Perangkat informasi bersama akses internet semakin memudahkan kita terlibat di pergaulan global. Paparan kita dengan hiruk pikuk ekspresi masing-masing individu di pergaulan tersebut terkadang memasung fokus pikiran kita pada apa yang mereka sajikan.Â
Termasuk gemerlap budaya popular yang diusung oleh suatu budaya dan bahasa yang sudah dikenal luas secara internasional. Â Namun, kecondongan generasi muda untuk berkiblat pada budaya populer itu dapat membuat rasa percaya diri mereka menjadi ciut ketika menampilkan identitas budayanya sendiri.Â
Selain itu, kebijakan di bidang pendidikan yang belum menciptakan iklim kondusif bagi budaya dan bahasa daerah untuk berkembang. Pendidikan formal mulai dasar hingga lanjut hanya memberi ruang bagi bahasa nasional maupun bahasa internasional.Â
Untuk antisipasi penyebaran budaya dan bahasa asing yang tidak diimbangi dengan kepercayaan diri membawa identitas suku dan bangsa kita ke pentas global, sudah saatnya kita memberi perhatian serius pada warisan kearifan lokal kita.
Bahasa punah ketika penuturnya tak lagi tersisa. Dokumentasi baik dalam format tertulis maupun multimedia tidak akan mampu menghidupkan bahasa yang sudah menjadi domain khas kreasi intelektual manusia.Â
Jikalau saja suatu bahasa hanya menyisakan satu penutur saja maka pengetahuan yang dimiliki penutur itu hanya berfungsi sebagai repositori atau arsip dari akumulasi pengetahuan linguistik dari generasi sebelumnya.
Tingkat pertumbuhan penggunaan bahasa daerah, seperti prediksi David Crystal, hanya meningkat 6% setiap tahun. Kontribusi itu diperoleh dari penutur berusia 85 tahun ke atas sebanyak 60%, penutur berusia 40-44 tahun sebanyak 30%, dan penutur dari generasi muda sebanyak 10% saja.Â
Tentunya, tren itu diikuti dengan pola pertumbuhan dan penyebaran populasi dari penutur bahasa daerah tersebut. Â Tren ini diikuti oleh akuisisi bahasa yang efektif diperoleh di lingkungan rumah dan tetangga yang kemudian menurun secara signifikan ketika penutur tersebut memasuki lingkungan sekolah, lingkungan kerja, atau setelah berkeluarga.
Bahasa daerah perlu dilestarikan. Hal itu mencakup pelestarian budaya yang menjadi ciri khas suatu komunitas lokal. Pembatasan ekspresi budaya dan bahasa daerah di ruang publik dapat dianggap penjajahan atas pencapaian pengetahuan manusia. Pembatasan seperti itu berdampak pada hilangnya konsep, abstraksi, hingga pandangan hidup yang tentunya tidak kondusif bagi perkembangan intelektual bangsa kita.Â
Praktek Berbahasa: Suatu Manifestasi Intelektual yang KhasÂ
Setiap individu memiliki sikap bahasa yang berbeda-beda. Meskipun pada dasarnya setiap orang mempunyai sikap positif terhadap bahasanya, sikap positif itu bisa berubah menjadi sikap negatif jika seseorang atau suatu komunitas tutur dipengaruhi dari luar, terutama dari kelompok yang mempunyai pencapaian tertentu di bidang pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial budaya.Â