Mereka memengaruhi penutur bahasa tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penutur bahasa itu bersikap negatif terhadap bahasanya. Cara pandang dan perlakuan penutur terhadap bahasanya, menentukan masa depan bahasa tersebut.Â
Punahnya suatu bahasa berarti hilangnya cara pandang kita terhadap bagaimana memahami dan menjalani hidup serta memersepsi pengalaman. Bahasa merupakan repositori adat, budaya, serta wawasan dari para penutur pendahulu. Sering kita dapati sebuah keluarga di mana anak-anak tidak lagi memakai bahasa daerah orang tua mereka.Â
Komunikasi mereka mengenai suatu hal sering dibumbui perbedaan pendapat, debat, hingga pertikaian akibat sudut pandang yang sama sekali berbeda. Oleh sebab wawasan dibatasi oleh bahasa maka cakupan ide dan konsep yang bisa dipahami seseorang ditentukan oleh jumlah kosakata yang ia dikuasai atau dipahami. Ini yang mengakibatkan seseorang tidak mampu memahami secara utuh apa yang orang lain pikirkan.Â
Kecakapan penggunaan kosakata dalam berinteraksi, merupakan kekayaan perbendaharaan kata yang dimiliki oleh penutur. Semakin kaya kosakata seseorang, semakin luas pula pemahamannya, dan semakin tinggi tingkat pemertahanan bahasanya.Â
Hubert Emmanuel Harimurti Kridalaksana mengemukakan bahwa kosakata, yang disebut leksikon pada kajian kebahasaan, merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa.Â
Daftar kata yang dikuasai penutur terdokumentasi seperti ensiklopedia, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Dengan demikian, kosakata dari suatu bahasa seorang penutur didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan kosakata dari bahasa itu atau himpunan kosakata yang dimiliki dan digunakan dalam setiap tindak komunikasinya, sebagai lambang dari tingkat kecerdasan dan ciri pemertahanan bahasanya.Â
Hilangnya suatu bahasa juga berdampak pada hilangnya suatu bentuk tindak tutur yang khas pada bahasa tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Ethan Nowak yang mengatakan bahwa erosi nilai budaya dimulai dari preservasi bahasa lokal yang tidak serius.Â
Penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk melakukan sekaligus mengenali suatu perbuatan yang khas dari penggunaan bahasa tersebut. Hal ini mencakup tindak tutur dan bahasa tubuh sehingga melestarikan penggunaan suatu bahasa dapat dianggap sebagai usaha menyokong keberagaman budaya.Â
Bahasa yang dituturkan dalam suatu komunitas akan membentuk model interaksi dari komunitas tersebut. Dalam pandangan determinisme bahasa, model interaksi yang dibangun lintas generasi itu akan membaku menjadi budaya yang erat kaitannya dengan lingkungan fisik penopang komunitas itu termasuk sumber daya alam dan keanekaragaman hayatinya.
Budaya yang dibangun dari praktik berbahasa di komunitas itu tentu menyangkut kosakata serta istilah yang dikembangkan merujuk mulai pada suatu ritual hingga institusi yang secara khas mencirikan komunitas itu. Untuk memahami suatu budaya, dengan demikian, harus dimulai dengan memahami bahasa yang mengekspresikan budaya itu.Â
Karena praktek serta ritual budaya berbeda dari suatu komunitas ke komunitas lainnya, hampir dapat dipastikan bahwa bahasa suatu komunitas sosial tidak akan mampu menjelaskan dengan sepadan suatu hal dari komunitas sosial lainnya.