Pergolakan politik nasional dalam suhu hangat, cenderung memanas terkait pesta rakyat dalam ritual demokrasi yang diselenggarakan tiap-tiap lima tahun sekali (Pemilu). Dewasa kini, perjuangan politik telah dekat pada titik balik penemuan essensi. Kecenderungan bias gender antara politisi perempuan dan kaum pria tidak begitu menonjol meskipun pada praktiknya belum sepenuhnya.
Persoalan lain, yakni kiprah politik terhadap isu kerakyatan semakin hari semakin sering terdengar, tetapi tanpa realisasi memadai. Undang-undang terkait yang mengatur bagaimana mestinya partai politik membangun peradaban bangsa, kemandirian rakyat skala nasional, dan menjamin terjadinya representasi kepentingan rakyat semakin bias dan kabur.
Persoalan elitisi yang menelan banyak ruang dan waktu seolah menjadi hidangan getir yang mau tidak mau, suka atau tidak, harus di terima rakyat secara keseluruhan tanpa sparasi golongan. Ini faktual, terjadi di berbagai wilayah negeri. Rakyat hanya berfungsi sebagai mesin penggerak pemilu, itupun sebatas pemilih (voters), tidak lebih.
Dalam catatan ini, penulis tidak bermaksud menghakimi bahwa partai politik tidak berpihak pada rakyat. Sebagai contoh, tentu beberapa partai penulis puji dan layak mendapat apresiasi karena mencanangkan program kasat mata yang berpihak pada rakyat. Sebut saja Golkar dengan program ekonominya, PAN dengan program serupa, Gerindra, dan juga partai lainnya.
Buku yang berada di tangan pembaca ini bukan hasil imajinasi penulis, bukan ajang mencari sensasi, juga bukan parade citra dan popularitas. Ini bermula pada suatu sore yang cerah, penulis diundang rekan, ia memperkenalkan diri sebagai penggiat Corporate Social Responsibility (CSR), undangan tersebut merujuk sebuah acara penganugerahan terhadap para pahlawan lingkungan (green heroes), juga di dalamnya terdapat penghargaan bagi instansi pendidikan, perusahaan-perusahaan skala besar, dan bahkan institusi negara seperti Kantor Kementerian.
Singkatnya, penghargaan itu diberikan kepada pelaku CSR terbaik dalam soal penghijauan, untuk itu acara tersebut diberi nama CSR Green Award. Akan tetapi, ada yang mengganjal dalam hati, acara seperti ini, program yang persis sama dengan penyelenggara yang sama juga, membincang CSR, dan berulang kali memperoleh penghargaan, faktanya ada kesalahan tafsir mengenai CSR. CSR, dalam praktiknya tidak lebih dari sekedar charity, program amal.
Realitas yang harus di bangun adalah bahwasannya kegiatan CSR merupakan tindakan berkelanjutan, usaha untuk kemandirian masyarakat melalui berbagai isu kehidupan, tidak saja lingkungan, tetapi juga ekonomi. Indonesia, sangat mungkin menjadi Negara berkembang yang mandiri. Boleh saja sebagian bidang kita tertinggal, tetapi dalam kontek kemandirian ekonomi rakyat kita harus maju. Politik, seyogyanya sebagai ranah kontrol kehidupan Negara yang teratur. Sehingga dapat di pahami jika keberadaan politik sewajarnya menjadikan Negara lebih tertib, seluruh rakyat terakomodasi disegala kebutuhan.
Politik, kaitannya partai politik dan politisi. kehadiran partai politik bukan hanya pada saat pemilihan umum semata. Tetapi, parpol memiliki kebutuhan untuk eksis dalam jangka panjang, sehingga diperlukan srategi membangun reputasi, ukan citra, setidaknya mirip dengan perusahaan. Partai melakukan tanggung jawab sosial, anggap saja partai politik membangun sebuah komunitas ekonomi, koperasi masyarakat, bagi masyarakat akan memudahkan mereka untuk mengembangkan ekonomi skala kecil menengah, bagi parpol, akan mendapat sokongan suara di berbagai kegiata, baik itu saat pemilu maupun di luar pemilu.
Bahasan lebih lanjut dapat dibaca dalam buku "Komunikasi CSR Politik", tersebar di seluruh toko buku Gramedia :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H