31-03-09, 12.15 am – 03.00 pm, dari Sekretariat Janagiri – Pos Pendakian Selo
Sekilas cerita dari para pendaki yang kalau dibuang sayang,
Ini kisah pendakian 3 diva Lawalata-IPB, Salmul, Hilbul, Churtz, kami menamai diri kami bertiga, namun kami juga mempunyai tambahan personil yaitu satu orang perempuan manajer dan satu orang perempuan yang bertindak official, akhirnya kami menamai sebuah perusahaan impian kami yaitu The Divas Adventure Company. Kami sangat menantikan dapat melakukan pendakian gunung berlima, tetapi tidak pernah tercapai karena kami masih mempunyai kesibukan masing-masing dan waktu yang tidak tepat. Akhirnya kami hanya mendaki bertiga, ya, 3 diva karena kami selalu bertiga dan masuk ke dalam golongan manusia yang selalu befikir liar (melakukan hal-hal liar ke dalam alam liar serta tantangan-tantangan liar lainnya).
-----------------------------------------
Aku akan melakukan penugasan dari kampus untuk Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi selama 30 hari terhitung 28 Februari – 28 Maret 2009. Sebelum aku berangkat ke Jogjakarta, kami sempat mendiskusikan untuk melakukan penjelajahan ke satu (awalnya hanya satu tapi...) gunung di Jawa Tengah karena alasan waktu yang tidak bisa digunakan lama-lama untuk jalan-jalan _salmul sedang mengurusi penelitiannya dan hilbul tidak boleh izin lama dari kantornya (dia satu tingkat di atas aku dan Salmul)_, maka Gunung Slamet lah yang terpilih. Slamet terpilih karena merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah, “langsung saja si Embahnya Jawa Tengah kalau cuma satu gunung mah” kata-kata sepakat pun muncul.
Selepas praktek lapang ku selesai, aku menghubungi diva-diva yang sedang berada di Bogor untuk penetapan tanggal pendakian. Selama aku PKLP aku belum pernah mendaki sampai ke puncak G.Merapi, “rasanya gimana gitu kalau anak mapala pergi ke suatu tempat yang ada gunungnya tapi gak dinaikin, apalagi gw satu bulan praktek disana, ah gak cihuyy ni, apa kata emak gw,heheee...” ngedumel dalam hati. Aku mencoba untuk mengajak Salmul dan Hilbul untuk melakukan pendakian ke G.Merapi tetapi mereka tidak mau karena alasan klasik di atas (yang sudah disebutkan sebelumnya). Akhirnya aku akan mendaki G.Merapi dan G.Merbabu sendiri saja setelah dari G.Slamet dan meminta ditemani oleh beberapa orang mapala yang ada di Jogja.
Jogjakarta terletak ditengah-tengah dari lingkarang gunung-gunung berapi yang ada di Jawa Tengah salah satunya yang masih dan paling aktif di dunia yaitu G.Merapi dengan periodisitas letusan 3 – 7 tahun (Walhi Jogja). Gunung tersebut berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pada tahun 1998 G.Merapi masih dengan ketinggian 2968 m dpl namun menurut informasi yang didengar pada tahun 2009 G.Merapi mempunyai ketinggian 2911 m dpl.
30 Maret 2009 pukul 02.00 siang, di ruang tamu rumah Benben (mahasiswa UII tingkat I Jurusan Mesin), memang kaki-kaki kami sudah lelah setelah melakukan pendakian dari G.Slamet tetapi setelah aku iming-imingi dengan “kita akan jadi yang pertama div naik Merapi, masa’ kalian gak ingin sih? Tanggung loh.. cuma satu hari saja kok, kita naiknya ngebut, gak usah pake flying camp, pergi malam, naik pagi turun sore, gimana?, masa’ gw cuma naik sendirian, kita kesini kan untuk naik gunung bareng, ih sumpah nanggung banget deh”, akhirnya Hilbul mulai merayu Salmul karena mereka akan pulang ke Bogor berdua “gimana div lu mau ikutan juga gak? Iya sih nanggung juga tau, kita udah di Jogja loh, nemenin si Izah tuh kasihan sendirian,heheheee....”. Aku “div coba lu hubungi bang Greg dia mau mau gak ikut nganter kita? Masa’ cuma Pace doank, kasihan, apalagi pasiennya kita bertiga gini, bisa-bisa stress dia,heheheheee...”.
Izin sudah aku lakukan via sms kepada staf Balai TNGM yang bertugas menjaga Pos Pendakian Selo, dan sebelumnya juga aku sudah meminta izin kepada staf kantor Balai TNGM kalau aku dan teman-teman akan melakukan pendakian ke G.Merapi.
31 Maret 2009 pukul 08.00 malam, kami bergegas dari Jakal (Jalan Kaliurang Km. 11,9) menuju Sekretariat Mapalista tempat kediaman abangnya Hilbul, Bang Gragas (kami memanggilnya Bang Greg), waktu memasuki gerbang kampus Bang Greg ternyata sudah nangkring Katana mungil berwana Silver dengan plat G. Bibir ku mengembang menjadi senyuman. Kami ke Mapalista untuk menjemput Bang Greg dan Bawor. Aku duduk disebelah laki-laki yang memakai kaos berwarna putih, dia Sekjen Sekber DIY, Dhangku Putra, dia tidak suka naik gunung.
“ikut ke Merapi yuk?” ajak aku,
“gak ah, gak suka naik gunung belum dapet feelnya” Dhangku,
“emang habis ini mau kemana?” Dhangku,
“aku habis ini mau ke Sekretariat Janagiri, mau jemput temennya Pace” aku,
“ya udah, nanti aku kesana” Dhangku,
“okeh, aku berangkat duluan ya” aku.
Pukul 11.00 malam, kami tiba di Sekretariat janagiri. Salmul tidak ikut masuk, dia tidur di dalam mobil. Selang 10 menit Katana silver itu muncul kembali,
“kamu ikut?” aku,
“iya aku sama Kohyen ikut nganter sampai pos aja” Dhangku.
Genjrang-genjreng anak-anak yang sedang nongkrong di depat sekretariat Janagiri, Universitas Janabadra Jogjakarta, ada yang sibuk bernyanyi dan berbincang,Pace dan temannya yang bernama Kutilang sibuk mencari dan mengepak barang-barang yang menjadi keperluan kami selama dilapang _walaupun kami tidak akan flying camp kami tetap membawa peralatan lapang sesuai denganSOPnya atau Standard Operating Procedur_, aku dan Hilbul sibuk berkaca, menonton TV baru kemudian kami gabung ke depan sekret bernyanyi dan berbincang. Waktu tidak satu detik pun berhenti, waktu menunjukkan bahwa sudah pukul 12.15 malam, maka kami pun bergegas memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Mobil yang kami pakai jadi bertambah, di Xenia diisi oleh Pace, Kutilang, Bang Greg, Hilbul, dan Salmul, sedangkan hanya aku dan guling (milik Pace yang selalu aku bawa selama aku di Jogja) yang disuruh pindah ke Katana Silver tersebut untuk gabung bersama Dhangku dan Kohyen.
02.45 malam kami tiba di Pos Pendakian G.Merapi yaitu di daerah Selo, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah. Angin kencang dan suhu lumayan dingin membuat rambut di permukaan kulit kami berdiri. Kami merapikan packing-an, kemudian berdoa agar diberikan keselamatan selama melakukan pendakian dan kembali selamat dengan jumlah anggota naik-turun sama,amin.., itulah doa yang aku tuturkan sebelum kami melakukan pendakian. Tiba-tiba Dhangku berlari ke mobilnya dan mengambil satu plastik kecil,
“ini untuk kamu” Dhangku,
“apa ini? Wow susu, milo, sari roti sobekan rasa stawberi” aku,
“hati-hati ya” Dhangku,
“iya, makasih ya daahh...” aku.
