Rabu, 9 Juni 2010
Karawang, Kompas - Sebagian besar petani, pengurus kelompok tani, dan kepala desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, gamang dengan kebijakan subsidi pupuk langsung kepada petani. Karawang menjadi proyek percontohan bagi uji coba program subsidi langsung tersebut.
=============================
Membaca lengkap isi berita tersebut betapa kegamangan bukan hanya dirasakan oleh petani akan tetapi pemerintah juga. Petani gamang dengan sistem penukaran kupon subsidi pupuk dan pemerintah bingung menghabiskan Rp 100 Miliar anggran untuk proyek percontohan subsidi pupuk dengan mekanisme tukar kupon ini.
Melihat duduk persoalan yang ada sebenarnya hanya berkutat pada satu permalahan yakni adanya ketergantungan petani terhadp pupuk semenjak adanya politik green revolusi. Sekarang berdampak pada kegamangan mengatur subsidi langsung pupuk dan Harga Eceran tertinggi (HET).
Rencana pemerintah mengurangi subsidi pertanian bisa dipastikan akan mengakibatkan kenaikan harga pupuk. Harga Eceran Tertinggi pupuk diperkirakan naik. Menurut penelitian salah satu NGO Pertanian yang dilaksanakan di Cirebon tahun 2007 terhadap petani padi menunjukkan total biaya untuk input eksternal (bibit, pupuk dan pestisida kimiawi) mencapai 45,6 persen dari total biaya produksi yang harus dikeluarkan petani dalam satu musim tanam. Sehingga jika input eksternal dikurangi akan meningkatkan pendapatan petani. Sangat bertolak belakang dengan rencana pemerintah untuk menambah beban input eksternal yang harus ditanggung petani.
Dipastikan akibat kebijakan ini, ongkos produksi akan meningkat dan beban dipikul oleh kaum tani. Karena permintaan yang meningkat, sesuai hukum ekonomi yang dianut oleh pengusaha pupuk maka harga akan dinaikkan. Produsen pupuk akan meningkatkan biaya jual dan tentu saja mau tidak mau petani akan membelinya. Diperparah lagi dengan doktrin bertani bangsa ini masih sangat tergantung akan kebutuhan pupuk. Dengan lahan yang terbatas dan pengeluaran tetap untuk input eksternal yang kian bertambah maka kebutuhan input eksternal seperti benih, pupuk akan terus meningkat. Menyebabkan keuntungan petani kian menurun.Artinya beban bukan di perusahaan tetapi di keluarga tani.
Bila keluarga tani harus mengeluarkan ongkos produksi tani yang semakin tinggi sudah dapat dipastikan akan timbulnya ”sikap emoh” bertani sehingga pendapatan petani akan hilang maka angka kemiskinan dan kelaparan akan meningkat juga. Ingat 70 persen pendapatan keluarga tani dibelanjakan untuk pangan. Jika pendapatan berkurang, maka rawan pangan bakal terjadi. Tidak tertutup kemungkinan stabilitas nasional akan goyang.
Problem pupuk adalah masalah laten tanpa solusi. selama ini kita di dera oleh persoalan pupuk, baik yang sifatnya soal suply tetapi juga aspek lingkungan. Pertama, harga yang tinggi, karena banyak yang dipakai untuk perkebunan.
Kedua, tingkat ketergantungan pada pasokan gas. Sebab terpenting dari rasa puas diri-sekarang berangsur – angsur sudah berkurang dalam soal persediaan gas untuk pasokan pupuk. Persediaan gas selalu menjadi ”dalih” utama untuk menaikkan harga pupuk dan menekan produksi pupuk. Sehingga sudah terbentuk anggapan umum bahwa persediaan gas adalah faktor utama dari kesuburan tanah petani.
Ketiga, tidak bisa diproduksi pada tingkat petani. Pupuk yang beredar di pasaran merupakan pupuk yang dihasilkan melalui tekhnologi tinggi dan modal yang besar dan tidak bisa diproduksi dalam skala rumah tangga tani. Artinya, ketergantungan petani terhadap produksi pabrik pupuk adalah nyata dan jika petani tidak dapat menjangkau harga pupuk maka dengan sendirinya petani tidak dapat melakukan aktivitas taninya.
