Ada beberapa penyebab kesenjangan upah, berikut diantaranya.
1. Budaya Patriarki yang Masih Kental
      Sylvia Walby (1990) mendefinisikan patriarki sebagai suatu sistem, dimana struktur sosial dekendalikan atau didominasi oleh laki-laki. Dalam bukunya Theorising Patriarchy (1990), Sylvia Walby mengidentifikasi setidaknya ada enam sumber sumber kontrol patriarki, ada tiga hal yang setidaknya masih: Pertama, pada sektor pekerjaan yang dibayar, biasanya perempuan mengalami eksploitasi di tempat kerja dan kesenjangan upah (gambar ), glass ceiling atau cenderung tidak dipromosikan. Kedua, budaya, yaitu kecenderungan menempatkan perempuan dalam tempat yang berbeda, seperti masih adanya norma sosial yang menganggap kepala rumah tangga harus diisi oleh laki-laki (table, lampiran).
Ketiga, kekerasan terhadap perempuan (meskipun memiliki tren turun tapi angka kekerasan masih tinggi), salah satu ciri masyarakat patriarki adalah ancaman kekerasan laki-laki terhadap perempuan, salah satu cara perempuan dikendalikan oleh laki-laki (tabel, lampiran), dan Keempat, negara masih patriarki, rasis, dan kapitalis, yang ditunjukkan dengan masih sedikitnya upaya untuk meningkatkan posisi perempuan di ranah publik (tabel, partisipasi perempuan di pemerintahan masih rendah dan masih jarangnya penegakan peraturan tentang kesetaraan (tabel, kekerasan terhadap perempuan masih belum sepenuhnya ditegakkan).
2. Pemerintah yang Masih Setengah Hati dalam Memperjuangkan Kesetaraan Upah
Pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengubah sebagian substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan juga mengatur beberapa hal baru, adalah suatu kemunduran dalam upaya penyetaraan gender di Indonesia. Terdapat beberapa substansi yang berpotensi menghambat upaya penyetaraan gender di Indonesia, padahal Indonesia berkomitmen untuk mencapai kesetaraan gender.poin penambahan dalam Omnibus Law yang berpotensi melanggengkan kesenjangan upah adalah pada pasal 88B, yaitu terdapat upah hasil dan upah waktu, upah hasil merupakan upah yang penerapannya berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan, sedangkan upah hasil merupakan upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati, dalam UUK hal tersebut dicantumkan.
 Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Pada pasal 88B Omnibus Law, pasal tersebut masih ambigu, berikut bunyi lengkapnya: (1) Upah ditetapkan berdasarkan: a satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada pasal 88B diatur sistem pengupahan yang merugikan perempuan. Perempuan memiliki kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki, hal tersebut tidak bisa dibantahkan, namun pasal tersebut akan merugikan perempuan. Jika perempuan cuti karena melahirkan, haid, atau kondisi biologis perempuan lainnya, jika mengacu pada peraturan tersebut, pada dasarnya, pasal 88B ayat 1 poin (b) akan bertentangan dengan poin (a), sehingga perempuan tidak akan mendapatkan kesetaraan upah dengan laki-laki karena kondisi biologis yang berbeda.
Kesimpulan
       Kesenjangan upah masih terjadi di Indonesia. Penyebab dari kesenjangan upah cukup kompleks, yaitu lingkungan sosial budaya yang masih melanggengkan patriarki, hingga peraturan pemerintah yang masih belum mempertimbangan aspek biologis perempua sehingga peraturan tersebut masih diskriminatif terhadap perempuan. Namun pada akhirnya, kita menyadari kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan merupakan permasalahan yang kompleks, dan tidak akan cukup jika dijelaskan pada tulisan ini. Namun, dalam beberapa kasus justru pemerintah menghambat adanya kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan.
Mencapai kesetaraan upah bukan semata-mata untuk tujuan kosong semata, kesetaraan upah adalah fundamental untuk mewujudkan Indonesia sesuai apa yang telah diamanatkan di Konstitusi Indonesia. Tercapainya kesetaraan upah adalah hal yang pantas untuk dirayakan, oleh karena itu, diperlukan edukasi mulai dari tingkat yang terkecil, dan juga pembentukan kebijakan yang melibatkan perempuan, sehingga aspek-aspek kebutuhan  perempuan dapat terpenuhi, dan kesetaraan upah dapat tercapai.
Kesenjangan upah lahir dari gender inequality, yang akhirnya merambah ke ranah ketenagakerjaan. Kesenjangan upah adalah salah satu dari banyak permasalahan tentang gender inequality. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus menempatkan persamaan gender sebagai salah satu isu utama, karena dari pembuatan kebijakan pemerintah belum memaksimalkan pemecahan masalah kesenjangan upah.