Mohon tunggu...
Azryl Baiza Dian
Azryl Baiza Dian Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Undergraduate student at airlangga university

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibalik Warna Kulit, Tersembunyi Luka Penuh Diskriminasi

6 Juni 2024   17:00 Diperbarui: 6 Juni 2024   17:02 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia darurat colorisme. Negara multikultural yang memiliki lebih dari 17000 pulau, 300 kelompok etnis, 1340 suku bangsa  dan negara yang memiliki sekitar 700 bahasa. Sebuah negara yang terbentang keragamannya dari Sabang sampai Merauke. Tapi anehnya, di negara multikultural yang memiliki banyak keragaman ini masih sangat marak sekali asumsi-asumsi bahwa orang yang berkulit lebih terang dianggap lebih baik. Kejadian ini merupakan sikap "colorisme" yang mengasumsikan bahwa warna kulit lebih teranglah yang lebih superior dan mendiskriminasi warna kulit gelap. 

Colorisme sendiri merupakan salah satu bentuk diskriminasi pada warna kulit gelap dan membuat warna kulit lebih terang superior. Sikap ini juga menganggap bahwa orang dengan kulit berwarna lebih gelap diperlakukan tidak sebanding dengan mereka yang memiliki kulit lebih terang. Sangat disayangkan sekali fenomena ini telah menjadi bagian dari budaya standar kecantikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbeda dengan rasisme yang berfokus pada perbedaan ras, colorisme lebih berfokus ke warna kulit seseorang di kelompok etnis yang sama.

Kita adalah spesies yang melihat secara visual, kita merespon satu sama lain berdasarkan bagaimana kita hadir secara fisik dan penampilan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika kita bertemu lawan bicara pertama kali yang dilihat adalah bagaimana fisik lawan bicara tersebut dan bagaimana lawan bicara tersebut berpenampilan. Dengan adanya budaya colorisme, sangat mempengaruhi bagaimana kita bereaksi pada lawan bicara kita. Pada kehidupan sehari-hari, banyak sekali ditemukan bahwa orang menganggap warna kulit lebih gelap dekil, kotor, dan sebutan negatif lainnya. Hal ini juga membuat orang Indonesia terobsesi untuk memiliki kulit yang lebih putih. Padahal kita tinggal di negara tropis yang dimana sangat wajar untuk memiliki pigmen melanin pada kulit kita. Standar kecantikan di Indonesia juga masih menganggap bahwa semakin putih seseorang akan dianggap semakin cantik orang itu. Hal ini juga dipengaruhi dengan maraknya produk kecantikan yang menggunakan model-model iklannya orang berkulit putih. Selain itu, produk kecantikan juga sering kali membawa embel-embel "whitening" supaya bisa menggaet konsumennya. Walaupun sudah banyak produk kecantikan yang menggunakan model kecantikannya dari berbagai macam warna kulit dan sudah banyak produk yang menggunakan kata "brightening" atau mencerahkan, tetapi hal ini tidak mengurangi fakta bahwa masih banyak sekali warga kita yang terobsesi untuk memiliki kulit putih.

Pengaruh budaya luar juga berperan penting dalam fenomena ini. Pada masa kolonialisme negara Barat juga sangat berpengaruh pada pandangan rakyat Indonesia terhadap warna kulit. Standar kecantikan dengan kulit putih sebagai warna kulit yang ideal masih sangat melekat di Indonesia walaupun Indonesia sudah merdeka. Pada masa modern, jika kita lihat bagaimana berkembangnya Industri hiburan dari negara-negara Asia Timur di Indonesia juga mempengaruhi standar kecantikan di Indonesia. Banyak masyarakat yang pandangannya juga terpengaruh dengan kecantikan dan ketampanan artis-artis dari Asia Timur yang terkenal dengan kulit putih, berwajah kecil dan semacamnya. Selain itu, dari budaya barat terutama Amerika juga berpengaruh pada fenomena colorisme di Indonesia. Seperti yang kita tahu bahwa Amerika juga memiliki banyak keberagaman, ada banyak terjadi kejadian rasisme maupun colorisme. Misal, ada beberapa slurs yang dilontarkan untuk orang berkulit hitam, "n word" merupakan salah satu slurs yang biasa digunakan pada orang-orang berkulit hitam dan hanya orang-orang berkulit hitam yang bisa menggunakannya. Di Indonesia sendiri, terutama dikalangan anak muda penggunaan "n word" ini sering dijadikan bahan lelucon. Misal, ketika ada seseorang yang berkulit gelap mereka akan melontarkan "n word" ini sebagai bahan bercandaan walaupun mereka tidak memiliki hak untuk menyebutkan kata itu. Selain itu, beberapa candaan yang sering juga adalah dengan mengejek orang berkulit lebih gelap dengan "Papua". Hal ini, membuat stigma yang tidak baik pada masyarakat di bagian timur sana, dengan terjadinya bercandaan-bercandaan ini semakin memperkuat fenomena colorisme di Indonesia.

Masyarakat Indonesia harus memiliki kesadaran untuk memiliki rasa bangga dengan warna kulit aslinya apapun itu warna kulitnya. Jika tidak colorisme ini bisa terus memperkuat ketidakadilan sosial. Misal, ketika orang dengan kulit lebih terang dianggap lebih superior sehingga mendapatkan lebih banyak kesempatan, akses, respon, dan perlakuan yang lebih baik. Hal ini hanya akan terus diskriminasi terhadap orang-orang dengan warna kulit yang lebih gelap. Kemungkinan terburuknya adalah, orang-orang dengan warna kulit lebih gelap ini akan merasa tertekan, terpuruk atau bahkan dapat mempengaruhi mental mereka dalam jangka panjang. Oleh karena itu, masyarakat harus bisa lebih membanggakan keberagaman kita dan tidak memandang sebelah mereka-mereka yang berwarna kulit lebih gelap. 

Ada beberapa yang bisa dilakukan untuk mengurangi fenomena ini. Misal, masyarakat harus bisa mendapatkan edukasi dan pola pikir bahwa apapun warna kulitnya, kita adalah setara. Perlu sosok publik yang juga bisa mendorong media massa bahwasannya penting untuk menampilkan representasi yang beragam dan inklusif. Selain itu, diperlukannya dorongan untuk mengubah standar kecantikan di Indonesia. Seperti, penggunaan model dengan berbagai warna kulit sehingga bisa mengubah persepsi masyarakat tentang standar kecantikan Indonesia yang saklek pada orang-orang dengan warna kulit yang lebih terang.

Pada intinya, colorisme merupakan permasalahan yang bisa merusak tatanan sosial dan psikologis masyarakat. Indonesia, dengan keanekaragaman budayanya, seharusnya menjadi contoh bagaimana keberagaman bisa diterima. Dengan langkah-langkah yang tepat, perubahan dalam industri media dan kecantikan, serta kesadaran kolektif, kita dapat mengurangi fenomena colorisme dan membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif. 

Referensi : 

https://communication.binus.ac.id/2023/02/03/lazimnya-colorisme-di-indonesia-dan-upaya-menghentikannya/ 

https://kumparan.com/ave-airiza/colorism-ketika-warna-kulit-jadi-standar-kecantikan-indonesia-1tPMnmt7dzl 

https://www.cxomedia.id/general-knowledge/20220731022850-55-175746/colorism-bias-warna-kulit-yang-terlanjur-menjadi-kewajaran 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun