Tidak ada yang mengingkari bahwa citra saudara(i) kita dari Papua adalah salah satu representasi konsep kepribumian paling murni dari bangsa Indonesia. Persekusi terhadap mahasiswa(i) Papua di Jawa timur adalah pelecehan terhadap Ibu Pertiwi. Alasan yang dilontarkan pun semakin tidak masuk akal.
Kalau mereka kalian tuduh membakar Merah Putih lalu mengapa mereka masih bertahan sekolah dan kuliah di sana? Kalau kalian menganggap mereka suka berbuat onar, mengapa sampai hari ini kita belum mendengar kabar mereka yang datang dari berbagai daerah di tanah air dan menetap di tanah Papua diusir dan dipersekusi? Kalian hanya menganggap mereka hina, jujur saja!
Penyakit rasisme itu bagai sel kanker yang terus menerus menyerang sistem imunitas tubuh dan menghancurkan tubuh tempat hidup sendiri. Siapa pun yang terlibat berinteraksi dalam masyarakat majemuk akan mendapati betapa mudahnya suatu golongan mengeksploitasi isu sosial politik seperti etnik, suku, ras, dan gender sebagai pembenarannya membenci golongan yang lain.
Belum lagi jika mengusung ideologi dan agama; cakupannya akan semakin meluas. Saya sendiri curiga bahwa saudara(i) kita dari Papua ini terjebak dalam konflik projective identification. Kondisi yang menurut Melanie Klein menjadikan mereka kambing hitam dari golongan yang justru merasa paling nasionalis; paling murni konsepnya tentang NKRI.
Konsep serupa sering mengemuka sebagai bahan pidato para politisi yang sedang mencari simpati. Untuk meraup perolehan suara dukungan, mereka tidak segan mengorbankan keharmonisan hidup masyarakat majemuk dengan membesar-besarkan perbedaan di antara mereka.
Jualannya pun tetap sama, menunjukkan bagaimana komunitas lokal terasing di daerahnya sendiri. Sebab para pendatang dianggap merampas penghidupan mereka. Kemiskinan, kriminalitas, kekacauan, hingga isu gangguan ketertiban lingkungan sering dibahas dalam kerangka perbedaan dengan maksud menyudutkan komunitas tertentu.
Jebakan konflik serta ucapan kebencian bermuatan politis dapat membuat masyarakat majemuk yang sebelumnya baik-baik saja kemudian mengalihkan perhatian mereka kepada sesuatu yang sama sekali tidak perlu; mengungkit luka akibat konflik lama. David Gadd, yang meneliti fenomena rasisme yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut, menyatakan bahwa luka akibat konflik di masa lampau akibat ketidakadilan, penindasan, dan marjinalisasi akan muncul kembali dalam moda yang sama.
Dendam itu akan terus terpendam sampai ada momen yang tepat untuk dilampiaskan. Membaku menjadi semacam ingatan melankolis akan pertikaian klasik. Hal ini akan semakin parah jika konflik lama itu tidak pernah diungkap secara terbuka dan tidak ada penyelesaian yang secara tegas melibatkan pihak-pihak yang bertikai.
Konsep dikotomi pribumi dan pendatang yang menjadi pemicu kekerasan rasial adalah konsep yang tidak berdasar. Migrasi suatu komunitas ke daerah baru sudah merupakan salah satu fenomena mendasar dari kehidupan sosial. Sebab hal itu menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus kesempatan untuk beradaptasi di lingkungan yang baru; dua hal yang menentukan kelangsungan hidup spesies manusia.
Saudara-saudari kita dari Papua tidak bisa dianggap pendatang di bagian mana pun di negara ini. Demikian pula sebaliknya dan itu berlaku bagi seluruh warga negara dan di wilayah manapun dalam cakupan NKRI. Selama mereka patuh pada hukum dan ketentuan yang berlaku.
Fantasi Rasial: Pintu Menuju Kolonialisme