Kedua, sosok Capres bersaing melawan Prabowo tidak memiliki magnet yang tinggi seperti Jokowi. Ganjar digadang-gadangkan  sebagai rival melawan  Prabowo berpotensi tidak diusung PDI Perjuangan. Begitu juga sosok Capres lain seperti Anies, Ridwan Kamil dan lainnya terkendala partai pengusung dan mudah dipatahkan dengan isu-isu ketidakpantasan menjadi pemimpin Indonesia.
Ketiga, dominan pemilih 2024 adalah generasi milenial, generasi Y dan ditambah generasi Z. Pemilih tersebut miskin sejarah dan kurang pemahaman substansi reformasi. Kelompok pemilih tersebut akan terpengaruh propaganda propaganda membangkitkan kembali kejayaan Soeharto. Terbukti, Â tokoh presiden mahasiswa dengan lantangnya bicara di media bahwa Soeharto presiden yang berhasil membangun kesejahteraan dan kebebasan. Ini disebabkan miskinnya sejarah pada generasi milenial dan Gen Y serta Z.
Siapa Prabowo, siapa Tutut, siapa Tommy,  sepertinya pemilih di Pemilu 2024 tidak peduli. Substansi Reformasi sudah mulai meredup.  Atas tindakan korupsi dan kediktatoran semasa rezim Orde Baru selama 32 tahun, itu  bisa direbranding oleh anak dan cucunya serta kroni-kroninya di medsos sebagai sosok presiden yang bisa bikin rakyat hidup enak semasa kepemimpinannya.
Hal tersebut tetbukti berhasil dibangun oleh Bongbong pada pemilihan presiden Filipina 2022. Kemenangan ini disebut tak lepas dari peran TikTok dan generasi muda yang tidak tahu pemerintahan diktator Marcos.
Keluarga Cendana dan Prabowo sudah tahu strategi di era Revolusu 4.0. Logistik mereka pun melimpah. Â Dinasti Soeharto hidup kembali sudah terbuka di depan mata.
Pertanyaan, apakah Indonesia rela di 2024 dipimpin oleh keluarga rezim koruptor? Kaum reformis, Â jangan hanya menunggu keajaiban sebelum Indonesia terjadi juga seperti di Filipina!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H