Mohon tunggu...
azti arlina
azti arlina Mohon Tunggu... -

mahasiswi, pedagang, penulis.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menuju Puncak Tertinggi Pulau Jawa

8 Juni 2011   15:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maha Dahsyat 'Sang Mahameru'

Mencapai puncak tertinggi pulau jawa? Sama sekali tidak terbesit dalam hidup saya Kota Malang, 15 Mei 2011 Seperti berada dalam mimpi. Hari itu saya ada di kota Malang, membawa carrierbag, mengenakan sepatu gunung warna hitam bertali hijau tentara, memakai rompi warna krem muda, juga celana army dengan model kantong banyak di kanan-kiri. Sesekali saya berkaca tentang diri saya. Yah, ini mimpi. Tapi beginilah, semuanya berjalan.

Saya naik ke jeep bersama 15 teman lainnya. Kami berdiri di atas mobil tua yang gagah, yang akan mengantar kami membelah kota Malang menuju desa Ranu Pane. Sebuah Desa yang menjadi titik start perjalanan kami menuju gunung Semeru. Aah.. Gunung Semeru? Apa rupa dirimu? "Itu gunung Semeru!" Kata seorang teman sambil menunjuk ke langit depan. Sebuah gunung yang megah terlihat di ujung mata saya. Sesekali menghilang tertutup awan. Sesekali terlihat tegap gagah menggoda, dengan kepulan asap yang indah menyatu dengan awan. Tapi itu jauh sekali. Jauh seperti dalam mimpi. Jeep meluncur hati-hati, naik turun perbukitan melalui medan yang sulit. Lebar jalan hanya dua meter, sehingga Jeep harus pintar mengatur jarak karena kanan dan kirinya ada jurang yang menganga. Terlebih jika dihadapannya ada kendaraan, kami si penumpang, hanya bisa berdoa sekuat tenaga agar jangan sampai ada apa-apa. Namun, semua ketakutan tersebut akan terobati dengan keindahan kanan-kiri lukisan alam. Entah siapa yang mengajarkan si petani yang begitu rapi menata perkebunannya, hingga bukit-bukit itu seperti jajaran permadani hijau dengan motif yang indah. Membuat kamera-kamera kami tak berhenti ingin memotretnya. Desa Ranu Pane, pukul 15.00 : Hujan deras mengguyur. Semua sibuk menurunkan carrier dari Jeep. Kami berhenti tepat di depan kantor administrasi para pendaki, sebuah kantor bercat hijau, di temboknya terpampang relief Gunung Semeru dan sebuah tulisan memotivasi : ' Selamat Mendaki ke Gunung Semeru'.

Setelah ketua tim melaporkan persyaratan administrasi (diantaranya : fotokopi KTP, surat sehat dokter, dan materai Rp.6000), saya dan rombongan sudah boleh melakukan pendakian. Namun cuaca tidak memungkinkan, sehingga kami harus bermalam di Pondok Pendaki malam itu. Malam harinya, saya bertemu dengan para pendaki yang baru tiba dari puncak. Kami bersapa dan bersalaman, "Selamat Mas, Mba! Bagaimana, sehat?" sapa saya berjabat tangan dengan para pendaki memang mempunyai energi tersendiri. Bukan sekedar basa-basi atau perkenalan biasa,  namun seperti bertemu dengan sahabat lama dan saling berbagi energ. Ya, energi agar saya segera bisa menyusul mereka ke puncak Mahameru. Pendakian Terindah, 16 Mei 06.00

Tepat pukul enam pagi, kami berkumpul di halaman pondok pendaki. Semua perlengkapan sudah siap dalam carrier masing-masing. Sebelum memulai perjalanan saya melakukan olahraga kecil untuk pemanasan. Saat itu matahari pagi sangat cerah, menemani semangat kami untuk menuju Mahameru. Sebelum berangkat tak lupa saya abadikan desa yang bersahabat ini ; berfoto dengan background danau Ranu Pane, background bukit-bukit indah, dan tak terlupakan berfoto dengan pemandangan Gunung Semeru yang sangat terlihat jauh.

Empat  jam awal pertama saya harus melewati sebuah bukit dengan medan yang cukup menantang. Saya harus melewati tiga pos dalam bukit tersebut, pos pertama masih berupa jalan setapak yang sudah di batako. Untuk menuju kesana membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Pos kedua medan semakin rumit, beberapa kali jalan tertutup oleh pohon-pohon besar yang tumbang dan bekas longsoran tanah, sehingga saya harus berkonsentrasi melaluinya, karena salah langkah sedikit saja jurang di sebelah kiri siap menangkap. Perjalanan menuju pos kedua lebih jauh dan susah hingga membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sedang pos ketiga, beberapa kali saya harus melewati medan yang terjal. Jalan setapak yang kecil, licin, memaksa saya harus jalan dengan posisi merangkak dan berpegang pada semak-semak. Di pos tiga ini energi saya terkuras, sehingga butuh waktu sekitar dua jam untuk mencapainya. Tapi jauh diujung sana, semua keringat dan kelelahan akan terbayar dengan pemandangan yang indah. Ya, pemandangan luar biasa indah, yang selalu disebut-sebut oleh pendaki sebagai 'Surganya Mahameru'.

Danau Ranukumbolo, pukul 11.00 Seketika dahaga saya hilang tergantikan dengan air kesejukan yang alami, baru kali ini saya merasakan kenikmatan seperti ini. menguyup air langsung dari danau yang sejuk sambil melihat pemandangan indah. Danau ranukumbolo adalah danau yang berada di tengah-tengah bukit. Di ujung timur danau ada dua bukit yang mengapit, sehingga poros ini selalu dinanti para pendaki untuk melihat sunrise di sela-sela dua bukit tersebut. Sedang sebelah baratnya adalah bukit-bukit hijau yang luas. Dari atas bukit, danau Ranukumbolo tak  bedanya dengan mata air kecil yang menyegarkan, semua yang melihatnya dari jauh, akan terpesona dan ingin segera menyuntuh airnya.

Air danau Ranukumbolo selalu tenang, semua orang pasti betah berlama-lama duduk dipinggirnya. Beberapa Nampak asik duduk termenung sambil mendengarkan musik, ada yang sibuk menyiapkan makanan, ada yang memancing, bahkan ada yang berenang. Danau itu milik bersama, semua boleh menggunakannya, dan semua harus merawatnya. Setiap pengunjung yang datang pasti akan mematuhi untuk tidak membuang limbah di danau tersebut. Karena air danau adalah sumber kehidupan semua makhluk bumi disana. Termasuk saya. "syuurpp..." sekali lagi, saya mengambil air sejuk yang jernih itu dengan kedua tangan saya, dan meminumnya.. Tanjakan Cinta dan Oro-Oro Ombo, pukul 13.00 Setelah mengumpulkan energi di Danau Ranukumbolo, perjalanan selanjutnya adalah melewati medan yang terjal dan jauh. Medan tersebut dikenal dengan 'tanjakan cinta', saking menantangnya, mitos pun tersebar disana. Konon, siapapun yang bisa melewati tanjakan tersebut tanpa berhenti dan tanpa melihat ke belakang, maka harapannya akan tercapai. Maka saya dan teman-teman pun segera membuat harapan dan mendaki tanjakan cinta. Meskipun saya tidak percaya dengan mitos tersebut, tapi jujur sebuah nama sempat terbesit dalam hati saya *ehem :P Namun di pertengahan jalan, hampir semua dari kami berputus asa. Tanjakan cinta memang sesuai namanya, penuh perjuangan. Dan saya adalah orang yang pertama menyerah dan membalikkan badan ke belakang. Saya terengah, dan duduk bersandar di rumput-rumput. Teman-teman boleh menyoraki saya, tapi saya terlanjur kagum dengan pemandangan di belakang yang akan saya tinggalkan. Masih tentang  Danau Ranukombolo, yang terlihat sangat apik dilihat dari kejauhan tanjakan cinta. Danaunya berkilau oleh pantulan sinar matahari. Teman-teman yang lain pun tak ingin ketinggalan dengan pemandangan tersebut. Semua membalikkan badan, dan kami menertawai aksi kami sendiri.
Kejutan tak berhenti disitu saja, setelah mencapai tanjakan cinta, bersiap-siaplah dengan pemandangan yang tak kalah memesonanya. Para pendaki menyebutnya 'oro-oro ombo'. Saya lebih senang menyebutnya sebagai Padang Savanna. Sebuah padang luas di tengah-tengah bukit, dengan dihiasi ilalang tinggi yang terjajar rapi. Dari atas bukit ilalang tersebut seperti rambut-rambut yang disisir oleh angin, jika angin bergerak ke barat, maka ilalang itu mengikuti, begitupun sebaliknya. Dengan semangat saya menuruni bukit membelah padang ilalang. Dari kejauhan pemandangan ini pasti sangat cantik, warna kuning keemasan ilalang kontras dengan warna merah seragam saya dan teman-teman. Saya pun mengabadikannya dalam kamera.

Setelah sibuk berpose dengan ilalang, kini saya harus disibukkan lagi dengan sederetan bunga edelweiss yang cantik yang tersebar di kanan-kiri, banyak sekali. Siapa yang tidak kenal bunga ini, bunga abadi yang hanya ada di dataran tinggi. Untuk melangkah saya sangat berhati-hati, tak sudi rasanya kaki menginjak bunga abadi ini. sungguh, berjalan diantara bunga edelweiss seperti berada dalam istana mimpi. Berkemah di Kalimati, pkl 17.00 Matahari sudah setengah turun ke barat, langit sedikit bergerimis, kini saya tiba di sebuah hutan Pinus dengan pohon-pohon yang kurus dan tinggi. Medan kembali sulit dan terjal, saya harus membelah jalan dari semak-semak yang tinggi, akar-akar pohon pinus yang kokoh menjadi pijakan saya melangkah agar tidak licin. Semak-semak liar menjadi pegangan saya agar tidak jauh. Dataran semakin tinggi, oksigen semakin menippis, dan tenaga saya hampir habis. Setiap lima menit sekali saya beristirahat, dan menengadahkan kepala ke atas. Pepohonan pinus yang tinggi seakan memberikan saya kekuatan untuk terus melanjutkan perjalanan. 'sebentar lagi kita sampai pos kemah!" ujar ketua tim memberi semangat.
Selang satu jam kemudian kami tiba di sebuah dataran luas, dataran berpasir yang gersang, namun udara dinginnya tajam mencubit kulit. "Selamat datang di Kalimati..." ujar ketua tim dengan bersemangat. Namun saya dan teman-teman terlanjur terkesima dengan pemandangan di depan mata. Sosok Semeru menjulang tinggi tanpa dihalangi apapun. Tinggi kokoh menggapai awan. Warnanya abu-abu tua dan terpantul sinar matahari emas semakin memberikan kesan megah. "itu puncak Mahameru.. nanti malam kita akan mendaki kesana.." bisik seorang teman, yang membuat saya seketika merinding. Subhanallah.. ini makhlukMu Rabbi.. besar sekali..tinggi sekali...
Pendakian Bersama Bulan, pukul 01.00
Pukul satu malam ketua Tim membangunkan saya, udara dingin pun sempurna menjalar ke sendi-sendi tubuh. Saya mengenakan jaket tiga lapis, kaos kaki tiga lapis, dan sarung tangan tebal. Tak lupa syal dan topi untuk menghangatkan leher dan kepala. Sesuai rencana, malam ini adalah malam puncak. Dimana perjalanan saya dua hari kemarin ditentukan oleh malam ini, apakah akan berhasil mencapai puncak Mahameru? Namun sebelumnya, ketua tim sudah mengingatkan bahwa ini adalah pendakian terberat. Bukan sekedar prestasi atau gengsi. Ketua tim mengingatkan kepada anggotanya yang tidak kuat untuk tidak ikut serta. Beberapa teman yang kurang sehat pun beristirahat di tenda. Perjalanan dimulai. lampu senter menyinari langkah saya. Sebenarnya,, saya sendiri kurang semangat dan pesimis melalui episode ini, karena saya takut gelap, dan fisik saya lemah. Tapi entah kenapa, sinar bulan malam itu sangat terang. Bulan purnama seakan memberikan saya kekuatan dengan cahayanya. Saya pun berjalan di bawah cahayanya yang menyorot dari langit. Ternyata medan tak semudah yang dibayangkan. Saya masih harus melewati semak-semak, kanan kiri ada jurang yang terjal, saya harus merangkak, tarik-menarik dengan teman-teman, dan terengah-engah. Oksigen sangat tipis, udara sangat dingin, tapi kembali pulang ke tenda pun adalah sia-sia, maka saya harus tetap melanjutkan perjalanan. Tak terasa saya sudah mencapai sepertiga di kaki Gunung Semeru. Selanjutnya adalah medan yang paling berat, yaitu berjalan mendaki di atas pasir. Semua pendaki dilarang bertumpu pada batu karena jika batu tersebut jatuh akan mencelakan yang dibawah. Lima menit awal, terus terang saya tidak bisa berjalan di pasir. dua langkah maju ke depan, tiga langkah merosot, turun, sehingga energi saya habis. Belum lagi di kanan kiri ada jurang yang curam. Memaksa saya bukan hanya konsentrasi secara fisik, namun juga emosi. Saya terus berzikir seakan-akan saya siap menghadapi kematian. Lagi-lagi, saya selalu merasa dihibur oleh bulan purnama. Kali ini bulan tidak lagi ada di atas saya, tapi ada di sebelah saya. Ya, posisi yang tinggi membuat saya merasa sejajar dengan bulan. Saya tengok kebawah, perjalanan saya sudah jauh. Sementara angin gunung semakin bertiup dingin, saya menggigil bukan main "Terus bergerak, kalau diam nanti malah dingin!" teriak seorang sahabat. Saya pun kembali merangkak mendaki medan pasir. Beberapa tim kesehatan nampak sibuk di pertengahan menuju puncak, seorang sahabat terkilir kakinya dan mengalami hiportemia.  Badannya dilapis dengan dua sleeping bag, nafasnya dibantu dengan oksigen. Ingin rasanya saya menengok keadaan teman saya sebentar saja, tapi posisi berdiri sempurna saja sangat sulit, dalam hati saya berdoa, semoga diberi kekuatan dan kesehatan.
Puncak Mahameru dan Negeri di Awan, 05.00 Sebenarnya, yang paling dinanti oleh para pendaki adalah bisa tiba di puncak sebelum subuh. Kemudian dalam hitungan mundur mereka akan menyaksikan fenomena alam sang mentari terbit dari ufuk timur. Tapi saya sadar diri, energi tak akan sanggup menyaksikan itu.

Perlahan pun bulan purnama tenggelam, dari ufuk timur langit mulai merah keemasan. Udara tidak terlalu dingin lagi seperti malam hari. Saya pun memilih untuk duduk beristirahat di pasir-pasir. saya membalikkan badan, dan...Subhanallah.. di hadapan saya tampak jajaran gunung-gunung kecil, dan Semeru dikelilingi awan-awan merah. Subhanallah.. cantik sekali.. bibir saya tak henti melafadzkan tasbih.
Saat itulah saya minta seorang teman untuk menunggu sebentar, sementara saya bertayamum dengan pasir Semeru, dan menunaikan sholat subuh disana. "Allahu Akbar..." meski saya sedang berada di gunung tertinggi pulau Jawa, meski gunung-gunung di sekitar saya tampak kecil, tapi Allah Maha Besar, hingga mengantar saya bisa mencapai gunung ini.. Selanjutnya adalah pemandangan-pemandangan yang tak habis-habis. Dari kejauhan kami bisa melihat desa Ranu Pane, kabut Ranukumbolo, juga lapangan luas Kalimati. Kami juga bisa melihat gunung-gunung lain, bahkan gunung Bromo dengan asapnya yang megah.
Setapak demi setapak saya melangkah, meski lelah dan lama tapi saya terus berusaha. Sampai pukul 08.30, akhirnya saya tiba di puncak Mahameru (3.676 mdpl). Semua teman yang sudah tiba duluan menyambut bahagia, saya pun tersungkur sujud penuh syukur. Ketika suasana haru menyelimuti, tiba-tiba suara gemuruh terdengar membahan. 'gruduk..gruduk.." Mahameru pun mengeluarkan asap Wedus Gembel. Semua bersorak, memujiNya, kagum, dan mengabadikan di kamera masing-masing. Desember 40 tahun lalu, asap yang megah itu pernah memakan korban. Soe Hok Gie, seorang aktivis dan intelektual muda Indonesia tewas disana. Namun Hok Gie boleh bangga, karena dia adalah salah satu inspirasi terbesar para pecinta alam Indonesia. Saya salah satunya. Matahari semakin meninggi, saya dan teman-teman segera meninggalkan puncak Mahameru karena khawatir angin gas beracun menuju ke arah kami. Meski hanya beberapa menit di puncak, tapi saya bangga, saya puas, dan saya percaya. Sejak itu, saya tak pernah lagi meremehkan langkah-langkah setapak.

karena ia bisa mengantarkan kita ke puncak tertinggi sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun