Mohon tunggu...
Uwais Azufri
Uwais Azufri Mohon Tunggu... -

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

UNPO! Kegiatan yang Menyimpang

3 April 2014   16:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya menginternasionalisasi isu kampanye merdeka oleh kelompok separatis di Indonesia terus menerus diupayakan. Kelompok separatis seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka) atau sekarang dengan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Republik Papua Barat, meyakini bahwa selain melalukan kampanye merdeka di dalam negeri, berkampanye isu merdeka di luar negeri melalui organisasi/LSM atau aksi unjuk rasa merupakan usaha yang perlu dilakukan agar isu-isu yang dijual mampu diketahui dunia internasional dan mendapat perhatian oleh forum-forum internasional khususnya PBB untuk dijadikan topik pembahasan dalam sidang tahunan.

Seperti belum lama ini di Geneva, Swiss berlangsung kegiatan Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang menggelar side event tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dengan menggundang beberapa perwakilan dari organisasi separatis di Indonesia seperti ASNLF, RMS dan Republik Papua Barat. Para perwakilan dari organisasi separatis di Indonesia yang memberikan presentase, dari Aceh diwakili oleh Yusuf Daud, RMS diwakili oleh Wilem Sopacua dan dari Papua Barat diwakili oleh Lois Nousy. Sedangkan yang menjadi moderator adalah Antonio Stango dari Nonviolent Radical Party yang dimulai oleh Mrs. Martha Meijer dengan memberikan gambaran tentang situasi HAM di Indonesia yang juga merupakan penasehat HAM independen berbasis di Belanda yang fokus pada permasalahan Indonesia. Kegiatan ini berlangsung pada saat diadakan sidang tahunan ke-25 dari PBB oleh Komisi Hak Asasi Manusia yang seperti biasa membahas kondisi HAM dalam masing negara anggota PBB.

ASNLF menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan kepada peserta rapat bahwa perkara yang selama ini terus diperjuangkan oleh bangsa Aceh memiliki kaitan erat dengan proses dekolonisasi yang telah dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya. Fakta dari sejarah Aceh menunjukkan bahwa telah terjadi suatu kesalahan dalam proses pengalihan kekuasaan terhadap teritorial Aceh dari pihak Belanda yang tidak memiliki kekuasaan atas Aceh, baik secara de jure maupun de facto kepada pihak yang direkayasa untuk mengabadikan koloni East Indies alias Indonesia. Belanda yang tidak memiliki wewenang tersebut seharusnya mengembalikan kedaulatan wilayah tersebut kepada bangsa Aceh dan  bukan kepada pihak lain yang tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan perang Aceh-Belanda.

Rombongan ASNLF juga menjelaskan posisi Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki dalam perjuangan Aceh hanya sekedar berupa paket otonomi produk Jakarta yang dikemas di Helsinki, Finlandia. GAM dianggap telah terjebak dalam perangkap otonomi Jakarta yang telah diagendakan oleh mediator perundingan, yaitu Crisis Management Initiative (CMI), melalui pendekatan yang tidak masuk akal dan cenderung mengancam hak penentuan nasib sendiri bangsa Aceh. Setelah penanda-tanganan MoU, rakyat Aceh tidak juga mendapatkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman seputar isi kesepakatan, mereka langsung dijejalkan dengan berbagai propaganda dan trik politik untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Namun rakyat Aceh telah menyadari tipu muslihat Helsinki, dan kembali bersatu di bawah payung ASNLF untuk menuntut hak penentuan nasib sendiri bangsa Aceh melalui cara-cara yang dibenarkan oleh hukum-hukum internasiona, salah satunya melalui UNPO yang merupakan wadah perjuangan bangsa-bangsa dunia yang terjajah.