Keempat, dampak pada lingkungan telah tinggi, karena pemakaian melebihi dosis sehingga mengakibatkan tanah menjadi teracuni. Peristiwa masuknya air ke dalam tanah, yang umumnya melalui permukaan dan secara vertikal atau yang disebut dengan infiltrasi air merupakan dalil nyata bahwa residu pupuk yang berlebih terserap oleh tanah. Sehingga akan terikatnya bahan kimia dalam ruang pori. Akibatnya akan terjadi pengkayaan unsur dalam air atau yang lazim disebut eutrofikasi. Dan keseimbangan konsentari – konsentrasi unsur esensial dalam tanah akan terganggu.
Agroekologi solusi
Mengakhiri persoalan pupuk harus dipahami dengan melihat tentang ekologi politik. persoalan pupuk diakibatkan karena salah satu mata rantai dari agroekosistem dikeluarkan dari ekosistem pertanian. Dan pengeluaran ini karena kepentingan industri.
berdasarkan ilmu tanah, kecukupan hara bisa dipenuhi sendiri oleh alam manakala jasad renik ada, hijauan2 ada atau yang biasa disebut bahan organik. Terutama di daerah lembab, dekomposisi (penguraian) bahan organic dalam tanah melepaskan unsur hara yang diikatnya dan terjadi senyawa sederhana yang mendekati kebutuhan tanaman. sehingga proses pemupukan menjadi tercukupi dan dilakukan sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai silus tertutup eksosistem. Perlu diingat bahwa tanah adalah suatu tubuh yang komplek yang saling berkait antara sifat kimai, biologi dan fisika. Sehingga perlu mempertahankan kondisi sehat tanah dengan tidak menambah bahan kimia dari luar.
Sehingga untuk mengatasi persoalan pupuk harus dipandang bahwa pertanian kita mesti berubah dari industrial ke agroekologis. Dalam aspek pupuk terdapat keuntungan yang akan didapat.
Pertama, peningkatan income di keluarga tani karena produksi pupuk baik kompos dan dll dilakukan di desa. Semua yang yang bisa dimanfaatkan dari alam merupakan modal alam yang tidak bisa semena – mena dieksploitasi. Penggunaan pupuk kompos adalah cara sederhana untuk mengembalikan modal alam ini dengan tidak mengurangi pendapatan manusia. Bahan untuk pupuk kompos ini tersedia secara gratis di alam dan bisa dilakukan dengan tekhnologi rumah tangga tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan.
Kedua, tidak adal lagi limbah pertanian karena kotoran adalah sumber ekonomi utama. Sisa – sisa dalam pertanian yang tidak dihitung secara ekonomi misalkan sisa daun, batang dan akar pada tanaman tingkat tinggi dalam konsep pertanian tidak berbasis lingkungan merupakan masalah pelik sehingga harus ada tambahan biaya untuk menghanguskannya (waste cost). Justru dalam Agroekologis limbah pertanian yang selama ini dianggap menyusahkan merupakan modal utama dekomposer untuk mempertahankan sikus makanan / rantai makanan.
Ketiga, kontribusi pada penurunan penyakit. Pangan organik sangat rendah radikal bebasnya. Menurut Penelitian FAO yang bekerjasama dengan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (Ikatan PHT Indonesia) pangan non-organik yang selama ini kita konsumsi rentan sekali mengandung methtyl parathion dan WHO sudah mengkategorikannya dalam kelompok A1 (sangat berbahaya bagi manusia) dan sudah terdapat 25 juta kasus mengenai ini. Akankah manusia terus mengorbankan kelangsungan hidupnya dengan terus merusak alam melalui pertanian yang tidak berbasis lingkungan?
Dengan demikian jika Pemerintah mempunyai niat mulia untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat maka agroecologis merupakan jawaban nyata paling ekonomis dan ramah terhadap makhluk hidup. Sehingga rencana pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat petani tidak lagi – lagi jauh panggang dari api karena salah satu masalah laten bertani dapat teratasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H