Usia Kerja Kabinet  Kabinet Jokowi-JK akan berakhir. Lumbung Pangan Dunia, sebagai cita-cita dan arah perjuangan politik pertanian menyisakan banyak catatan. Bukan hanya cita-cita dan arah perjuangan tersebut terkesan abai dengan kondisi nasional tapi juga gagal pencapaian. Politik pertanian untuk memerangi kartel pangan belum dimenangkan, gonjang-ganjing harga, stok pangan nasional yang menghawatirkan dan kesejahteraan petani tidak terwujud.
Kondisi pertanian tahun 2014-2018 tidak memberikan catatan baik. Perbaikan jaringan irigasi, waduk, pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR), Subsidi Benih dan Pupuk dengan menetapkan program Swasembada 6 komoditas sampai dengan tahun 2019, bagi-bagi Alsintan, Toko Tani Indonesia (TTI), Program PAJALE, Upsus tidak menjamin juga untuk menghentikan impor pangan.Â
Meskipun sudah ditopang dengan peningkatan drastis anggaran pertanian dan pangan sebesar Rp. 15,47 tahun 2014 menjadi 22,6 Trilliun tahun 2018, walhasil impor beras tetap tidak dapat dihentikan.Â
Berdasarkan kajian Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) tahun 2017 Indonesia tetap melakukan impor beras sepanjang 2014-2017 yakni sebesar 844.191 ton (2014), 861.630 ton (2015), 1.281.213 ton (2016), 307.526 ton (2017).Â
Impor pangan merupakan indikator ketidak mampuan petani secara nasional untuk menyangga pangan. Kekurangan stok pangan berakibat terjadinya gejolak harga pangan. Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 9.450 per kg hanya bertahan satu tahun yakni pada tahun 2014, kenaikan harga beras diatas HET mulai tidak dapat dikendalikan awal Februari tahun 2015.Â
Berdasarkan kajian AB2TI (2017) Harga beras medium sepanjang tahun 2015 berkisar antara Rp. 9.700-10.400, tahun 2016 berkisar antara Rp. 10.500-10.800, tahun 2017 berkisar harga Rp. 10.600-10.900 dan paling fenomenal adalah awal tahun 2018 harga beras medium mencapai Rp. 11.400/Kg.Â
Harga beras yang melambung tinggi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani. Keuntungan beras tetap ada di pedagang sebab rantai pasok dan distribusi beras yang panjang merupakan keuntungan terpelihara pedagang.
Tata Komunikasi yang Buruk.
Komunikasi pencapain kinerja kementrian pertanian selalu menyisakan hal yang menggelikan. Tata komunikasi yang dibangun selalu bombastis dan berlebihan bahkan kadang nihilisme terhadap kinerja petani dan kinerja kementrian pertanian masa sebelumnya. Seolah seluruh pencapaian produksi pangan nasional adalah usaha sendiri bukan usaha segenap bangsa Indonesia.Â
Komunikasi yang buruk terjadi beberapa kali sebut saja pernyataan Mentan tentang perbandingan antara petani Indonesia dan Petani Korea Selatan yang menyudutkan petani Indonesia dengan kalimat "Petani Indonesia malas".Â
Komunikasi yang buruk juga ditampilkan ketika terjadi impor beras tahun 2015 dan 2017. Pemerintah tampil ngotot bahwa terjadi peningkatan produksi sebesar 6,42% atau surplus 10 juta ton beras pada tahun 2015.Â