Saya hanya tertegun melihat keduanya, serasi banget..; sama-sama dokter, sama-sama aktivis, sama-sama berwajah bening, sama-sama kaca mata, dsb. Intinya semua sama-sama. Sampai saya pun akhirnya membuat kesimpulan sederhana : kalo mau punya suami dokter, ya jadi dokter dulu!
Masih di posisi berdiri yang sama. Ada dua menit saya berdiri membelakangi klinik, saya melihat dua pasangan tersebut yang berjalan menuju fakultas kesehatan masyarakat. “pasti lagi kuliah S2” benak saya. Keduanya memang tidak bergandengan, karena masing-masing sibuk membawa buku diktat dan leptop. Tapi keduanya berjalan sangat dekat. Sesekali bahu mereka bersentuhan. Huwaaa! Mereka sudah nikah! Pasti sudah nikah! Ya ampuun..
Bener-bener beruntung keduanya. Saya tau siapa laki-laki itu. Dan saya kenal juga siapa perempuan itu.
Tiba-tiba kepala saya kembali puyeng. Kali ini bukan sekedar flu yang menjadi. Tapi sepertinya ada perasaaan iri. Ketika siluet dua pasangan tersebut menghilang dari mata saya, saya pun kembali berjalan menuju klinik. Berjalan tertatih. Sambil memegang kepala. Kepala saya gak karuan isinya : Ya ampuun.. beneran deh! keren banget pasangan itu. Sumpah! Ternyata mereka berjodoh. Saya jadi pingin pingsan. Si perempuan kan ade kelas saya! Dan dia nikah ama temen saya, si ketua senat yang hebat ituuuu!
Adduuuuh! Kepala semakin puyeng. Saya menepi menuju tembok klinik. Berjalan merambat menggapai kursi. Tiba-tiba tim UGD datang membawa tempat tidur dorong. Bergerak siaga siap menggotong!
“siapkan ruang emergency!’ teriak seorang satpam. Saya pun diboyong kesana.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H