Mohon tunggu...
Uwais Azufri
Uwais Azufri Mohon Tunggu... -

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya

Selanjutnya

Tutup

Money

Membangun Papua dengan Mentaati Ajaran Agama

10 September 2015   10:24 Diperbarui: 10 September 2015   10:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada hal yang menarik ketika kita membicarakan Papua. Provinsi di wilayah timur Indonesia ini, bagi yang bekerja di bidang pertahanan dan keamanan pastilah yang mereka perhatikan gerakan separatis bersenjata atau menurut perkembangan terakhir yang penulis tahu mereka (disebut Organisasi Papua Merdeka/OPM) ada juga yang melakukan perjuangan dengan politik di dalam dan luar negeri. Namun bagi negara luar, Papua adalah lumbung emas bagi pemasukan negara mereka. Bagaimana tidak salah satu perusahaan tambang terkemuka di dunia, yakni PT Freeport Indonesia yang melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia.


Belum lagi kekayaan alam baik di darat dan di lautnya yang sangat melimpah yang akan menarik mata dunia untuk memilikinya. Menurut masyarakat Papua sendiri wilayah mereka ibarat syurga kecil yang diturunkan ke dunia, namun sayang pengelolaan sumber daya alam yang begitu melimpah tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang mumpuni. Seperti kita tahu, beberapa waktu lalu masyarakat Papua mengingkan pemimpinnya adalah orang asli Papua. Saat ini, mayoritas pemimpin daerah di Provinsi Papua adalah orang asli Papua, namun hal tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Papua itu sendiri. Banyak pejabat Papua terlibat kasus korupsi yang sampai saat ini baru beberapa pelaku ditindak dan sebagian masih dalam proses persidangan dan penyidikan aparat berwenang.

Dikutip dari infokorupsi.com, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Papua hingga akhir Mei 2011 telah melakukan penyilidikan sebanyak 84 perkara tindak pidana korupsi. Tujuh perkara di antaranya telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jayapura yang diresmikan sejak Maret 2011 silam.
Pemerintah pusat sendiri sudah begitu anak istimewakan Provinsi Papua dan Papua Barat, bagaimana tidak dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 14 Agustsu 2015 di Gendung DPR RI, Presiden Jokowi menyampaikan bawha dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2016, pemerintah mengajukan alokasi anggaran sebesar Rp 18.905.118.840.000 untuk dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu. Jumlah tersebut menunjukkan kenaikan lebih dari Rp 1 triliun, dibandingkan alokasi dana untuk anggaran yang sama pada APBNP 2015 yaitu untuk dana otonomi khusus sebesar Rp 16,5 triliun ditambah Dana Keistimewaan Provinsi DIY sebesar Rp 547,5 miliar.

Dalam draf RAPBN Tahun 2016 yang diajukan oleh Jokowi diuraikan, dari total 18.905.118.840.000 dana Otonomi Khusus dan dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pemerintah memberikan alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 7.765.059.420.000 (sebelumnya Rp 7 triliun).
"Alokasi dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat itu dibagi 70 persen atau Rp 5.435.541.600.000 untuk Provinsi Papua dan 30 persen atau Rp2.329.517.820.000 untuk Provinsi Papua Barat," bunyi keterangan pemerintah dalam RAPBN Tahun Anggaran 2016.

Selain itu, pemerintah juga memberikan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus Papua dan Papua Barat yakni Rp 3.375.000.000.000. Jumlah dana tambahan infrastruktur ini dibagi masing-masing untuk Provinsi Papua sebesar Rp 2.261.250.000.000 dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 1.113.750.000.000. Sebagai perbandingan pada APBNP 2015, dana tambahan infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp 2 triliun, dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp 500 miliar. (sumber : news.detik.com).
Dengan dana yang begitu besar tersebut, apabila dikelola dengan salah maka bukan kesejahteraan yang didapat justru kemiskinan yang didapat. Lalu apa yang salah.?? Yang salah adalah pembiaran korupsi yang merajela di Provinsi Papua dan Papua Barat. Lalu apa solusinya?

Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peter (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, korupsi merupakan perilaku yang termanifest dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik tetapi digunakan untuk memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas. Oleh karena itu, kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Dengan demikian, tidaklah salah ketika publikasi hasil kebijakan publik tidak sesuai dengan realita maka hal ini disebut sebagai tindakan manipulasi (baca: kebohongan). Maka tidak salah pula, ketika tokoh-tokoh lintas agama menyerukan gerakan anti kebohongan publik, berperang melawan korupsi dan mafia birokrasi. Namun apa kaitan antara agama, yang digerakkan oleh tokoh-tokohnya, dengan urusan korupsi, manipulasi dan mafia birokrasi? Apa tendensi tokoh-tokoh agama itu?

Seorang pemikir dari Arab, Muhammad bin Abdullah as-Suhaym (2005) menyatakan bahwa agama, khususnya agama Islam, merupakan ajaran dalam konteks yang khusus dan universal-umum. Khusus karena agama mengatur ritual dalam beribadah (syari’ah), sekaligus bersifat universal-umum karena ajaran Islam telah mengatur semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia yang tidak diatur dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena fungsi agama sebagai pengatur kehidupan manusia supaya mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan dalam menjalani kehidupan ini. Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan oleh Paloutzian & Park (2005) bahwa agama merupakan keyakinan dogmatik yang memberikan petunjuk bagi bagi manusia untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dengan demikian, agama mengatur semua urusan dunia dan akhirat. Agama mengatur pengikutnya untuk bertindak sesuai dengan kaidah agama pada semua aspek, termasuk dalam hukum-peradilan, pendidikan, politik, pemerintahan dan hubungan sosial (muamallah) yang lain. Tujuannya adalah keselamatan pengikutnya sendiri dan kesejahteraan sosial pada umumnya.

Berdasarkan fungsi agama tersebut maka ciri-ciri orang atau suatu bangsa yang religius adalah: (a) mengamalkan semua ajaran Tuhan; (b) mempunyai pemaknaan diri yang baik sehingga mampu bertindak sesuai dengan kaidah ajaran agama; (c) mempunyai hubungan sosial yang baik dan memelihara alam; (d) meyakini adanya “hari depan”, yang dideskripsikan sebagai masa depan, kematian, alam kubur, hari berbangkit, surga dan neraka. Oleh karena itu, agama tidak hanya berfungsi sebagai aturan ritual dalam menyembah Tuhan saja. Akan tetapi agama mempunyai makna dan fungsi yang lebih luas. Berkaitan dengan hal itu maka agama pun mempunyai peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat, seperti dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan. Secara universal, semua agama melarang tindakan yang merugikan orang lain, termasuk korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi. Agama mempunyai otorita kepada pengikutnya (terutama yang menyatakan dirinya “beragama”), agar pengikutnya tersebut tidak melakukan korupsi, manipulasi (kebohongan) dan mafia birokrasi. Selain karena merugikan kepentingan umat, semua tindakan tersebut bukan merupakan tindakan yang selamat dunia dan akhirat. Maka tidak mengherankan jika tokoh-tokoh agama menyerukan untuk melawan semua tindakan pelanggaran tersebut.

Sebagai tokoh yang dikaruniai oleh Tuhan kemampuan berfikir kritis (rausyanfikr) maka sudah selayaknya jika tokoh lintas agama memberikan warna keseimbangan berupa peringatan (fatwa) agar umat melawan korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi. Tokoh agama mempunyai kewajiban sebagai pemimpin umat agar kembali kepada ajaran yang selamat. Peranan tokoh agama (ulama) ini telah sesuai dengan yang digariskan oleh Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermakna, “Ada dua golongan dari umatku, yang bila keduanya baik dan saleh maka baiklah semua manusianya, yaitu ‘umara (penguasa) dan fuqaha (ulama).” (Hadits Riwayat Abu Naim). Maka tokoh-tokoh agama yang menyerukan anti kebohongan publik, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi hanya mempunyai tendensi untuk perbaikan kesejahteraan umat. Hal ini sebagaimana tugas yang diemban oleh ulama sebagai pemimpin umat yang harus memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan umat. Sekaligus sebagai figur teladan dalam mengedapankan moralitas dalam menghadapi fenomena sosial.


Ciri orang atau suatu bangsa yang religius telah dibahas sebelumnya. Dua ciri religiusitas yang paling mendasar adalah hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas. Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan bukan ciri mahluk yang religius. Apalagi, seorang koruptor dan mafia birokrasi tentunya tidak akan mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya. Bahkan mereka tidak akan memikirkan hukuman dan ganjaran dari Tuhan mengenai perilakunya tersebut. Oleh karena itu, koruptor bukan saja disebut orang yang tidak religius tetapi juga tidak meyakini adanya Tuhan dan segala kuasaNya (atheis). Merujuk ciri religiusitas tersebut marilah kita mengevaluasi diri apakah bangsa ini masih layak disebut sebagai bangsa yang religius?


Terakhir, disampaikan cuplikan pidato Presiden Soekarno; ”Wahai para pemuda, Ibu pertiwi ini mempunyai konde…yang harus engkau hiasi dengan bunga. Jikalau engkau punya bunga mawar, sumbangkanlah bunga mawar kepada kondenya ibu pertiwi. Jikalau engkau punya bunga melati, hiaskanlah bunga melati kepada kondenya ibu pertiwi. Hiasilah, sumbangkanlah, berikanlah bunga-bungamu kepada konde ibu pertiwi.” (Cuplikan Pidato Bung Karno pada peringatan Sumpah Pemuda, Jakarta, 28 Oktober 1956). Ini merupakan pesan agar kita memberikan yang terbaik bagi bangsa ini dan bukan sebaliknya, mencabuti, menggerogoti dan menghancurkan bunga-bunga hiasan konde Ibu pertiwi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun