Mohon tunggu...
Uwais Azufri
Uwais Azufri Mohon Tunggu... -

Dunia Sementara, Akhirat Selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cahaya Kedamaian Negeri Seribu Pulau

15 Oktober 2014   19:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:55 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas (keragaman) yang tinggi baik etnis, suku maupun agama. Hal ini merupakan potensi yang besar sebagai sumber kekuatan dalam mencapai cita-cita pembangunan nasional. Namun di sisi lain, keragaman akan menjadi sumber konflik dengan segala permasalahan yang sangat kompleks jika tidak ditangani secara khusus dan hati-hati. Konflik yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu kondisi eskalasi yang dipengaruhi berbagai faktor yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia seperti geografi, demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Masih tertanam kuat dalam benak kita akan konflik yang terjadi di Maluku 15 Tahun silam. Konflik di Ambon dan wilayah lain di Kepulauan Maluku terjadi pada Tahun 1999 tersebut telah menyebabkan ribuan orang meninggal dan ribuan lainnya terluka atau menjadi pengungsi, kerugian materil serta trauma yang berkepanjangan. Trauma sosial yang diakibatkan oleh konflik berkepanjangan di Maluku cenderung melebur dalam rasa benci, saling curiga dan rasa takut. Pendekatan-pendekatan kerukunan yang didasarkan pada budaya mulai dipertanyakan eksistensinya saat itu. Model-model penyelesaian konflik dengan pendekatan budaya di Maluku seperti Pela Gandong cenderung dianggap tidak mempan lagi untuk menyelesaikan konflik di wilayah Maluku tersebut. Timbul sejumlah dugaan mengenai latar belakang yang menyebabkan konflik dengan berbagai sudut pandang, baik agama, politik dan sosial-ekonomi.
Dalam perspektif masyarakat Maluku, terdapat kecenderungan bahwa primordial dan keterikatan pada tradisi terutama berdasarkan pada agama masih sangat kuat. Namun demikian, konflik yang terjadi di Maluku pada Tahun 1999 silam sebenarnya bukan karena permasalahan agama seperti yang diberitakan media massa dan isu-isu yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Sebagaimana kita ketahui, konflik Maluku cukup “bersih” dari sejarah konflik antar agama. Konflik yang terjadi di Maluku sebenarnya dipicu karena adanya pertikaian antara kelompok-kelompok etnis yang berkaitan dengan kepentingan sumber daya alam yang ada di wilayah pertambangan serta pertarungan elit kekuasaan di tingkat lokal yang selanjutnya mengarah menjadi bentrok antar agama. Hingga pada 12 Februari 2002, diadakan perjanjian damai antara pihak-pihak yang berkonflik yang dinamakan dengan Perjanjian Malino II untuk mengakhiri segala bentuk konflik horizontal yang terjadi di Maluku.
Setelah beberapa tahun dilanda konflik, kini stabilitas sosial dan keamanan Maluku telah berada dalam situasi yang kondusif. Masyarakat setempat maupun penduduk pendatang dari berbagai etnis telah berada pada tatanan kehidupan bermasyarakat yang ideal dan jauh dari konflik. Masyarakat Maluku telah menemukan kembali nilai-nilai dan simbol-simbol budaya yang menyatukan mereka dan mencoba untuk merevitalisasinya kembali. Konsep-konsep kearifan lokal seperti Katong Basudara (kita bersaudara), Pela Gandong, Salam-Sarani, Siwalima dan Acang-Obet mulai diaktifkan kembali.
Raja Juli Antoni (mahasiswa program Doktoral The University of Queensland, Australia) dalam studinya tentang Perjalanan Konflik dan Perdamaian di Kota Ambon menyatakan keoptimisannya terkait konflik horizontal masyarakat yang mungkin dapat muncul di Maluku tidak akan lagi bereskalasi seperti yang terjadi pada 1999 lalu. Hal tersebut menurutnya didasari pada dua alasan, yaitu ditemukannya kesadaran individu dan kesadaran institusi keagamaan.
Pertama adalah kesadaran yang berbasis individu, yaitu ketika masyarakat Provinsi Maluku itu pada umumnya sadar bahwa secara keseluruhan mereka adalah korban dalam konflik yang mereka alami. Dengan mendefinisikan diri mereka sebagai korban, secara otomatis muncul semangat kesetaraan dalam upaya menjalin kembali kebersamaan yang tidak lagi berdasarkan dari latar belakang suku maupun agama mereka berasal.
Kedua, konflik telah melahirkan kesadaran institusi keagamaan di Maluku untuk melakukan pembenahan secara sistematis dengan menyusun pembaharuan teologi. Seperti di kalangan Gereja Protestan Maluku (GPM) dengan membangun teologi “Gereja Pro Kehidupan” yang mengkampanyekan nilai-nilai perdamaian dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku juga melakukan terobosan penting dengan mengkampanyekan arti dari pentingnya pluralisme keagamaan yang bersendikan pada pemahaman Islam universal yang terangkum dalam gerakan pembaharuan “Islam Mazhab Ambon”.
Maluku dengan kondisi yang ada saat ini telah bangkit dari segala trauma dengan berbagai kekayaan sumber daya dan keindahan alam Negeri Seribu Pulau. Tidak ada lagi tangis duka, yang ada hanyalah tawa bahagia kedamaian penduduknya.

ale rasa beta rasa, ale senang beta senang…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun