Mohon tunggu...
Azwara Nasution
Azwara Nasution Mohon Tunggu... -

laki - laki, 24 tahun, Bogor, Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pupuk dan Perubahan Iklim

11 Juni 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indramayu, Kompas Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengurangi alokasi kebutuhan pupuk urea dan anggaran subsidi pupuk pada tahun 2010. Meski begitu, Menteri Pertanian Suswono menjamin kebutuhan pupuk petani tercukupi sampai akhir musim tanam.

Menurut Suswono saat dihubungi di Jakarta, Kamis (10/6), petani tidak perlu khawatir. ”Berapa pun kebutuhan pupuk urea petani akan dipenuhi pemerintah,” ujar Mentan. (http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/11/04381886/alokasi.pupuk.urea..dikurangi)
======================================
Sepintas lalu (lagi - lagi sepintas-karena memang lagi - lagi tentang subisidi pupuk) jika kita memperhatikan pernyataan Mentri Pertanian yang baru ini sungguh menentramkan dan menyejukkan jiwa pembaca kompas hari ini. Betapa perhatiannya Pak Sus terhadap kondisi Pertanian yang menjadi tanggung jawab barunya sekarang sehingga petani tidak perlu khawatir. Akan tetapi jika didalami lebih jauh lagi maka akan jauh panggang dari api pernyataan Mentri yang sangat gandrung memelihara jenggot ini.

Lima Juta ton Pupuk.
Menurut berita yang dirilis,keputusan Kementerian Pertanian mengurangi volume alokasi urea dan anggaran subsidi menjadi 5 juta ton mengacu pada realisasi penyerapan pupuk tahun lalu (mungkin 2009?). Pengurangan anggaran subsidi pupuk urea di antaranya untuk pembangunan infrastruktur pertanian dan penyelamatan sapi betina produktif lokal. Belum lagi cerita tentang Produsen pupuk yang merugi apabila pupuk yang mereka produksi tidak terserap petani miskin nan kumuh. Semakin gawat saja rasanya kondisi pertanian kita.

Petani tidak pernah dihitung.
Membaca seksama berita yang dilansir tesebut terlihat jelas bahwa sebenarnya petani (dalam arti petani sebagai makhluk hidup-manusia) tidak menjadi faktor yang diperhitungkan dalam kalkulator para pengusaha pertanian dan lembaga yang mengurusinya. Kementerian Pertanian hanya berbicara pada aspek pupuk yang mampu diserap petani saja, KEMENTAN tidak pernah berfikir kenapa pupuk itu menurun penyerapannya, apakah karena daya beli pupuk rendah atau jangan - jangan tanah para petani sudah jenuh dengan pengguanaan pupuk kimia? begitu juga dengan pengusaha pupuk hanya memandang petani sebagai bagian dari bisinis saja. Sebagian kalangan menyurakan rendahnya penyerapan pupuk akibat pergeseran musim tanam dan belum adanya kesadaran petani menggunakan pupuk sesuai dosis. Pertanyaannya adalah Sebegitu sulitnyakah membangun kembali pertanian kita? sudah separah itukah petani bergantung pada penggunaan pupuk?

Pertanian berbasis ekologi.
Pertanian berbasis ekologi kembali menjadi tumpuan dan harapan titik balik kebangkitan pertanian Indonesia bahkan dunia. Kondisi ini persis seperti yang diceritakan oleh Tjafra dalam buku Titik Balik Peradaban. Tjafra mengemukakan bahwa kondisi bumi akan selalu menjurus pada kesetimbangan, sehingga menurut Tjafra pada suatu saat manusia akan kembali pada sisi - sisi yang harmoni dengan alam.

Menyambung hasil telaahan Tjafra bahwa sesungguhnya dalam dunia pertanian juga sudah menuju jalan kesetimbangan alam melalui pertanian berbasis ekologi (agroekologi). Pertanin ekologis dalah pertanian yang berjalan beriringan degnan alam, bukan sistem pertanian yang menghancurkan alam melalui penggunaan pupk kimia dan pestisida.Agroekologi merupakan sistem pertanian yang adaptif terhadap alam dan tidak berperan sebagai sumber karbon. Hasil penelitian terbaru mengatakan kegiatan pertanian menyumbang 11 sampai 15 % Gas rumah kaca (LVC 2009), akan tetapi perlu kita ingat Pertanian yang menjadi donor karbon adalah pertanian skala industri (produksi dan pemakaian urea, bahan bakar traktor) dan tentu saja pelakunya adalah pengusaha pertanian dengan sistim Agribisnis. Masih segar juga dalam ingatan kita hasil Cop 15 yang terlunta - lunta karena tidak adanya kesepakatan yang mengikat tentang perubahan iklim yang sangat berdampak pada pertanian. Betapa hilangnya tanggung jawab bersama untuk menjaga alam ini.

Satu pernyataan yang bisa diambil dari pandangan nyeleneh ini adalah untuk menuju pertanian yang selaras dengan alam sudah saatnya menghentikan penggunaan pupuk kimia dan tentu juga pestisida kimia serta guna menghilangkan ketergatungan petani terhadap pengusaha pupuk maka saatnya mengembangkan pertanian yang berbasis ekologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun