cukup dari pemilik akun di laman biodatanya, seorang pakar tidak bisa dibedakan dari awam.Â
Seseorang bisa dengan mudah meremehkan opini dari pakar bahkan dalam konteks bidang yang dikuasainya. Akun anonim juga memungkinkan seseorang menebar kebencian dan informasi sampah tanpa takut identitas aslinya terbongkar.
Anonimitas memicu narsisme intelektual pada taraf memperihatinkan. Berlindung di balik identitas samar, sekelompok awam dengan entengnya memancing debat pengguna lain seakan semua yang hadir di ruang media sosial itu sebaya dengan usia, kedewasaan, level pendidikan, serta pengalaman yang setara. Di kehidupan nyata, tentu tidak semua orang berani berbuat nekat seperti itu.
Tukang komentar dan perusuh di media sosial itu tentu berlindung di balik jarak dan kedekatan virtual. Norma yang biasanya mengatur interaksi langsung atau tatap muka menjadi tidak berlaku dalam komunikasi virtual seperti itu. Oleh karena itu, mereka tidak ragu meracuni perbincangan dan diskusi di media sosial meski di ruang itu ada pakar, tokoh, pemuka, atau orang tua.
Selain itu, masyarakat awam sangat mudah percaya pada hal yang diselubungi popularitas. Selebritis, misalnya, informasi palsu dan tindakan konyol yang dilakukan oleh para selebritis selalu mendapat tanggapan bahkan dukungan dari masyarakat awam. Tidak sedikit orang yang mengikuti langkah sang selebritis meski para pakar telah memperingatkan bahaya yang ditimbulkannya.
Selebihnya, mereka yang baru saja mengenal dunia internet, terutama generasi Baby Boomers begitu mudah percaya pada apa saja yang layar smartphone mereka tampilkan. Sesuatu yang dibuat viral, disebarkan lewat berbagai portal berita maupun akun media sosial dibuat demikian untuk meyakinkan masyarakat awam bahwa informasi yang ditampilkannya adalah fakta karena banyak orang membicarakannya.
Mengulik informasi di internet, termasuk memvalidasi fakta yang diacunya benar-benar sulit untuk dilakukan. Sebab usaha itu tidak semasif arus input informasi palsu yang masuk ke internet. Input informasi ke internet bersifat terbuka dan bebas. Buku yang terbit sebagai pembanding; tentu telah melalui proses editing, proofreading, dan negoisasi alot antara penulis, editor, pemeriksa, dan penerbit. Internet tidak demikian.
Menelusur informasi di internet dengan mengandalkan kata kunci dan saran dari ruang komunitas tidaklah cukup. Klik sana sini dan membuka banyak tab dan jendela browser tidaklah sama dengan penelitian.Â
Penelitian butuh waktu untuk mematangkan konsep dan landasan pikir, memilih metode, merumuskan target, serta menerapkan analisis untuk memeroleh sebuah simpulan. Internet penuh dengan hal-hal yang bisa merusak konsentrasi.
Pengetahuan kolektif di mana semua orang bisa berpartisipasi menuangkan kajiannya seperti Ensiklopedia terbuka Wikipedia sudah diwujudkan. Setiap orang diajak umtuk berkontribusi untuk meningkatkan akurasi sekaligus mengawasi setiap entri untuk menyisir kesalahan dan bias. Namun dalam prakteknya, banyak pihak yang memanfaatkan sistem tersebut untuk membangun reputasi dan kepercayaan publik dengan mengatur informasi pada entri tertentu.
Masalahnya, tidak banyak orang yang bersedia menjadi verifikator dan mengawasi setiap entri di Wikipedia sebanyak orang yang memasukkan entri ke Ensiklopedia tersebut. Tinjauan pakar merupakan hal yang sulit diterapkan di sistem terbuka seperti Wikipedia.Â
Tidak mudah bagi editor untuk menugaskan pakar yang tepat untuk mengawasi entri di bidang tertentu. Sebab jika Wikipedia ingin memapankan kredibilitasnya, ia harus meminta pakar dari tiap pokok bahasan untuk mengawasi artikel di bidang keahliannya.