Pukul 03.15 malam menjelang subuh kami mulai berjalan dengan beberapa senter. Kutilang mempunyai mata dan ketepatan kaki yang bagus untuk perjalanan malam, dia tidak menggunakan senter. Bang Greg menjadi pahlawan kami hari itu, dia yang membawa semangka berukuran agak besar dari lingkaran bola pada sepak bola, “wah Bang Greg lu TOP BGT dah!! You are our hero,hehehheee...”, “iya kalo sambil bawa semangka,hahahhaaa...”. Seperti biasa, kami selalu berceloteh dimana pun dan kapan pun dan dalam waktu apa pun disetiap melakukan penjelajahan, kalau kami diam itu tandanya kami lagi sakit atau marah atau malah kemasukan setan diam J, malah bukan 3 diva namanya kalau naik gunung tidak ngoceh (=berbicara terus-menerus). “Bintang jatuh!!” teriakku _mitosnya: kalau melihat bintang jatuh, permintaan akan jadi kenyataan_ “betul gak ya? Coba aja deh, semoga bisa bareng sama Dhangku” make a wish. Kanan-kiri kami masih belum teraba vegetasi apa yang tumbuh pada ketinggian sekitar 500 – 700 m dpl, yang pasti jalan tersebut selalu menanjak dan terlihat akar-akar pohon.
Shalat subuh kami lakukan pada pukul 05.20 pagi ketika sinar matahari sudah mulai menyinari kami, kami baru tersadar kalau ternyata sudah pagi, hal tersebut karena kami kebanyakan bercerita, bercanda, dan bergurau. Setelah shalat beberapa dari kami ada yang melakukan ritual di pagi hari yaitu membuat titik koordinat alias gali tanah untuk puph alias buang air besar dan kecil. Tak lupa untuk berpose pada setiap perhentian kami, hal tersebut membutuhkan waktu 45 menit pad perhentian pertama.
Perjalanan dilanjutkan, Bang Greg mulai mengeluarkan kacamata andalannya, Pace seorang pendiam yang hanya diam melihat kami kemudian tertawa (gila donk,hehehe..peace Pace J), Kutilang mulai berceloteh bersama Salmul, Hilbul sibuk mengurusi nafasnya yang sudah mulai agak berhenti dikerongkongan, dan aku siap-siap memencet tombol jepret kalau-kalau ada muka-muka yang menarik untuk di foto atau pemandangan lain yang menarik yang dapat di foto. Vegetasi yang tumbuh di ketinggian 700 - 800 m dpl masih belum cukup beragam salah satunya yaitu pohon Kaliandra (Caliandra sp.), tetapi pada ketinggian 800 – sekitar 1.500 m dpl tumbuhan sudah mulai beragam, sudah mulai terlihat jenis vegetasi yang hidup pada habitat pegunungan bawah sampai pegunungan tengah yaitu jenis Cantigi dan jenis vegetasi dengan daun berwarna hijau beukuran kecil seperti uang logam Indonesia berhias bunga dengan warna-warna cerah seperti kuning dan orange.
Sampailah aku dan Kutilang di pelataran pasir yang cukup luas, yang cocok untuk istirahat dan tidur-tiduran, dan tentunya berfoto-foto J, pukul 07.26 pagi. Ada seorang pria memakai baju hitam, bagian muka sampai dada ditutupi kain pantai tergeletak di atas matras berwarna merah, itulah Pace seorang pendiam yang juga diam-diam jalannya sangat cepat, maklum saja dia bersuku di tanah Papua, Kabupaten Fak-fak, dan sudah sering melakukan perjalanan yang lebih dhasyat dari kami. Kemudian disusul kedatangan Salmul, Hilbul dan Bang Greg secara berbarengan. Kami melakukan istirahat kedua, makan roti, ambil nafas, dan ganti kostum untuk sesi foto-foto. Tinggi tumbuhan sudah mulai berkurang karena menurut teorinya yaitu semakin tinggi suatu tempat semakin pendek ketinggian suatu tumbuhan dengan banyak cabang. Begitulah karakteristik jenis tumbuhan Cantigi yang hidup pada ketinggian lebih dari 1.500 m dpl, berdaun hijau, kecil, dengan daun muda berwarna merah dan buah berwarna biru tua menuju keunguan. Perjalanan menuju pelataran pasir tersebut sungguh dramatis, kami dapat melihat di belakang kami lekukan G.Merbabu dengan sangat jelas dan terlihat dekat. Samping kanan kami dapat melihat G.Sindoro dan G.Sumbing. Tanjakan demi tanjakan sangat terlihat jelas, karena hanya ada satu jalur/trek/jalan untuk menuju ke puncak G.Merapi dengan pemandangan kanan dan kiri adalah jurang.
Pukul 08.15 pagi, perjalanan dilanjutkan kembali menuju shelter yang dinamai dengan Pasar Bubrah, lembahan dari Pegunungan Merapi dengan hamparan pasir bercampur bebatuan berukuran kecil sampai besar, vegetasi yang tumbuh didaerah tersebut hanya beberapa tumbuhan bawah seperti ilalang dan beberapa perdu Cantigi. Trek menuju Pasar Bubrah sama terjalnya dengan trek dari ketinggian 800 m dpl sampai pelataran pasir, namun masih tetap ada perbedaan yaitu kondisi trek yaitu lebih berpasir dengan vegetasi perdu Cantigi.
Pukul 09.07 pagi kami hampir tiba di Pasar Bubrah tetapi kami sempat berhenti untuk melihat makam yang berjajar di atas punggungan, dan tentu saja kami tidak melewatkan pose kami untuk berfoto-foto J. Pukul 09.15 pagi kami benar-benar tiba di Pasar Bubrah, yang pertama kami lakukan adalah menaruh tas di pojokan bau besar, bongkar packing-an, mengeluarkan peralatan masak dan bahan yang akan di masak, kemudian berfoto-foto. Kaum perempuan sibuk berpose dan kaum laki-laki sibuk memasak makanan untuk makan siang. Kami tidak diperkenankan masak karena “duh kalian ini gak ada yang beres kalo masak, sini kami saja yang buatkan makanan, sana kalian naik ke puncak saja” kata kaum laki-laki. Alhasil kami hanya menonton mereka, berpose, dan kami pun sempat tertidur.
Pukul 11.45 siang kami mulai melakukan pendakian menuju puncak, dengan posisi semua daypack sudah selesai di packing dan disejajarkan. Tentu saja dengan perut kami yang sudah kenyang setelah melahap semua makanan yang sudah disajikan dengan pencuci mulut buah semangka bawaan si abang J. Kami berjalan sendiri-sendiri, Pace paling depan sebagai penunjuk jalan, kemudian disusul Kutilang dibelakangnya, kemudian Salmul, aku, Hilbul dan Bang Greg selalu berdua. Salah sekali Pace kami taruh paling depan, hilang sudah dia dari jangkauan daya lihat mata kami. Perjalanannya sangat terjal, tidak ada trek normal, semua harus dilewati dengan memanjat dan merangkak-rangkak. “oh Tuhan, apa yang terjadi? Bukankah selama ini orang-orang yang mendaki menuju puncak G.Merapi tidak mengatakan sampai harus memanjat bebatuan yang besar-besar dan tajam? Mengapa jalan kami selalu harus memanjat?” dalam hati kami bertanya-tanya.
Berkali-kali kami memanggil-manggil Pace dan Kutilang tetapi tidak ada jawaban. Kami bertiga hanya dapat menatap satu sama lain. Akhirnya kami dapat mengejar ketertinggalan kami dengan Kutilang, tetapi dengan Pace kami tidak dengar suara apapun darinya. Kami pun mulai berhenti bercanda dan berceloteh. Pukul 12.18 siang kami masih belum sampai ke Puncak Garuda.
“mana puncaknya? Apa kita nyasar ya?, ah masa’ sih?, terus Pace dimana?” tanya kami ke Kutilang,
“aku gak tau, aku juga lupa jalannya” Kutilang,
“Pace!!”, “Pace!!”, “Pace dimana sih?” teriak kami,
“udah div disini aja deh puncaknya, gak ada yang tau ini kalo ini puncaknya” rayu Salmul ke aku,
“kagak div! Apa-apaan sih lu! Bentar lagi kok” aku,
“ya udah fotoin gw disini dulu aja div” pinta Salmul,
“ya udah div, kita sambil tunggu Hilbul aja” aku.
Pukul 12.24 siang akhirnya Hilbul tepat berada di belakang kami, ternyata dia sudah meteskan air mata,
“kenapa div? Tetep semangat aj ya tinggal bentar lagi kok” aku mencoba menenangkan Hilbul,
“kenapa jalannya kayak gini ya div?” tanya Hilbul ke aku,
“gw juga gak tau div, tau ni si Pace kemana, kayaknya udah jauh banget didepan, si Kutil juga gak tau kemana” aku mencoba menjelaskan keadaaan,
“Bang Greg gimana ni?” tanya aku ke Gragas,
“tuh temenmu suruh diem jangan nangis” ucap Gragas sambil menunjuk ke arah Hilbul, kedua diva sudah mulai down karena perjalanannya selalu memanjat dengan resiko jatuh yang tinggi.
Pukul 12.59 siang cuaca berubah sangat cepat bentar panas, bentar kabut, bentar lagi kembali menjadi panas, kemudian menjadi mendung, awan mengandung air menjadikan ia menjadi warna kelabu, titik-titik air hujan mulai turun membasahi bebatuan, kabut mulai turun perlahan, udara menjadi lebih dingin. Kami pun meneduh dibelakang batu setinggi kami duduk. Tidak ada lagi vegetasi yang hidup atas di ketinggian 2.900 m dpl.
Puncak Garuda, itulah yang kami lihat pada pukul 13.05 siang. Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta segala isinya yang selalu membuat takjub umat manusia. Tak salah dia dinamakan Puncak Garuda, bentuknya sangat bagus untuk sebuah batu yang menempel dengan batu lainnya, seperti sebuah mahkota jika dilihat dari sisi samping.
Sosok hitam dengan kain pantai menyelimuti bagian lehernya, itulah Pace yang sudah sampai jauh lebih dulu sebelum kami, dengan nyegir kuda dia menyambut kedatangan kami (kalian tahu nyegir kuda? Silahkan dibayangkan J,heheheee...). bang Greg langsung ambil tempat untuk istirahat dan kami pun ‘tadaaa!!!!’ ‘action!!!’ menyiapkan segala peralatan foto dan memikirkan untuk bergaya.
“aku akan melakukan gerakan salto di setiap puncak yang aku datangi dan tak lupa sujud syukur ku pada Mu” keinginan dalam hatiku. Jeprat...jepret...cling.. kamera digital mulai diaktifkan kembali dengan gaya-gaya foto andalan kami masing-masing, style is number one. Pose demi pose kami lakukan, dari mulai cuaca serah sampai tertutup kabut, tidak menyurutkan semangat kami untuk berfoto ria. Lelah dan tangis terbayarkan setelah tujuan tercapai.
Pukul 13.35 siang kami pun akhirnya keabisan gaya dan batre kamera sudah hampir habis serta memori kamera pun sudah tidak cukup lagi untuk merekam kemenangan kami di Sang Puncak Garuda.
Ternyata oh ternyata Pace dan Kutilang memang sengaja membawa kami dengan trek seperti itu. Perjalanan turun dari puncak menuju Pasar Bubrah melalui jalan orang normal, ternyata memang amat sangat berbeda seperti 1 : 10 LL.
Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu kegiatan ini. Cheers up!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H