Sebenarnya saya sudah mau bikin janji dengan teman untuk nonton konser Denny Caknan di Tuban. Tanggal 12 ini. Walau saya sudah menawarkan konser Gilga Sahid saja sebagai era baru campur sari, tapi pilihanya tetap Mas Denny. Dia dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa timur. Baru pulang S3 di Eropa. Dosen kelas pemikir, intelktual. Sudah punya publikasi internasional. Memang kalau saya dosen juga, namun kelas "tukang" karena beda karya. Saya sudah terlanjur hybride di wiraswasta. Tidak lah mengapa, yang penting sama sama suka musik campur sari. Seperti pepatah tiongkok "tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus" (pepatah Tiongkok). Mohon maaf juga jika pepatah ini menurut anda tidak nyambung hehehe.
Tapi rencana nonton konser itu bakal tertunda. Mau dicarikan jadwal lainya sebagai pengganti. Karena saya baru saja membeli dua buku. Saya harus selesaikan dulu membacanya. Seperti dendam harus dituntaskan. Yang membikin saya serasa kestrum adalah buku ini "TELADAN DARI TIONGKOK".Â
Mendengar judulnya saya sudah serasa kena covid 19, buka karena asal covid 19 dari sana. Tapi karena tiongkok adalah negara "ter", apa pun yang ter adalah tiongkok. Terbanyak jalan tollnya, terbanyak mahasiswanya kuliah di Amerika Serikat, ada 250,000 orang mahasiswa asal tiongkok. Mau tahu jumlah mahasiswa Indonesia di Amerika? 8,500 orang, Turki 100,000 orang.
Tiongkok tercepat pertumbuhan ekonominya, terbanyak dan tercepat kereta cepatnya, terbanyak bandaranya, tercepat mengatasi kemiskinan dan apa saja anda juga mungkin tahu.Â
Meskipun latar belakang saya Jepang, pernah tinggal di jepang, pernah bekerja di Jepang pun pernah kuliah juga, di universitas terkenal pula. Walau bagaimanapun saya membela Jepang tetap saja Jepang tidak akan bisa menyamai Tiongkok.Â
Setidaknya Tiongkok tidak pernah kecolongan Carlos Goshn heheheh (anda juga tahu ceritanyakan). Walau juga kita tidak bisa menafikkan dua negara ini sama sama punya karakter pekerja keras.Â
Satu banding satu, kalau dengan kita Indonesia mungkin satu banding tiga, artinya satu orang Tiongkok bisa menyelesaikan pekerjaan mungkin orang kita butuh tiga orang, heheheh (nuwunsewu). Untuk itu kita bisa menemukan keunikan dari Tiongkok dalam buku ini, hingga dia bisa menjadi super power seperti sekarang.
Bagi saya, buku ini menarik untuk dibaca. Baru saja saya membacaya tiga sub BAB. Setidaknya saya pernah sekali membacanya sebelum ini. Karena tulisan tulisan dalam buku ini pernah ditulis dalam catatan harian Dahlan Iskan di harian Disway. Saya fans nya Pak Dahlan Iskan, setiap pagi sebelum jam tujuh pagi saya pasti sudah membaca tulisan Pak Dahlan, dan itu sudah sejak lama. Bahasanya medsos sekali. Bisa diterima oleh semua kalangan pembaca tanpa pandang umur.
Sepertinya buku sedetail ini tentang Tiongkok belum ada. Karena pak Dahlan melakukan sendiri, mengalami sendiri dan menulis sendiri. Mengalami yang ada di tiongkok dan sekaligus mengalami apa yang ada di Indonesia dan perbandingan itu beliau ceritakan dengan bahasa yang detail dan dapat dimengerti semua kalangan. Tentu buku ini akan mengandung pembelajaran bagi generasi muda dalam membangun Indonesia kedepanya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H