Presiden RI Joko Widodo membuka peluang kepada aktivis '98 untuk mengisi jabatan menteri. Hal itu disampaikan Jokowi pada Acara Halal Bi Halal Presiden Republik Indonesia Bersama Aktivis '98 Â di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, hari Minggu tanggal 16 Juni 2019.
Ada 3 alasan melandasi Jokowi membutuhkan Aktivis 98 dalam pemerintahannya. Pertama, Aktivis '98 adalah pelaku sejarah. Pada 21 tahun yang lalu, sejarah mencatat sebuah gerakan mahasiswa menumbangkan rejim Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto yang berkuasa dari tahun 1966 hingga 1998.
Mahasiswa menuntut reformasi, yaitu perubahan sistem segala bidang  dalam membangun tatanan berbangsa dan bernegara Indonesia Baru keluar dari cara sistem Orde Baru yang sentralistik, militeristik dan KKN (Korupsi,Kolusi dan Nepotisme). Selama 1 tahun lebih mahasiswa melakukan aksi mimbar bebas dan turun ke jalan di kampus-kampus yang memakan korban dikalangan mahasiswa. Akhirnya pada pagi hari tanggal 21 Mei 1998, Presiden Jenderal Soeharto mengundurkan diri setelah gelombang massa mahasiswa berbagai perguruan tinggi menduduki gedung MPR/DPR dengan taruhan nyawa. Â
Sejarah besar itu dihormati Jokowi yang sekarang menduduki posisi sebagai Presien RI. Sejarah besar itu, Jokowi menyadari bahwa dirinya bisa menjadi Presiden RI karena adanya reformasi yang dilakukan para aktivis '98 tersebut. Â
Kedua, potensi kekritisan yang ada pada diri aktivis '98. Jokowi menginginkan jika ia ditetapkan sebagai presiden terpilih semua harus berani mengevaluasi dan mengoreksi yang masih harus dikerjakan, kekurangan, serta pekerjaan yang harus diselesaikan.
Potensi itu sangat besar dimiliki para kalangan Aktivis '98. Selain perlawanan Aktivis '98 pada pemerintahan Soeharto yang ABS (Asal Bapak Senang) juga lahir dari sebuah koreksi terhadap permasalahan berbangsa dan bernegara yang saat itu menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial, ketidakadilan, ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa (Jawa Centris), dan tingginya pelanggaran HAM.Â
Berdasarkan kondisi tersebut membuat mahasiswa pada saat itu bersikap kritis dan berani melakukan evaluasi total serta tuntutan perubahan. Stigma yang melekat pada mahasiswa sebagai generasi hedonis, akhirnya terbantahkan. Mahasiswa berani mempertaruhkan nyawanya menuntut reformasi yang sangat tabu dibicarakan pada saat itu. Orang yang punya keberanian mengkritisi dan melakukan evaluasi total lah yang bisa melakukan reformasi dan mustahil reformasi lahir karena pola pikir datar-datar saja (book thinking) dan bermental inferior. Â
Ketiga, Â Jokowi membutuhkan sosok eksekutor yang kuat dan berkarakter dalam mengeksekusi setiap keputusan yang sulit dalam kondisi apapun. Potensi itu sangat ada pada aktivis '98. Generasi '98 adalah generasi yang masih muda dan belum terkontaminasi penyakit masa lalu yang memandang kekuasaan sebagai sebuah jabatan feodal yang berperilaku lalim, dan ingin dihormati sehingga malas bekerja ke bawah. Perlawanan terhadap sistem feodal dan pemimpin di belakang meja itu menjadi agenda perlawanan para aktivis '98 untuk menuntut perubahan paradigma kepemimpinan yang melayani rakyat dan bekerja turun kebawah.
Sosok kepemimpinan Jokowi adalah model kepemimpinan yang dicita-citakan oleh Aktivis '98 Â dalam memimpin pemerintahan yang melayani, egaliter, sederhana, dan tidak malu terjun ke bawah meskipun dia orang nomor satu di Indonesia. Mustahil seorang eksekutor akan berkarakter kuat jika bermental feodal.
