Mohon tunggu...
AZNIL TAN
AZNIL TAN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Koordinator Nasional Poros Benhil

Merdeka 100%

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesaksian Penawaran Proyek Pemulihan Nama Baik Soeharto Tahun 1999

25 Mei 2016   18:17 Diperbarui: 26 Mei 2016   03:38 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas Kesaksian Gerakan Mahasiswa ''98

Sejarah mencatat, bahwa  Soeharto jatuh oleh mahasiswa '98.  Aksi pendudukan gedung DPR RI sejak tanggal 18 sampai 21 Mei 1998 memaksa presiden terkenal diktator itu mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan tertinggi di negara ini. Pada pukul 10.00 WIB, tanggal 21 Mei 1998 di Istana Negara secara resmi Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden RI  yang baru 2 bulan dijabat untuk ke 7 kalinya.

Lengsernya Soeharto disambut sorak-sorai mahasiswa seluruh Indonesia. Gegap-gempita ini terlihat para mahasiswa menceburkan dirinya ke  kolam yang ada di halaman  Gedung DPR sebagai ungkapan kemenangan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Ada juga mahasiswa meluapkan ekspresinya dengan  mencukur rambut sampai botak. Mahasiswa terharu karena tidak menyangka perjuangannya berhasil juga menjatuhkan tirani yang 32 tahun berkuasa tak tersentuh oleh kekuatan apapun. Sosok Presiden yang 32 tahun berkuasa sangat ditakuti oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Presiden yang 32 tahun berkuasa sudah dianggap sosok manusia setengah dewa dan dikultuskan sebagai putra satu-satunya terbaik dimiliki Indonesia yang berjasa besar atas pembangunan Indonesia di segala bidang. 

Sebuah gerakan yang dibangun secara spontan dan polos ditengah kesadaran mahasiswa yang begitu rendah atas pemahaman bernegara serta tingginya sikap apatis (masa bodoh) mahasiswa pada permasalahan nasional. Hampir sebagian besar rakyat Indonesia waktu itu pesimis memandang gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang tidak akan mampu menjatuhkan Soeharto. Dukungan dari elit-elit politik dan tokoh nasional pun kecil bahkan tidak ada berani terang-terangan memberi dukungan pada aksi mahasiswa tersebut. 

Adapun muncul kekuatan elemen-elemen masyarakat lainnya pada saat itu tapi bergerak secara sendiri-sendiri  tanpa sebuah skenario atau konsep yang sama. Hampir sebagian besar rakyat takut untuk bicara kritis kepada pemerintahan Soeharto karena trauma pada peristiwa sebelumnya yang disikat habis oleh sang Tirani Soeharto sebagaimana terjadi seperti dari tragedi pembantaian 1965-1966, peristiwa Malari, DOM Aceh, Petrus, Peristiwa Tanjung Priok dll sampai peristiwa 27 Juli Diponegoro.  Tapi siapa  menduga akhirnya gerakan mahasiswa '98 menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang berhasil menumbangkan Soeharto. 

Aksi kebangkitan mahasiswa ini dimulai sejak 1997 ketika krisis moneter melanda Indonesia. Meski tidak secara terang-terangan menuntut Soeharto turun tetapi sebagian besar orang sudah bisa membaca arah gerakan mahasiswa ini. Dengan kegagapan politik mahasiswa tapi secara percaya diri bergerak setiap kampus mereka masing-masing membangun kesadaran rakyat bahwa perlu perubahan mendasar dari keterpurukan Indonesia akibat sistem yang dibangun oleh rejim Soeharto yang otoriter, korup,  diktator serta pro pemilik modal besar (kapitalis). Secara bertahap para aktivis '98 membangun kekuatan mahasiswa untuk melakukan penolakan sistem Orde Baru yang sudah terbukti gagal total. 

