Mohon tunggu...
Moh. Ulul Azmi
Moh. Ulul Azmi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa yang suka minum kopi, sesekali aja nulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gender Inequality: Ketimpangan Upah dalam Ketenagakerjaan di Indonesia

28 Januari 2022   20:42 Diperbarui: 29 Januari 2022   22:42 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskriminasi upah muncul karena laki-laki memiliki lebih banyak waktu untuk sekolah daripada perempuan. Jika rata-rata wanita dibayar seolah-olah dia laki-laki, dia akan mendapatkan wF* dolar. Jumlah diskriminasi diperoleh melalui (wF* - wF). Singkatnya dapat dijelaskan sebagai berikut: laki-laki dan perempuan mungkin memiliki tahun sekolah yang sama, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa perempuan akan sama produktifnya dengan laki-laki, karena mungkin dipengaruhi oleh laki-laki lebih termotivasi untuk bekerja, sehingga efek koefisien bukan karena diskriminasi tetapi karena perbedaan produktivitas yang tidak teramati antara laki-laki dan perempuan.

Lebih lanjut, Oaxaca Decomposition menjelaskan, selama kita masih percaya ada suatu diskriminasi yang lazim, yangmana diskriminasi tersebut dapat mempengaruhi proses pra-pasar antara laki-laki dan perempuan, selama itu pula ketimpangan upah masih akan terjadi.

Kembali ke gambar 1 misalnya, dalam gambar dijelaskan bahwa mungkin saja ada kemungkinan seorang perempuan tidak melanjutkan pendidikan karena hambatan diskriminatif yang ada di pasar tenaga kerja. Dalam artian teori ini berpendapat bahwa pemberi kerja tidak bertanggung jawab atas adanya perbedaan tingkat Pendidikan antara laki-laki dan perempuan, melainkan masyarakatlah yang haarus bertanggung jawab, karena diskriminasi terkecil yang ada di masyarakat sangat berpengaruh pada diskriminasi-diskriminasi yang akan dialami perempuan selanjutnya.

Gender Equality dan Persamaan Upah dalam Ketenagakerjaan

Jika menilik pada sejarah, para pendiri bangsa sebenarnya sudah mengamanatkan persamaan gender, yaitu melalui Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia, yaitu pada sila ke-5, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Lebih lanjutnya, UUD 1945 pada Pasal 27, mengamanatkan kesamaan kedudukan setiap warga negara dan menentang adanya diskriminasi.

Kemudian ada beberapa upaya untuk memperjuangkan gender equality oleh Indonesia, yaitu: Pertama, pada tahun 1979, dilaksanakan siding umum PBB yang mencetuskan pentingnya pengakuan terhadao hak-hak perempuan dengan mengadopsi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEADAW), Indoensia meratifikasi CEADAW melalui UU No. 7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita. Kedua, Indonesia ikut serta dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan IV di Beijing tahun 1995 yang dihadiri 189 negara, yang kemudian diimplemntasikan dengan Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Keharusan Melaksanakan Percepatan Pengarusatamaan Gender (PUG) di Perencanaan/Penganggaran di Semua Sektor Pembangunan.

Ketiga, Indonesia berkomitmen untuk menjalankan Sustainable Development Goals, yaitu visi pembangunan global yang disepakati oleh para pemimpin dunia untuk tahun 2030, SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target, salah satu agendanya adalah kesetaraan gender. Keempat, dalam Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, mengamanatkan bahwa peningkatan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak merupakan salah satu jalan mencapai Indonesia yang adil dan demokratis.

Secara spesifik, pemerintah telah mengamanatkan persamaan upah untuk laki-laki dan perempuan dalam konstitusi, yaitu: Pertama, UU No. 80 Tahun 1957, yang merupakan pendukung atas ratifikasi Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951, tentang engupahan Sama bagi Buruh Laki-laki dan Perempauan untuk Pekerjaan yang Sama. Kedua, UU No. 21 Tahun 1999, yang merupakan pendukung ratifikasi Konvensi ILO No. 111 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Pekerjaan. Ketiga, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1988 tentang Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Wanita. Keempat, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1989 tentang Larangan PHK bagi Pekerja Perempuan yang Menikah, Hamil, dan Melahirkan, Kelima, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1989 tentang Pedoman Mempekerjakan Pekerja Perempuan Malam Hari.

Keenam, Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. 02 Tahun 1991 tentang Memberikan Keleluasaan bagi Pekerja Perempuan yang Menyusui Anak. Ketujuh, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1996 tentang Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Perempuan dalam Peraturan Perusahaan, Ketujuh, Surat Keputusan bersama antara Ditjen Binawas dan Ditjen Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan No. 22 Tahun 1996 dan No. 202 Tahun 1996 tentang Kekurangan Gizi pada Pekerja Perempuan.

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan yang cukup, yaitu melalui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Namun pada 2020 lalu, disahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 (Omnibus Law), menambah dan/menghapus substansi UU. No. 13 Tahun 2003. Penambahan yang berpotensi mengamini kesenjangan upah, yaitu adanya upah hasil dan upah waktu yang terdapat pada pasal 88B. Menurut Disnakertrans NTB, upah hasil merupakan upah yang penerapannya berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan, sedangkan upah hasil merupakan upah yang ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati, dalam UUK hal tersebut dicantumkan.

Kesenjangan Upah di Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun