Mohon tunggu...
Azwara Nasution
Azwara Nasution Mohon Tunggu... -

laki - laki, 24 tahun, Bogor, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Revolusi Pendidikan Pertanian IPB: Transformasi Menuju IPB yang Melayani

17 Juli 2013   15:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:25 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Insitut Pertanian Bogor melaksanakan prosesi wisuda lima kali dalam setahun. Rektor IPB melepas mahasiswa sebanyak 800 orang setiap kali prosesi. Beribu keluarga berbahagia larut dalam penyematan gelar akademik. Tidak peduli, anak petani, pedagang, saudagar, pengusaha, politisi, hingga pejabat negara semua berkumpul dari pagi hingga petang hari. Semua orang berharap pada hari tersebut momen perubahan kehidupan segera terwujud. Namun, pertanyaan paling mendasar muncul benarkah perubahan kehidupan segera terwujud? Perubahan kehidupan seperti apakah yang akan terjadi? Dan perubahan kehidupan seperti apa yang sebenarnya kita butuhkan?

Apabila defenisi perubahan hidup yang dimaksud adalah terjadinya perpindahan status social dan pekerjaan dari anak petani menjadi sales obat (Medical Representatif), atau anak seorang pedagang pasar menjadi front liner sebuah Bank tentu tidak membutuhkan sekolah berlama-lama apalagi sampai menghabiskan 4-5 tahun di Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian. Namun, demikianlah kenyataannya. Penulis tetap menghargai pekerjaan tersebut akan tetapi rasanya kurang cocok apabila dilakoni alumni alamater institusi pertanian.

Jhon Marsh dalam bukunya yang kontroversial "Class Dismissed" telah menjawab beberapa pertanyaan di atas. Ia berpendapat wisudawan sekarang tidak akan mampu memahami gejola dan arah kehidupan yang mereka jalani. Sebab pertama kelas dan kurikulum sekarang tidak menghadirkan kehidupan, hanya mereproduksi alat. Kedua, kelas dan kurikulum pendidikan yang ada bukan untuk menjawab permasalahan yang ada namun sebagai barang import dari pendidikan negara maju untuk melanggengkan kepentingan Negara maju. Ketiga, kelas dan kurikulum tidak membebaskan civitasnya untuk mendebat dan mencari format yang tepat bagi kebutuhan negara yang bersangkutan. Keempat, kurikulum dan kelas tidak mampu mendiagnosis ketidak adilan social dan ekonomi yang sedang terjadi.

Kita pun bertanya, apakah Thesis Jhon Marsh berlaku bagi Insitut Pertanian Bogor? Apakah thesis Jhon Marsh berseberangan dengan apa yang sedang kita alami? Atau memang IPB merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang sedang dikritik oleh Jhon Marsh?

Pendidikan Tinggi Pertanian ala IPB

Rektor IPB (Prof Dr Ir H. Herry Suhardiyanto) terkenal dengan konsepsi World Class Universit. Ia berpendapat masa depan pendidikan tinggi pertanian harus berkelas internasional dan berbasiskan industri dan inovasi pertanian tropika. Rektor pun segera mewujudkannya dengan berbagai bangunan baru di IPB, Akreditasi menjadi program prima dan kerjasama dijalin dengan berbagai universitas termuka. Namun sayang , perubahan pada pola dan metode pendidikan terlupakan. Rektor IPB masih mengadopsi sistem pendidikan pertanian superior yang menganggap segala sesuatu yang disampaikan dalam perkuliahan tidak terbantahkan dan ilmu lapangan yang dimiliki petani jauh dari kategori ilmiah. Akibatnya pendidikan tinggi pertanian terpisah dari petani. Seminar - seminar tentang teknologi, inovasi dan temuan IPB selalu nir-petani. Seolah petani cukup di ladang dan sawah saja sementara, ilmuan IPB (civitas akademika IPB) wajib berfikir dalam kerangkeng penelitian. Wajar bila temuan IPB selama ini hanya menghasilkan alat dan mesin bagi perusahaan pertanian bukan mereproduksi kehidupan yang baru bagi petani.

Pada aspek lain, mahasiswa sebagai penerima pengetahuan tidak bisa berbuat banyak. Ide - ide kreatif berbenturan dengan kebijakan "menggenjot" lulusan/wisudawan sebanyak dan secepat mungkin. Akibatnya, Mahasiswa terjebak dalam perburuan huruf mutu dan perlombaan mendapatkan surat kelulusan.

Atmosfer akademik juga tak memberi ruang diskusi mendalam. Mahasiswa diibaratkan gelas kosong yang harus diisi dengan ilmu - ilmu yang diimport dari Negara maju. Mahasiswa juga tidak dibekali dengan saringan pengetahuan kritis apakah ilmu dan pengetahuan tersebut cocok dengan falsafah, budaya, social , ekonomi dan politik Bangsa Indonesia?. Akibatnya mahasiswa menjadi "gagap teknologi" dan terpesona kepada teknologi pemupukan dan aplikasi pestisida yang menggunakan pesawat serta memandang sinis kepada sistem pertanian ekologis yang menjadi warisan petani.

Keadaan di atas berimbas pada pola dan perilaku mahasiswa IPB. Terbukti dengan apa yang dialami penulis pada KKP tahun 2008 di Tegal. Hampir saja desa Kedawung Kecamatan Bojong yang asri dan menghargai keanekaragaman hayati berubah menjadi desa monokultur. Tim mahasiswa KKP kedawung menyarankan kepala desa Kedawung untuk mewujudkan program one commodity one village. Sebuah program yang ternyata keliru karena based on monoculture and agribusiness principle. Ide ini tidak datang begitu saja, akan tetapi dilandasi harapan transformasi pertanian desa Kedawung menjadi pertanian ala Amerika Serikat yang monokultur dengan bisnis tanaman pangan yang menjanjikan. Dengan asumsi seragamnya pertanian Amerika, canggihnya pengairan dan irigasi Belanda dan majunya Bioteknologi German. Tanpa sedikit berfikir kritis ilmu pengatahuan hasil impor tersebut tidak cocok dengan petani yang sempit lahannya.

Fakta diatas mengindikasikan bahwa civitas akademika IPB semakin meninggalkan system pertaniannya sendiri dan tercerabut dari sumber ilmu pertaniannnya. Berbagai solusi palsu bermunculan salah satunya adalah menutup Program Studi Sosial Ekonomi di setiap Fakultas. Sebagai konsekwensi, Fakultas baru (Fakultas Ekonomi dan Menajeman dan Fakultas Ekologi Manusia). didirikan untuk menopang keilmuan social dan ekonomi pertanian. Pendirian kedua Fakultas tersebut menjadi harapan nyata untuk memasukkan pendekatan social dan ekonomi dalam pembangunan pertanian. Jauh panggang dari api, kurikulum dan pendekatan ilmu social dan ekonomi berbasis pertanian hanya sebagai pelengkap penderita belaka. Bahkan Dr Revrisond Bhaswir (dalam Dies Natalis FEM ke-10) menuduh Fakultas EkonomidanManajemen di Indonesia sebagai agen Neoliberal, sebuah Idiologi Ekonomi Politik yang harus bertanggung jawab atas semakin miskinnya Negara berkembang.

Keresahan diatas seakan tidak menjadi soal dikemudian hari, seolah kenyataan ini hanya sebuah fenomena belaka. petinggi IPB pun tidak terganggu. Buktinya anekdot "Lulusan IPB adalah ahli disemua lini kecuali Pertanian" diamini oleh Rektor IPB. Belum lekang dalam ingatan kita kala Rektor IPB berujar "Saya tidak menyalahkan jika banyak lulusan IPB yang bekerja di bidang lain selain pertanian karena memang sistem insentif belum memberi apresiasi di bidang pertanian di negeri ini" (http://id.berita.yahoo.com/wajar-lulusan-ipb-bekerja-di-luar-keilmuan-154540866.html ). Bagaimana lokomotif transformasi pertanian ini berjalan baik bila masinisnya tidak percaya diri dengan gerbong yang ia bawa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun