Tangga digunakan sebagai sarana untuk memasuki rumah panggung ini. Anak tangganya berjumlah ganjil, lima anak tangga, merupakan bentuk ekspresi keyakinan mereka. Seluruh dinding luar Lontiok miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, terkadang disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding. Oleh karena itu, rumah ini terlihat seperti perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung atau selembayung. Sementara sayok lalanganmerupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasannya beragam, misalnya menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, atau taji.
3).Bagian dinding luarÂ
 Bagian dinding luar dari rumah lontiok berbentuk miring ke luar seluruhnya, ementara dinding bagian dalamnya tegak lurus. Balok tumpuan untuk dinding luar juga melengkung ke atas, kadang-kadang menggunakan sambungan ukiran di bagian sudut-sudut dinding, hingga terlihat mirip dengan perahu.Rumah Lontiok saat ini sudah mulai jarang ditemukan karena sudah mulai termakan usia dan sudah mulai terlihat tidak terawat.
4).Lantai rumah lontiok
 Lantai biasanya terbuat dari kayu medang atau punak, tiang terbuat dari kulim atau punak, jendela, dan dinding terbuat dari kayu-kayu sejenis. Pada masa dahulu, bagian atap dibuat menggunakan ijuk, rumbia, atau daun nipah.
5).Pintu masuk rumah terhubung dengan anak tangga yang digunakan oleh anggota keluarga untuk dapat masuk ke dalam rumah.
Sayangnya, pada saat ini, rumah yang merupakan peninggalan leluhur masyarakat Kampar itu hanya tinggal lima buah, itu pun kondisinya saat ini memprihatinkan.
Tokoh pemuda desa Kuok yang aktif di organisasi Daya Desa Kuok, Fitrah Giring, mengatakan dari lima rumah lontiok yang tersisa hanya tiga yang masih cukup terawat dan dijadikan obyek wisata. Satu di antaranya dijadikan homestay, sementara dua lainnya menjadi tempat wisata kebudayaan. Sementara dua sisanya kini kondisinya sangat memprihatinkan.
 Masyarakat Kampar mulai meninggalkan rumah lontiok setelah dibangunnya PLTA Koto Panjang Riau, yang membuat mereka tidak takut lagi dengan terjadinya banjir. Pasalnya, rumah lontiok sebelumnya memang didesain untuk bisa beradaptasi dengan kondisi alam yang tidak terduga seperti banjir.
Setelah merasa aman dari ancaman banjir, masyarakat mulai membangun rumah-rumah dari batu dengan gaya arsitektur modern dan mulai meninggalkan rumah lontiok. Saat ini, Fitrah dan kawan-kawannya sedang berusaha untuk memperbaiki rumah-rumah lontiok di desa Kuok sebelum nantinya benar-benar punah dimakan zaman.
Namun mereka menemui berbagai kendala, salah satunya sulitnya bahan baku. Rumah lontiok terbuat dari kayu-kayu panjang tanpa sambungan dan tanpa paku, sementara untuk menemukan kayu dengan kualitas seperti itu saat ini sangat sulit.
Jenis kayu yang digunakan untuk bangunan rumah lontiok adalah kayu-kayu keras yang dapat bertahan lama. Di antaranya kayu kulim, terembesi, resak, atau kayu punak. Lantai biasanya terbuat dari kayu medang atau punak, tiang terbuat dari kulim atau punak, jendela dan dinding terbuat dari kayu-kayu sejenis. Pada masa dahulu, bagian atap dibuat menggunakan ijuk, rumbia, atau daun nipah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H