Sementara itu, delegasi RMS menyampaikan posisi hukum RMS menurut hukum internasional yang sementara berlaku. RMS beranggapan memperoleh kemerdekaan yang sah dari Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kemudian dianeksasi oleh pemerintah Indonesia melalui kekuatan militer atas perintah Soekarno. Dua catatan penting dari dua pakar hukum intenasional yakni oleh Dr. Noelle Higgins dari Universitas Dublin (Irlandia) dan Dr. Eric de Brabandere dari Universitas Leiden (Belanda) dikemukakan sebagai bahan bukti yang sangat kuat. Selain itu, mereka juga melaporkan mengenai perampokan ekonomi Maluku oleh penguasa di Jakarta bersama-sama dengan Shell dan perusahan Jepang Inpex, pelanggaran HAM yang terjadi Maluku dan permasalahan lainnya.

Sementara itu, delegasi dari Papua Barat menyatakan bahwa pengungsi Papua Barat yang melarikan diri dari tanah asal mereka untuk menyelamatkan nyawa mereka masih terus berlangsung, sebagian besar melarikan diri ke Papua New Guinea (PNG), dimana mereka tinggal dalam kondisi tanpa kewarganegaraan. Mayoritas pengungsi cenderung menetap di wilayah perbatasan stabil, mereka tinggal pada pertanian subsisten di bawah bahaya dibawa kembali ke Papua Barat. Mereka tidak memiliki akses ke layanan publik, sanitasi dan air minum yang bersih. Mereka hidup dalam situasi ketidakamanan dan ketidakpastian. UNPO diharapkan akan terus mendukung mereka dalam upaya ini, dengan melakukan advokasi untuk peningkatan kehidupan masyarakat asli Papua Barat. Acara ditutup oleh pidato Mr. Antonio Stango yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung.

Keberadaan UNPO

Kegiatan UNPO di Swiss dirasakan sudah menyimpang karena bendera-bendera dari negara berdaulat dikibarkan bersama-sama dengan bendera kelompok separatis, hal ini diangggap tidak memperdulikan harkat dan martabat suatu negara yang berdaulat. UNPO juga dirasakan memberikan angin segar kepada kelompok separatis, karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk merealisasikan mimpinya mendirikan negara dalam negara. Bagi kelompok separatis, kegiatan tersebut adalah suatu kemajuan yang luar biasa dalam kancah dunia internasional. Pemberian kesempatan kepada kelompok separatis di Indonesia untuk berbicara dalam forum resmi seperti UNPO, sekaligus menunjukan bahwa upaya menginternasionalisasi gerakan separatis di Indonesia tidak pernah berhenti.

Ketiga kelompok separatis tersebut masih beranggapan bahwa proses masuknya ketiga wilayah tersebut kepangkuan NKRI tidak sah. Karena itu mereka tetap menuntut campur tangan pihak asing agar melakukan referendum untuk melepaskan diri dari NKRI. Meskipun dalam kenyataannya, kelompok-kelompok tersebut diatas hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat setempat.

Selain itu pidato Mr. Antonio yang menekankan pentingnya menemukan resolusi damai untuk konflik yang sedang berlangsung, sangat absurd karena konflik justru diciptakan oleh kelompok separatis itu sendiri. Mereka dengan sengaja ingin membenturkan para pengikutnya dengan aparat keamanan dan kemudikan mengekspose masalah tersebut ke dunia luar sebagai pelanggaran HAM berat. Patut dicatat bahwa Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat memiliki alasan kuat untuk menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam wilayahnya, dan hal itu sebenarnya bukankah suatu pelanggaran HAM.

Beberapa pengamat menilai bahwa UNPO tidak layak untuk dipercaya, apalagi mereka sendiri menyebutkan “unrepresentated atau tidak terwakili” artinya tidak ada yang mau berkolaborasi atau bekerjasama dengan mereka. Disamping itu, dengan berkibarnya bendera-bendera kelompok separatis di markas UNPO di Denhag, Belanda menunjukkan mereka telah melecehkan dan tidak mempedulikan harkat dan martabat suatu negara yang justru merasa terinjak-injak hak asasinya sebagai bangsa yang berdaulat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun