Mohon tunggu...
Azrul Afrillana Awaludin
Azrul Afrillana Awaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga

Membaca, Menulis, dan Mewarnai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Melihat Masa Depan Indonesia dari "TikTok"

13 Mei 2024   07:30 Diperbarui: 13 Mei 2024   09:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, guru saya mengatakan bahwa salah satu cara untuk memprediksi masa depan adalah dengan melihat apa yang terjadi saat ini. Jika seseorang rajin hari ini, kemungkinan besar dia akan sukses di masa depan. Saya mencoba menerapkan nasihat tersebut untuk melihat masa depan Indonesia yang bercita-cita menjadi Indonesia Emas pada tahun 2045. Untuk memprediksi masa depan Indonesia, saya mencoba memotret fenomena yang terjadi saat ini di aplikasi TikTok, salah satu aplikasi yang paling populer dan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Pendidikan yang Diremehkan

Tanpa tahu sumber pastinya, beranda TikTok saya tiba-tiba dibanjiri dengan berbagai konten yang mengecilkan nilai pendidikan. Sejumlah video singkat menyuarakan pandangan bahwa "sekolah tidak penting" atau "kuliah adalah pengangguran dengan gaya". Konten-konten yang mencemaskan ini menyebar dengan cepat dalam jangka waktu belakangan ini. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, para pembuat konten ini adalah bagian dari bonus demografi yang diharapkan mendorong Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini tentunya menjadi kontradiksi antara aspirasi nasional untuk kemajuan dengan realitas pemahaman masyarakat akan peran penting pendidikan dalam pencapaian tujuan tersebut.

Narasi-narasi yang merendahkan nilai pendidikan sering kali terbatas pada sudut pandang materi. Menganggap pendidikan tidak penting hanya karena tidak menjamin kesuksesan materi adalah ironi. Hal ini jelas bertentangan dengan visi para pendiri bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tan Malaka, tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. Ki Hajar Dewantara juga menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebesar-besarnya. Dengan demikian, pendidikan memiliki peran yang jauh lebih luas daripada sekadar pencapaian materi.

Pendidikan memiliki kemampuan yang luas untuk meningkatkan martabat dan kehormatan suatu bangsa. Proses pendidikan telah membuktikan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, di mana para tokoh terdidik memainkan peran yang krusial. Meskipun secara materi mereka mungkin tidak sebanding dengan pejabat saat ini, namun mereka dikagumi dan disegani di dunia internasional karena intelektualitas dan kontribusi mereka. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan memiliki dimensi yang lebih luas daripada sekadar pencapaian materi; ia berperan dalam membentuk karakter, meningkatkan kecerdasan, dan mengembangkan kemampuan untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan negara.

Matinya Kepakaran

Pendegradasian terhadap nilai-nilai pendidikan menyebar seperti efek domino, memicu munculnya gerakan anti-pakar yang merendahkan otoritas keilmuan. Seperti yang diungkapkan oleh Tom Nichols dalam bukunya "The Death of Expertise", revolusi digital, media sosial, dan internet, tanpa diimbangi dengan literasi yang memadai, justru menjadi sumber masalah. Saat ini, kita hidup dalam era di mana setiap orang dianggap sebagai kritikus, dan setiap orang memiliki platform untuk berbicara, terlepas dari kualifikasi dan keahliannya dalam topik yang dibahas. Anonimitas di balik layar memungkinkan individu untuk menyerang para pakar tanpa harus membuktikan latar belakang atau pendidikan mereka. Kepakaran yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman tidak lagi dihargai sepenuhnya dalam lingkungan ini.

Fenomena matinya kepakaran seperti ini dapat diamati di platform TikTok. Seorang Guru Besar dapat dipertanyakan mengenai keilmuannya oleh individu yang tidak berani menunjukkan identitasnya (dibaca: anonim). Orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang ekonomi bisa dengan mudah menyuarakan pandangan konspiratif mengenai peristiwa ekonomi global, dan yang lebih menyedihkan, banyak yang percaya pada pandangan tersebut. Ketika para pakar dan sains diabaikan, tentunya hal ini bertentangan dengan praktik yang umum dilakukan di negara-negara maju, yang merupakan cita-cita bagi negara ini.

Partai Politik yang Tak Mendidik

Banyak partai politik yang berupaya memanfaatkan TikTok sebagai wadah untuk menjangkau Generasi Z yang berada di platform tersebut. Namun, ironisnya, mereka tidak menjalankan amanat Undang-Undang tentang Partai Politik yang mengharuskan mereka untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Alih-alih memberikan edukasi, partai politik ini cenderung hanya memprioritaskan popularitas dengan menghasilkan konten-konten jauh dari kata mendidik. Mereka terfokus pada jumlah tayangan dan jumlah like tanpa memperhatikan dampak dari konten yang mereka publikasikan.

Visi-misi untuk mencerdaskan bangsa yang sering disuarakan terkadang hanya menjadi retorika kosong. Sebaliknya, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam mewujudkan visi tersebut justru terlibat dalam memelihara kebodohan masyarakat. Prioritas mereka tampaknya lebih condong kepada keberlangsungan partai politik daripada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Pendekatan Struktural Bukan Personal

Permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan memerlukan reformasi sistem pendidikan secara menyeluruh. Pendekatan personal dan himbauan moral dari pemerintah tidak akan cukup mengatasi masalah ini karena akar masalahnya adalah struktural. Jika hal ini diabaikan, bonus demografi hanya akan menjadi angka-angka kosong dan cita-cita untuk menjadi Indonesia Emas di masa depan akan menjadi sekadar khayalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun