Udah tiga hari saya sakit. Sakit yang biasa, Cuma bibir kering. Ditambah pusing. Ditambah pilek. Ditambah bersin-bersin. Ujung-ujung batuk berdahak. Terus menggigil. Badan jadi panas. Keluar keringet dingin. Hasilnya, udah 4 hari sakit saya yang biasa itu ga berujung. saya pun memutuskan untuk berobat. Harus berobat.
Kebetulan juga, hampir dua tahun jadi mahasiswa, ga pernah nyobain fasilitias klinik mahasiswa yang gratis. Ada yang bilang kurang bagus. Ada yang bilang dokternya masih asal aja. Dsb. Ah.. saya pribadi sih ga perduli. Intinya saya mau nyobain make fasilitas kampus, mengambil hak yang sudah saya tunaikan setiap semester.
Maka siang itu, meski gerimis mengundang, saya paksa diri menuju klinik kampus yang letaknya di depan fakultas kesehatan mahasiswa. Kalo dulu, waktu zaman masih kuliah D3, karena kampusnya bersampingan dengan fakultas kedokteran jadi kalo ke klinik tinggal ‘ngesot’. Kita pun bisa tau siapa aja yang dinas disana.
Pernah suatu hari, seorang teman nge-fans dengan mahasiswa kedokteran. Nge-fans banget.. sampai dia berharap kalau suatu hari sakit dia pingin diperiksa oleh dokter tersebut. Ternyata doanya terkabul. Suatu hari kelas gempar karena dia pingsan. Pingsan di tengah bolong. Siang-siang panas pula, sepanas badan teman saya yang pingsan itu. Ketua kelas dan teman-teman yang lain langsung membawa ia ke klinik mahasiswa.
Sampai di klinik, meski tergulai lemas akhirnya dia sadar. Namun alangkah beruntung dirinya, karena ketika dia sadar dari pingsan dilihatlah wajah dokter pujaan lagi sibuk memeriksan dirinya. Untungnya dia sedang lemah. Kalo lagi sehat, dia bisa jingkrak-jingkrak girang diperiksa si dokter.
Tetapi kegirangan tersebut ternyata hanya sebentar. Karena seketika berubah jadi kaget. kaget ketika sang dokter mengatakan harus memberi obat lewat dubur, “Karena demam yang amat tinggi sampai sekian derajat celcius” begitu kata dokter. Beberapa teman yang mengantar tidak bisa berkata apa-apa. Terserah dokter aja. Sedang si pasien yang sedang lemah, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Meski dalam hati rasanya pingin kabur. *karena dokter pujannya ternyata harus member obat lewat dubur*. Haha
Sejak saat itu, ia tidak mau bertemu dengan dokter pujaannya lagi. Malu setengah mati katanya!
***
Bis kampus mengantarkan saya ke klinik kampus. Agak setengah ragu saya melangkah. Harap cemas khawatir dokter yang sedang dinas laki-laki. Saya berjalan tertatih karena pusing dan hidung meler. Mata bekali-kali mengeluarkan air. panasnya matahari siang itu benar-benar membuat semua yang ada dalam tubuh saya seakan meleleh.
Bahkan hati saya pun, seakan ikut meleleh. Ketika memasuki pagar klinik kampus, saya melihat sepasang pasangan muda yang masih ‘fresf’ berjalan bersama. Perempuannya mengenakan jilbab hijau panjang dan berkaca mata. Laki-lakinya berkemeja putih dan juga berkacamata. Dari cara berjalan dan gaya mengobrol mereka, saya kenal. si laki-laki adalah aktivis senat di kampus kedokteran dulu. Dan si perempuan, juga anak kedokteran satu tahun dibawah saya dan si laki-laki. Intinya, kami bertiga pernah terlibat dalam satu organisasi.
Sambil mengelap-ngelap hidung yang meleleh saya tertegun melihat mereka. Ingin menyapa. Tapi keduanya sedang asyik berjalan bareng dan mengobrol. Sudah nikah ya? Yang melihat mereka pasti akan terbenak begitu. Sampai keduanya berjalan melintasi saya, kami hanya berjarak tidak lebih dari setengah meter, dan saya tidak menyapa mereka.