Jurnalisme dan Fakta yang Diproduksi
Merebaknya kanal berita juga turut meramaikan hiruk pikuk arus informasi di internet. Bukan saja soal pengetahuan kolektif, jurnalisme di masa semua orang selalu ingin dikagetkan dengan hal yang baru mesti mengikuti tren pasar itu. Akibatnya, tuntutan untuk selalu update terhadap kabar untuk tetap menarik perhatian pembaca membuat jurnalis terkadang berbuat sesuatu yang tidak pantas.
Tom Nichols mengutip salah satu rubrik di Washington Post tentang informasi bahwa coklat mampu menurunkan berat badan. Informasi itu diungkap oleh Johannes Bohannon, ilmuwan Jerman dari Institute of Diet and Health. Begitupun Vox di tahun 2014 menulis tentang jembatan yang menghubungkan Israel-Palestina di mana tentara Israel tidak membolehkan warga Palestina melintasi jembatan itu.
Uniknya, Johannes Bohannon adalah tokoh rekaan dan jembatan yang menghubungkan Israel-Palestina itu tidak pernah ada. Ya, produk jurnalisme sekacau itu bahkan berasal dari lembaga yang dianggap kredibel. Untuk memenuhi selera pembaca, para jurnalis itu tega merekayasa fakta dengan mengangkat penelitian ngawur atau jembatan imajinatif sebagai tajuk utama.
Para Jurnalis sudah sering dikritik atas ketidakmampuan mereka menyajikan liputan yang faktual. Dalam artian, banyak isu yang seharusnya bisa menggiring perhatian publik untuk melakukan gerakan namun mereka justru memenuhi koran dan portal berita dengan informasi sampah. Namun rekayasa hasil investigasi dan penelitian untuk membesar-besarkan isu tertentu merupakan sesuatu yang sungguh keterlaluan dan bisa sangat menyesatkan.
Taruhlah seorang awam mendebat pakar dengan dalih menggali informasi di koran atau menonton liputan di kanal berita. Sedangkan ada kemungkinan bahwa apa yang disampaikan itu direkayasa dan diatur sedemikian rupa untuk agenda tertentu. Dapat dipastikan bahwa orang awam itu hanya menyortir informasi yang ingin dia dengar dan mengabaikan informasi lainnya. Sehingga debat itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Masyarakat awam perlu diberi pemahaman bahwa demikianlah industri beroperasi. Fakta maupun gerakan kesadaran bukanlah tujuan utamanya. Industri jurnalisme seperti itu hanya ingin memenangkan simpati publik dengan memberikan sesuatu yang mereka senangi atau paling tidak ingin mereka tongkrongi. Sebab hal itulah yang bisa memberikan mereka ladang untuk meraup keuntungan.
Dosa besar jurnalisme model baru ini terhadap pakar adalah pelanggaran terhadap kode etik kepakaran paling dasar; jangan pernah memberitahu atau mencoba menggurui pakar lain tentang bagaimana cara menjalani profesi mereka.Â
Sebab masyarakat awam yang berbekal informasi mentah dari internet atau televisi kemudian membandingkannya dengan hasil diagnosis Dokter Ahli, seumpamanya, akan menunjukkan perilaku yang luar biasa menjengkelkan.
Tom Nichols menganggap bahwa sejatinya para jurnalis adalah pakar di bidang investigasi dan liputan peristiwa lapangan. Namun sejak 'akademisasi' di mana jurnalisme dan jurusan komunikasi menjadi program studi sarjana, para calon jurnalis itu hanya dicecoki doktrin struktur berita tapi miskin kajian terapan kebiasaan dan norma terapi. Hasilnya, narasi liputannya tidak lebih dari postingan blog.
Beratnya tuntutan pasar dan keinginan manajemen kantor berita juga memaksa para jurnalis untuk bertindak 'sesuai skenario' ketimbang menuruti ideologi. Para pembaca dan penikmat liputan berita, dengan demikian, punya andil besar dalam mematikan nilai-nilai kepakaran para jurnalis. Umumnya mereka hanya ingin mengulik sisi sensasi dari sebuah kabar untuk bahan obrolan ketimbang mengikuti pendalaman investigasinya.
Para pembaca dan penikmat berita mesti memahami bahwa para jurnalis yang meliput berita itu jauh lebih memahami kontennya. Mereka menghabiskan banyak waktu dan usaha sebelum hasil liputan mereka dapat diakses. Dengan memahami hal ini, para jurnalis akan merasa bahwa usaha mereka dihargai secara patut. Selain itu, seperti makanan, diet informasi mesti bervariasi dan berimbang.
Hal itu akan membantu para pembaca dan penikmat liputan untuk melatih diri lebih selektif terhadap informasi yang mereka terima. Kebiasaan berpikir kritis bisa dimulai dari sini. Pastikan apakah jurnalis yang menulis berita itu telah menerapkan standar minimal peliputan, telah diverifikasi oleh editor, dan telah dikonfirmasi serta dianggap layak. Periksa pula liputan pada topik terkait dan bandingkan simpulannya.
Pakar Juga Manusia; Bisa Benar dan Bisa Salah
Setiap saat, masyarakat awam membutuhkan pakar. Jejaring sosial dan pemerintahan memastikan para pakar bekerja untuk kepentingan publik dan masyarakat butuh kepastian dari pakar tersebut. Tradisi dan nilai-nilai kepakaran diawasi oleh lembaga penjamin standar yang beragam untuk menjamin kualitas. Sistem ini terbukti mampu membangun kepercayaan publik dari masa ke masa.
Dokter yang tidak kompeten dan mengakibatkan pasien meninggal karena malpraktik akan membuat semua orang terkejut. Sebab di belahan dunia lain, para Dokter profesional mampu menyelesaikan tugasnya tanpa adanya insiden sama sekali.Â
Begitupun dengan profesi lainnya. Bandingkan dengan Politisi yang tersangkut korupsi. Semua orang menganggapnya biasa saja sebab sedari awal mereka paham bahwa siapapun bisa menjadi Politisi meski tanpa keahlian apapun.
Meski demikian, masyarakat awam perlu mengantisipasi satu hal mendasar bahwa pakar juga manusia dan bisa salah. Mendalami suatu bidang melibatkan kemungkinan eksperimen yang gagal, simpulan yang keliru, serta terkadang menuntun ke jalan tanpa ujung. Kadangkala masalah itu dapat ditangani dan diselesaikan oleh pakar lain namun kadang pula justru malah menambah parah kesalahannya.
Menerapkan pengkajian secara terukur tidak menjamin hasil sesuai perkiraan. Bahkan, tidak jarang menghasilkan temuan yang mengejutkan. Hasil itu bisa saja negatif seperti pada kasus malpraktik tadi namun juga bisa positif.Â
Contohnya seperti usaha untuk menemukan obat yang bisa menurunkan resiko kanker rahim yang justru melahirkan pil kontrasepsi. Namun beberapa bentuk kesalahan memang cukup mengkhawatirkan.
Terutama jika seorang pakar berusaha melebarkan keahlian ke bidang lain di luar bidangnya. Bukan hanya beresiko menemui culture shock di bidang baru itu namun juga bisa mengacaukan tradisi kajiannya.Â
Selain itu, pakar juga rentan terjerumus mengikuti emosinya. Ketika terjebak dalam sebuah situasi, ia kadang dituntut untuk memberi prediksi. Padahal kepakaran semestinya memberikan penjelasan bukannya prediksi.
Hal yang paling mengerikan yang bisa dilakukan seorang pakar adalah penipuan dan penyimpangan. Bagi pakar yang kebelet menanjakkan karirnya terkadang tergoda untuk melakukan kebodohan fatal seperti itu.Â
Selain itu, munculnya kebiasaan menjiplak bahkan mengakui hasil karya orang lain. Hal ini yang mendorong gerakan anti-plagiarisme sebagai bentuk perlawanan terhadap virus mematikan yang menggerogoti tradisi kepakaran.
Pembohongan, pemalsuan, dan plagiarisme sebenarnya mudah dijelaskan tapi sulit ditemukan. Butuh pakar lain untuk mendeteksinya dan itupun membutuhkan proses yang tidak instan. Di internet, berlindung di balik anonimitas, seseorang bisa saja berbohong tanpa rasa malu dan mengaku sebagai pakar. Di masa lalu, Frank Abagnale pernah berhasil melakukan itu dan kisahnya dituliskan dalam Great Pretender dan populer lewat film Catch Me If You Can.
Ketika pakar berbohong, taruhannya bukan hanya kredibilitas bidang keahlian mereka namun juga mengancam klien utama mereka; masyarakat. Hal itu bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat yang tidak mudah dibangun kembali hanya dengan memecat atau menyingkirkan pakar yang berbuat kesalahan/ kebohongan itu. Musuh besar pakar adalah egonya. Merasa diri paling cerdas bisa menghancurkan seluruh karirnya seketika.
Olehnya itu, masyarakat awam selayaknya tidak menantang para pakar secara terbuka. Kewenangan dan keahlian yang mereka miliki bisa menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar bila disalahgunakan.Â
Terutama meminta pakar untuk melakukan prediksi tanpa memberinya waktu yang cukup untuk mengkaji dan meneliti. Prediksi pakar diperlukan untuk antisipasi saja dan bukan untuk dipahami sebagai basis argumen sebuah kebijakan.
Relasi pakar-awam mesti dibangun dalam kerangka mutualisme; saling menghargai dan saling menguntungkan. Masyarakat awam jangan terbiasa meminta para pakar untuk meramal sekaligus aktif mendidik diri untuk mengenali mana kegagalan yang dilakukan para pakar dan mana kebohongan atau penipuan yang mereka lakukan. Para pakar mungkin akan mengecek kesalahan mereka tapi hal itu biasanya dilakukan di tempat yang tidak diketahui publik.
Jarak antara pakar dengan awam juga jangan terlalu lebar. Pakar hanya sibuk dengan pakar lainnya dan membiarkan awam hanyut oleh arus informasi palsu sedangkan awam menyibukkan diri memalsukan kualitas kepakaran sementara pakar sesungguhnya membiarkan hal itu terjadi. Pakar mesti menggunakan keistimewaan mereka untuk mengawasi pejabat publik dalam membuat keputusan.
Tindakan itu bisa sangat bermanfaat membantu masyarakat awam. Di sisi lain, masyarakat awam tidak mesti memanfaatkan demokrasi dan hak menyatakan pendapat secara bebas di ruang terbuka untuk membahas hal-hal yang seharusnya menjadi kewenangan para pakar. Pemerintah pun mesti mengawasi lembaga penjaminan standar kepakaran agar tradisi dan nilai-nilai kepakaran tidak merosot.
Pelayanan pakar kepada publik merupakan bagian dari kontrak sosial. Masyarakat awam sudah menitipkan kepercayaan besar kepada Pemerintah dan para pakar yang menjadi penasihat untuk menjalankan kehidupan sosial melalui kewenangan dan keputusan-keputusan mereka. Masing-masing pihak perlu meningkatkan kompetensi literasi dan tidak terlalu bergantung pada perangkat teknologi untuk konsumsi informasi mereka.
Kualitas literasi rendah diperparah oleh ketidakpedulian merupakan dua hal yang bisa mengancam hubungan baik pakar-awam. Situasi demokratis dan semakin meluaskan kesempatan untuk berpartisipasi di ruang publik melalui bantuan internet harus dibarengi dengan sikap kedewasaan dalam berbincang dan berdiskusi. Jikalau masih menemui awam dengan mulut besarnya di media sosial suatu saat nanti, hiraukan dan biarkan saja ia sendiri.
Pesan yang Tom Nichols sampaikan sangat jelas; beberapa institusi sosial memang diperlukan untuk menjaga tatanan sosial tetap berlangsung. Perkembangan di bidang teknologi mesti dibarengi perkembangan kedewasaan kita dalam memanfaatkannya.Â
Selain itu, interaksi sosial harus dibangun dalam kerangka saling menghargai dan menghormati. Tradisi dan nilai-nilai kepakaran masih bisa bertahan dan diperkuat agar peradaban manusia bisa terus beradaptasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H