Postingan blog ini akan membahas kasus di mana 45 orang Rohingya, semuanya pria, terdampar di Pantai Kuala Idi Cut, Aceh Timur. Laporan dari UNHCR mencatat bahwa ini adalah gelombang kedatangan orang Rohingya ke-10 dalam satu bulan terakhir, dengan jumlah pengungsi di Aceh mencapai 1.608 jiwa, termasuk 140 orang yang bertahan dalam satu tahun terakhir.
Namun, kedatangan orang Rohingya ke Aceh lebih dari sekadar statistik, dengan sentimen negatif warganet Indonesia yang marak di media sosial. Narasi kebencian dan hoaks soal Rohingya menjadi bahan pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Di saat yang sama, seorang nelayan di Aceh mengatakan, "Kalau ada musibah [di laut], wajib kita tolong."
Mengapa pernyataan sederhana dari seorang nelayan Aceh itu begitu berarti? Mengapa para nelayan ini begitu terobsesi untuk menolong orang-orang etnis Rohingya bahkan di tengah sentimen negatif yang berkembang?
Sejarah Aceh dan Rohingya
Aceh memiliki hubungan kultural dan historis yang dekat dengan masyarakat Rohingya, yang berasal dari wilayah Rakhine, Myanmar. Seorang peneliti, Dedi Dinarto, dalam sebuah studi di 2019, menunjukkan bahwa Aceh dan Myanmar memiliki hubungan perdagangan yang intens sejak awal abad ke-16.
Kontak lebih intens terjadi ketika tentara kolonial Inggris membawa buruh Rohingya dari wilayah Rakhine ke Aceh pada tahun 1940-an dan 1950-an. Setelah itu, hubungan antara Aceh dan Rohingya semakin terjalin, terutama melalui jalur perdagangan dan haji.
Solidaritas Sebagai Bagian dari Budaya Aceh
Solidaritas adalah bagian integral dari budaya Aceh. Konsep "gotong-royong" atau kerja bersama-sama untuk tujuan yang lebih besar adalah sifat bawaan dalam komunitas Aceh. "Gotong-royong" ini terlepas dari etnis dan agama, dan orang Aceh dikenal sangat menghargai keterlibatan dalam kegiatan sosial untuk kesejahteraan masyarakat.
Keterikatan ini masuk akal mengingat daerah Aceh selalu mengalami bencana alam dan hampir selalu terkena dampak dari konflik bersenjata selama 30 tahun. Akibatnya, rasa solidaritas dan perjuangan untuk bertahan hidup telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Aceh.
Jauh sebelum Rohingya datang ke Aceh, masyarakat Aceh telah mengalami banyak kemiskinan dan konflik. Itu sebabnya, ketika narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya berkembang, sebagian besar masyarakat Aceh merasa bahwa mereka juga mengalami situasi yang sama dan merasakan empati terhadap kondisi yang mereka alami.
Semua Orang Berhak Dilindungi
Meskipun Aceh telah menaruh hati kepada etnis Rohingya, masih ada tantangan yang dihadapi dalam membantu para pengungsi. Beberapa kelompok ekstremis memanfaatkan tragedi ini untuk menyebarkan kebencian, hoaks, dan propaganda yang salah terhadap Rohingya.
Namun, nilai-nilai budaya yang baik, seperti solidaritas dan peduli terhadap sesama, tetap dipertahankan dan diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Kita harus terus mengingat bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan, keamanan, dan hak asasi manusia yang sama.
Mudah-mudahan, masyarakat Indonesia dapat meniru sikap para nelayan Aceh untuk tetap menjadi manusia dan menunjukkan rasa kemanusiaannya, terlepas dari perbedaan etnis dan agama. Terakhir, sikap seperti ini memperlihatkan bagaimana Indonesia memiliki sumber daya kemanusiaan untuk membantu meredakan krisis kemanusiaan global dan memajukan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H