Aktivis '98 yang ditempa dalam kondisi pemerintahan Orde Baru yang menakutkan dengan taruhan nyawa sudah terbiasa menghadapi kondisi sesulit apapun dalam membuat keputusan. Maka pada periode pemerintahan Jokowi nanti, Aktivis '98 adalah mitra yang tepat dalam memajukan Indonesia. Bak gayung bersambut.
Politik Ningrat
Pemerintahan Jokowi ke depan akan dikerubuti oleh elit-elit politik. Tak pelak lagi dari kalangan anak elit politik pun akan mengambil posisi strategis di pemerintahan Jokowi. Â
Bermodal nama besar orangtuanya menjadi nilai bargaining untuk mengisi jabatan-jabatan politik di kabinet Jokowi nanti. Lobi-lobi politik sudah mulai dilakukan. Alasan rekonsiliasi dan konsolidasi merupakan celah untuk masuk ke pemerintahan Jokowi ditengah kekisruhan politik ketika pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Sandi menggugat hasil Pemilihan Presiden yang diumumkan oleh KPU tanggal 21 Mei 2019. Â
Perlawanan dalam semangat reformasi selain membasmi korupsi dan kolusi juga membasmi pemerintahan yang nepotisme. Ketika Soeharto mengangkat anaknya Siti Hardijanti Rukmana sebagai Menteri Sosial RI pada Kabinet Pembangunan VII tahun 1998, sehingga menambah nyala api besar menuntut reformasi dan pelengseran Soeharto. Â
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungan politik atas dasar motif balas budi dan transaksi kekuasaan bukan berdasarkan kemampuannya. Fenomena ini sedang trend muncul pada saat sekarang ini ketika para elit-elit politik yang sudah tua memposisikan anak-anaknya mengisi posisi strategis di dalam pemerintahan Jokowi.
Praktek nepotisme sangat terlihat pada suatu pemerintahan berupa politik dinasti, yaitu politik yang indentik dengan sistem kerajaan dengan melakukan  pewarisan kekuasaan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar tetap berada di lingkaran kekuasaan.
Anak-anak ningrat elit politik inilah yang sekarang menjadi bayang-bayang mengincar pemerintahan Jokowi kedepan. Sedangkan Jokowi sendiri menjauhkan anaknya dari kancah kekuasaan dan bagi-bagi kue. Keteladanan ini lah membuat salah satu faktor rakyat memilih Jokowi sebagai presiden RI agar tidak gentar lagi membasmi nepotisme. Â Â
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 bahwa nepotisme merupakan sebuah pelanggaran hukum. Persoalannya adalah pelanggaran hukum ini dibiarkan begitu saja tanpa ada kepastian hukum untuk penanganannya. Sampai saat sekarang ini sejak undang-undang itu berlaku belum ada penanganan kasus nepotisme dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Â
Dengan kondisi politik ke depan yang begitu kuat dari pihak rival Jokowi melakukan delegitimasi pemerintahannya maka bukan suatu hal mustahil kehadiran anak-anak ningrat politik tersebut mendapat jatah kekuasaan. Jokowi bisa jadi akan kewalahan membawa pemerintahannya jika tidak mengakomodir kepentingan elit tua yang masih haus kekuasaan tersebut. Bagi mereka, kekuasaan itu adalah sebuah gengsi tertinggi yang harus diwariskan kepada anak cucunya seperti merasa negara ini adalah milik nenek-moyangnya. Â
Pola pikir dan mental kuno ini menjadi tantangan aktivis '98 untuk bisa bersaing dengan anak-anak politik ningrat tersebut dalam ikut berkiprah memajukan Indonesia pada pemerintahan Jokowi. Meski demikian, Jokowi berulang kali menyatakan bahwa pemerintahannya 5 tahun kedepan tidak punya beban politik. Menurut Jokowi, pihaknya selalu melihat seseorang sesuai dengan kapasitasnya.
Saatnya Aktivis '98 tampil "gila" sebagaimana gilanya mereka ketika mempertaruhkan nyawanya pada 21 tahun yang lalu mengkritisi permasalahan nasional dalam melakukan perubahan untuk kemajuan Indonesia.
Ayo, Aktivis rebut kekuasaan 2019! "Kami Siap" bukan sekedar slogan dan hanya berkesan ingin berkuasa tetapi tidak memberi nilai tambah kepada kemajuan Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan 21 tahun yang lalu. Aktivis '98 harus singkirkan para benalu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H