Mungkin ajakan ini yang akan terjadi jika RUU pasal 143, pasal 144 dan Pasal 145 tentang pernikahan Siri, pernikahan mut'ah dan Poligami disahkan. RUU tersebut bertujuan untuk memberikan efek jerah kepada pelaku, penertiban pencatatan dan juga memberi pelindungan kepada kaum perempuan. Saya yakin bahwa RUU tersebut akan ada pro dan kontra, tujuan diatas akan memberi efek yang lebih parah dan bahkan tujuan untuk memberi pelindungan kepada kaum perempuan semakin kabur. Seperti Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, "pasal pidana bagi pelaku mut'ah dan nikah siri dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Perkawinan merupakan hak privasi dan peran negara hanya untuk melegalkannya. Dalam hal ini negara harus bersifat pasif dan tidak ikut menentukan untuk menghormati hak asasi warga negara. Karena itu, pengajuan RUU tersebut, sebagai bentuk intervensi negara terhadap wilayah privasi warga negara. Akan banyak keterlibatan negara yang mengkriminalisasikan pelaku yang tidak mencatatkan perkawinan mereka." Sebuah pernikahan adalah perbuatan yang dihalalkan oleh agama, Pernikahan adalah ibadah dan pernikahan justru untuk melindungi kaum perempuan. Jika menikah saja harus dihukum 6 tahun penjarah atau didenda Rp. 6 juta bagaimana sesorang yang menghamili anak perempuan orang dan tidak pertanggung jawab hanya di hukum 3 bulan (pasal 147). Sekarang dimana sisi perlindungan kaum perempuan tersebut ? Jika salah satu alasan penertiban administrasi / pencatatan, itu memang tugas negara (aparat) untuk mencatatnya. Justru sebaliknya Kumpul SiBuYa Kebo, perselingkuhan merupakan alternatif yang paling aman, sekali lagi selingkuh kata manis dari "zina". Ladang bisnis "lendir" mungkin makin subur karena lebih aman "jajan" tentunya. So terserah anda mau selingkuh, jajan atau nikah ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H