Dengan pendekatan diskusi, para aktivis '98 melakukan forum diskusi dan mimbar bebas di kampus bahwa sistem dibangun oleh rejim Soeharto telah mengakibatkan krisis moneter, kesenjangan sosial antara si miskin dengan si kaya, pengangguran yang tinggi,  ekonomi rakyat dikebiri,  hukum bobrok, tanah-tanah rakyat dirampas, hutan-hutan habis dibabat, hasil kekayaan alam dijarah, hak asasi manusia dibunuh, demokrasi mati, pemerintah yang korup  serta berbagai permasalahan busuk lainnya membuat Indonesia hancur.

Seperti "pedagang obat", kami memulai melakukan aksi mimbar bebas di kampus yang disaksikan dari jauh sebagian besar mahasiswa-mahasiswa di gedung atas kampus karena dianggap aneh saat itu. Ibarat teori bola salju, gerakan kami lakukan terus  mengelinding semakin membesar dan kencang. Kesadaran mahasiswa semakin tumbuh dan solidaritas satu perjuangan semakin terbentuk.

Begitu kencangnya teriak mahasiswa pada tanggal 15 April 1998, Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan dilarang melakukan aksi turun ke jalan. Bagi mahasiswa yang turun kejalanan akan ditembak, demikian informasi kami dengar.

Pada tanggal 18 April 1998, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mencoba membujuk mahasiswa dengan  mengadakan dialog bersama mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun sebagian besar mahasiswa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi  menolak dialog tersebut.

Di kampus Universitas Mercu Buana, kami pada tanggal 24 April 1998 dengan memberanikan diri menuju ke Istana untuk menyerahkan "Deklarasi Meruya" yang ditandatangani oleh ratusan mahasiswa UMB yang berisi 5 Tuntutan Mahasiswa. Pertama, turunkan harga barang. Kedua, hentikan berbagai bentuk kekerasan oknum ABRI terhadap aksi moral dan intelektual mahasiswa serta masyarakat. Ketiga, laksanakan reformasi secara total. Keempat, keluarkan daftar kekayaan pejabat. Kelima, lakukan dialog 'Mahasiswa-Presiden.

Kemarahan mahasiswa semakin memuncak ketika pada tanggal 1 Mei 1998, Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003 meski pada tanggal 2 Mei Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (1998). 

Dipicu kenaikan BBM melonjak tajam hingga 71% pada tanggal 4 Mei 1998 disusul tiga hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal. Dari tanggal 5-12 Mei 1998 beberapa kampus melakukan aksi lebih berani dan turun ke jalan. Aparat keamanan gabungan ABRI dan polisi membubarkan  aksi mahasiswa turun ke jalan tersebut dengan pentungan dan senjata.

5 Mei 1998 terjadi Tragedi Meruya Berdarah di kampus UMB, Tragedi IKIP Jakarta (UNP Jakarta), Tragedi Cimanggis di kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya dan berbagai kampus lainnya yang mengakibatkan mahasiswa luka tembak dan cedera akibat pentungan rotan serta mengalami iritasi mata akibat gas air mata.

Puncaknya pada tanggal 12 Mei Tragedi Trisakti, di mana 4 mahasiswa Universitas Trisakti meninggal setelah ditembak oleh aparat keamanan pada saat melakukan aksi long march menuju gedung DPR Senayan yang akhirnya menyulut Kerusuhan Mei 1998.

Eskalasi gerakan mahasiswa semakin meninggi. Tragedi Trisakti menyatukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk melakukan aksi bersama yang sebelumnya bergerak sendiri-sendiri di setiap kampus dan cenderung ego kampus. Dari hasil pertemuan rapat berbagai kampus baik mewadahi lembaga formal (FKSMJ) maupun lembaga non formal (Forkot) menyepakati pada tanggal 18 Mei 1998 untuk menduduki gedung DPR RI.

Hidup matinya perjuangan mahasiswa ditentukan pada saat itu. Mahasiswa siap menjadi martir perubahan jika dibantai oleh rejim Soeharto seperti yang terjadi di Tiananmen tahun 1989 di Cina. "Dimanapun tirani berada harus tumbang", demikian bunyi semboyan kami. Mahasiswa tidak akan meninggalkan gedung DPR RI sebelum 1 syarat perubahan belum dipenuhi, yaitu "Soeharto Harus Turun dari  tampuk kekuasaannya". Soeharto telah menjadi publik enemy (musuh bersama). 

 

Kesaksian Penawaran Proyek Politik Pemulihan Nama Baik Soeharto

Dari kejadian itu membuktikan bahwa mahasiswa adalah musuh Orde Baru. Para loyalis Soeharto masih kuat bercokol dan memegang pundi-pundi keuangan Indonesia sampai saat ini terus berupaya melemahkan makna dan keluhuran gerakan mahasiswa '98. Tanpa malu-malu dan dengan suara lantang  mengusulkan Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional oleh kekuatan partai warisan Orde Baru dan  partai pecahannya.

Bagi saya tidak aneh .Gerakan ini sudah saya rasakan sejak 1999 dimana saya sudah mendapatkan tawaran dari pihak keluarga Cendana untuk memulihkan nama baik Soeharto. Sebagai salah seorang aktivis '98 di UMB, saya dibujuk untuk memulihkan nama baik Soeharto. Saya diminta mengajak mahasiswa untuk sholat Jumat bersama Soeharto di Cendana dan lalu melakukan konferensi pers bahwa Mahasiswa '98 meminta maaf kepada Soeharto atas kekeliruan mahasiswa menurunkannya.  Sebagai imbalannya, Mr. P menyuruh saya untuk  membuka showroom Kedaung di Pondok Indah, Jakarta Selatan. 

Tapi proyek politik ini saya tolak.  Banyak yang menyayangkan sikap saya tersebut karena dianggap bodoh telah menyia-nyiakan peluang untuk menjadi kaya raya. Saya dianggap terlalu idealis karena paska Soeharto lengser beberapa kekuatan politik dan gerakan jalanan saling berpacu-pacu menjilat pihak Cendana mendapatkan dana sedangkan saya menyia-nyiakan peluang yang sudah terbentang lebar itu. 

Bagi saya menjaga konsistensi gerakan mahasiswa '98 adalah nilai tertinggi dan tidak bisa dibayar sebesar apapun. Saya tidak akan pernah mengkhianati gerakan mahasiswa yang dibangun dengan darah dan air mata oleh para mahasiswa dan rakyat. Saya pun tak akan menghentikan jutaan harapan rakyat Indonesia untuk keluar dari tatanan bernegara dan berbangsa yang busuk dibangun oleh Soeharto dimana sampai sekarang ini masih kuat membudaya.  

Tekad saya sudah bulat untuk membentuk bangsa  Indonesia sejahtera dan keluar dari penderitan menimpa bangsa ini dari generasi ke generasi. Peran negara harus hadir untuk itu dan saya tidak boleh melemahkan tujuan tersebut lalu membenarkan sistem dibangun Soeharto. 

Atas munculnya gerakan mengusulkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sudah bisa ditebak sebuah proyek besar dimainkan oleh keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Sebuah proyek yang  penuh transaksi dan taburan uang. Bukan sebuah aspirasi yang lahir dari sebuah keinginan murni dan penilaian objektif. Tetapi sebuah proyek politik penghapusan dosa-dosa Soeharto serta bertujuan membangkitkan kembali faham dan kejayaan Orde Baru dalam kancah politik.

Untuk itu, mahasiswa harus waspada adanya upaya para broker politik memanfaatkan  kemurnian gerakan mahasiswa memberi proyek politik mengusung Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Bagi pihak Cendana, nama baik adalah segala-galanya dan seberapa pun harganya akan siap dibayar. Uang bagi keturunan Soeharto bukan persoalan. Dalam tradisi Orde Baru penggunaan kekuatan uang untuk mencapai tujuan adalah hal yang lumrah.  Dalam prinsip Orde Baru bahwa dengan uang semua bisa diatur. 

Kesaksian ini saya buat  pada tanggal 25 Mei 1998 di Jakarta dengan sesungguhnya dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai bukti sejarah dalam menyikapi atas kencangnya usulan gelar Pahlawan diberikan kepada Soeharto dan demi menjaga keluhuran gerakan mahasiswa '98.

Hormat saya,

AZNIL, ST

Presidium Nasional PENA '98

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun