Mohon tunggu...
Aznina AmadiaQurrotul
Aznina AmadiaQurrotul Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis, Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Pemotongan Gaji Tapera: Sejauh Mana Kewajiban dan Kepentingan?

21 Juni 2024   17:17 Diperbarui: 21 Juni 2024   17:30 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) memang telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan belakangan ini. Inisiatif pemerintah ini memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu memberikan akses terhadap perumahan yang layak bagi semua lapisan masyarakat. Namun, terdapat polemik yang cukup signifikan terkait dengan kewajiban dan manfaatnya bagi para pekerja. 

Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah terkait pemotongan gaji untuk Tapera. Sistem ini mengharuskan para pekerja untuk menyetor sebagian dari gajinya ke dalam tabungan Tapera sebagai kontribusi mereka untuk memiliki akses terhadap perumahan yang layak. 

Meskipun tujuannya mulia, pemotongan gaji ini sering kali menimbulkan perdebatan karena di satu sisi dianggap sebagai beban tambahan bagi pekerja yang mungkin sudah memiliki keterbatasan dalam hal keuangan, namun di sisi lain pemotongan ini dianggap sebagai investasi jangka panjang yang berpotensi memberikan manfaat besar bagi masa depan mereka. Namun, bagaimana sebenarnya kewajiban dan manfaatnya bagi pekerja? Mari kita kupas polemik di balik pemotongan gaji untuk Tapera.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ada 9,9 juta masyarakat Indonesia yang masih belum memiliki rumah. Angka yang menggugah ini mengindikasikan adanya masalah serius dalam sektor perumahan. Inilah yang mendorong pemerintah untuk memperluas jangkauan Tapera dari sebelumnya hanya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi juga untuk pekerja mandiri dan swasta. 

Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menyediakan akses lebih luas terhadap pembiayaan perumahan bagi beragam lapisan masyarakat, mengatasi ketimpangan dalam akses perumahan yang masih menjadi persoalan utama.

Diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016, Tapera menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dalam mengimplementasikan program ini. Dalam konstitusi yang mengatur perumahan dan kawasan permukiman, Tapera dijelaskan sebagai bagian penting dari solusi untuk menangani masalah perumahan di Indonesia. 

Melalui ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, Tapera bertujuan untuk memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi para pekerja agar dapat memiliki akses yang lebih baik terhadap perumahan yang layak. 

Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memperkuat struktur sosial dan ekonomi negara. Dengan demikian, peran Tapera tidak hanya sebagai instrumen kebijakan, tetapi juga sebagai salah satu pilar dalam membangun fondasi yang kokoh bagi kemajuan pembangunan perumahan dan pemukiman di Indonesia.

Presiden Jokowi mengakui akan adanya pro dan kontra terkait kebijakan tersebut, seperti yang juga terjadi pada pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional untuk golongan peserta non penerima bantuan iuran yang dibayari pemerintah. Meskipun pada awalnya terdapat beragam pandangan, termasuk pro dan kontra, terhadap kebijakan tersebut, Jokowi meyakinkan bahwa seperti halnya dengan program sebelumnya, setelah berjalan dan masyarakat merasakan manfaatnya, segalanya akan berjalan lancar. 

Presiden menegaskan bahwa perdebatan terhadap kebijakan Tapera harus dilihat sebagai bagian dari proses menuju penyempurnaan dan efektivitas program, dan keyakinannya adalah bahwa manfaat jangka panjang dari kebijakan tersebut akan terbukti nilainya seiring berjalannya waktu.

Polemik muncul terutama terkait dengan kewajiban pemotongan gaji untuk Tapera. Menurut Ketua BP Tapera, hanya pekerja dengan pendapatan di atas upah minimum yang harus membayar kontribusi Tapera. 

Namun, ini membuat beberapa pihak bertanya-tanya, sejauh mana adilnya pemotongan gaji ini? karena meskipun kebijakan tersebut dirancang untuk tidak membebani pekerja berpendapatan rendah, ada kekhawatiran bahwa batas upah minimum tidak memperhitungkan perbedaan biaya hidup di berbagai daerah. Selain itu, beberapa pekerja merasa bahwa kontribusi tersebut menambah beban finansial di tengah tingginya biaya hidup dan kebutuhan sehari-hari yang terus meningkat. 

Di sisi lain, para pendukung kebijakan ini berargumen bahwa Tapera merupakan langkah penting untuk menjamin ketersediaan perumahan yang layak bagi pekerja, dengan harapan bahwa kontribusi ini akan memberikan manfaat jangka panjang bagi mereka yang berpartisipasi. 

Meski demikian, transparansi dalam pengelolaan dana Tapera dan kepastian akan manfaat yang diterima pekerja tetap menjadi tuntutan utama yang diharapkan dapat dijawab oleh pemerintah dan BP Tapera untuk meredakan kekhawatiran dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini.

Tapera sendiri merupakan perpanjangan dari Bapertarum yang lebih dulu ditujukan untuk ASN. Bapertarum, yang selama ini telah melayani kebutuhan perumahan bagi Aparatur Sipil Negara, telah memberikan kontribusi signifikan dalam membantu ASN memiliki rumah sendiri. 

Dengan diperluasnya cakupan menjadi Tapera, langkah ini tidak hanya menunjukkan upaya pemerintah untuk terus memperbaiki dan meningkatkan program perumahan bagi ASN, tetapi juga sebagai langkah progresif untuk mencakup lebih banyak lapisan masyarakat. Perluasan cakupan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih luas, sehingga masyarakat umum, tidak hanya ASN, dapat merasakan dukungan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan perumahan mereka. 

Melalui Tapera, pemerintah berusaha untuk mewujudkan pemerataan kesempatan bagi seluruh warga negara dalam memiliki rumah yang layak huni, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Namun, apakah hal ini juga memunculkan beban finansial tambahan bagi pekerja dengan pendapatan rendah?

Sementara Tapera memegang tujuan mulia untuk memberikan akses perumahan yang layak bagi semua, pemotongan gaji yang diwajibkan bagi pekerja menimbulkan polemik. Pemotongan ini dianggap memberatkan bagi sebagian pekerja, terutama mereka yang berpenghasilan rendah, yang mungkin merasa tertekan oleh kewajiban tambahan ini di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Penting untuk terus menganalisis sejauh mana kewajiban ini adil dan seberapa besar manfaat yang diperoleh oleh peserta Tapera. 

Sebagai contoh, perlu dievaluasi apakah kontribusi yang diambil dari gaji pekerja sebanding dengan manfaat perumahan yang diterima, serta bagaimana program ini dapat diakses secara merata oleh semua kalangan pekerja, termasuk mereka yang berada di sektor informal. Selain itu, transparansi dalam pengelolaan dana Tapera sangat krusial untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa dana yang dikumpulkan benar-benar digunakan sesuai dengan tujuan program. 

Diskusi terbuka dan transparan tentang implementasi program ini sangat dibutuhkan untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan dalam upaya menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia. Hanya dengan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan, mulai dari pekerja, pengusaha, hingga pemerintah, kita dapat menemukan solusi yang optimal dan berkelanjutan untuk tantangan perumahan yang dihadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun