Merakyat. Kata tersebut selalu dilekatkan oleh tim kreatif kampanye Joko Widodo. Betulkah istilah tersebut benar-benar melekat pada diri seorang calon presiden petahana tersebut?
Media sebagai sarana otokritik untuk mengupas fenomena secara tajam dan kritis, nampaknya tidak benar-benar menjalankan perannya. Hal tersebut, dapat dilihat dari realitas media mainstream (arus utama) malah sibuk jadi pencitraan rezim.
Tumpulnya daya kritik media sebagai sosial kontrol sosial politik, akhirnya menjerumuskan diri kedalam lumpur media partisan.
Pertanyaannya kemudian, seberapa kuat pencitraan Jokowi dengan model pencitraan akan berhasil? Salah seorang pengamat media, Yons Achmad menyebut narasi Jokowi akan patah dan mudah dipatahkan.Â
Para perancang pencitraan presiden mungkin bekerja siang malam. Mencitrakan tuan presiden yang sederhana dan merakyat. Tapi, kalau sampai "Overdosis", yang terjadi justru sebaliknya. Bisa menjadi pukulan balik.
Apa gunanya citra merakyat dan sederhana. Suka blusukan di sawah, sementara beras masih impor, BBM terus naik, listrik terus naik, sementara daya beli masyarakat tak pernah ada usaha perbaikan menjadi lebih baik?Â
Pengamat Asing Membongkar Skenario Otoriter JokowiÂ
Model pemerintahan Joko Widodo dinilai banyak bertolakbelakang dengan pencitraannya. Hal tersebut, bisa dilihat dari publikasi dan artikel yang membongkar siasat buruk Joko Widodo.
Matthew Busch dalam artikelnya berjudul Jokowi's Panicky Politics yang ditulis di laman Majalah Public Affairs, tekanan politik untuk mempertahankan kekuasaan membuat Joko Widodo berubah menjadi seorang pemimpin yang menggunakan bebagai instrumen negara untuk menghabisi lawan politiknya.
Para pengamat asing menunjuk tindakan menggunakan instrumen hukum untuk  menekan lawan politik, membubarkan HTI melalui peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), pembubaran berbagai aksi gerakan #2019GantiPresiden, dan pelibatan kembali militer dalam  politik  sebagai  indikator perubahan arah dan gaya  pemerintahan Jokowi.Â
Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam artikel berjudul "Indonesian democracy: from stagnation to regression menulis Joko Widodo terbukti menjadi pemimpin yang tidak sabar dan reaktif. Dia dengan mudah tersentak oleh ancaman politik untuk mempertahankan posisi politiknya
Tim Lindsey dari University of Melbourne dalam artikelnya berjudul Jokowi in Indonesia's 'Neo-New Order' di laman EastAsiaForum.org, menyebut Jokowi sebagai neo Orde Baru. Lindsey menyoroti kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, meningkatnya penggunaan tuduhan kriminal palsu untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan aktivis antikorupsi dan meningkatnya pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka narkoba.Â
Mengapa para pengamat asing sangat khawatir kecenderungan perubahan pemerintahan Jokowi meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi, dan mengambil jalan otoriter. Â Sebuah artikel terbaru yang ditulis oleh Tom Power seorang kandidat PhD dari Australian National University (ANU) mengungkap secara rinci. Berdasarkan hasil diskusinya dengan sejumlah pengamat, termasuk dari Indonesia, Power berkesimpulan "Jokowi bertindak dengan cara yang tidak liberal atau anti-demokrasi. Ini adalah hasil dari kepekaan politik yang sempit, pemikiran jangka pendek dan pengambilan keputusan secara ad hoc," tulisnya. (Baca lebih lengkap alasan Jokowi disebut otoriter disini)
Membaca sejumlah kritik pengamat asing terhadap pola otoritarian Joko Widodo mencoba membuka topeng pencitraan Joko Widodo.Â
Setelah mayoritas publik mulai terbentuk nalar kritisnya melihat sejumlah realitas dan fenomena sosial politik Joko Widodo. Di level tersebut, kesadaran warga (pemilih) untuk tak lagi tertipu dengan janji dan citra palsu. Pada ranah kajian inilah media harus menjalankan perannya sebagai sosial kontrol.Â
Sumber:Â
https://www.rmol.co/read/2018/11/12/365934/Pengamat-Asing:-Jokowi-Berubah-Menjadi-Otoriter-
http://www.newmandala.org/jokowis-authoritarian-turn/
https://www.rmol.co/read/2018/02/18/327076/Saatnya-Media-Bongkar-Pencitraan-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H