Mohon tunggu...
azmi sirajuddin
azmi sirajuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Sejak di bangku sekolah senang dengan dunia penulisan

Bekerja di oganisasi non-pemerintah dan menetap di Sulawesi Tengah. Juga bergiat sebagai jurnalis lepas.penerjemah lepas dan peneliti lepas. Berkonstrasi pada isu-isu lingkungan hidup, perlindungan masyarakat lokal dan masyarakat adat, serta hak azasi manhsia, Di level nasional, bergiat pula di organisasi non-pemerintah, tepatnya di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebagai Dewan Nasional WALHI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Revisi RTRWP Sulawesi Tengah Berperspektif Kebencanaan

26 Desember 2020   12:05 Diperbarui: 26 Desember 2020   12:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Revisi, Koreksi dan Peninjauan Kembali

Tanpa terasa, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah Tahun 2013-2033 sudah berusia lima tahun. Terhitung sejak ia ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 8 Tahun 2013 pada tahun 2013 silam. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maupun Peraturan Menteri (PERMEN) Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah, peninjauan kembali dapat dilakukan paling sedikit satu kali dalam lima tahun, atau setidaknya lima tahun setelah RTRW tersebut diundangkan.

Walaupun istilah "revisi" tidak dipergunakan di dalam ketentuan perundang-undangan tersebut, namun substansi "revisi" termaktub dalam makna "peninjauan kembali" terhadap RTRW. Peninjauan kembali terhadap RTRW (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) adalah upaya untuk melihat kesesuaian antara RTRW daerah setempat dengan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika pembangunan serta pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Pelaksanaan peninjauan kembali terhadap RTRW dilakukan melalui metode pengkajian, evaluasi dan penilaian. Pengkajian di sini dimaksudkan untuk melihat pelaksanaan tata ruang terhadap kebutuhan pembangunan. Adapun evaluasi dimaksudkan untuk mengukur kemampuan RTRW sebagai acuan dalam pembangunan daerah. Sedangkan penilaian dilakukan untuk menentukan rumusan rekomendasi hasil revisi atau peninjauan kembali.

Sesungguhnya, spirit dari revisi terhadap tata ruang ialah koreksi atau perbaikan sebahagian maupun keseluruhan dari pelaksanaan tata ruang yang mengacu kepada RTRW yang telah ditetapkan melalui produk hukum dan politik pemerintah, dalam rangka mewujudkan penataan ruang yang berkeadilan terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, jika mencermati PERMEN Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional terkait Peninajuan Kembali RTRW, maka visinya pun ditujukan untuk perbaikan.

Perspektif Kebencanaan

Terkait dengan RTRW Provinsi Sulawesi TengahTahun 2013-2033 yang sudah memasuki usia lima tahun sejak ia ditetapkan dan disahkaan, kini waktunya bagi pemerintah provinsi dan DPRD untuk bersikap. Oleh karena itu, desakan publik serta pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mendorong pemerintah daerah melakukan revisi RTRW Provinsi. Salah satu alasan utama mengapa revisi RTRW diperlukan di Sulawesi Tengah adalah kerentanan "bencana ekologis".Bencana ekologis disebabkan oleh rapuhnya daya dukung serta daya tampung lingkungan di suatu wilayah, akibat eksploitasi yang destruktif dan terus menerus berlangsung. Sehingga kualitas lingkungan menurun dan memburuk, mengakibatkan terganggunya siklus pelayanan alam kepada manusia dan mahluk hidup lainnya.

Dalam kajian yang lebih komprehensif, bencana ekologis dapat terjadi akibat konversi lahan yang berlebihan dan tanpa kontrol untuk industri ekstraktif, seperti pertambangan dan perkebunan besar. WALHI Sulawesi Tengah mencatat bahwa hingga tahun 2017, sekitar 640.000 hektar lahan di daerah ini sudah dibebani perizinan perkebunaan besar dan monokultur, terutama sawit. Selain itu, sekitar 1 juta hektar lahan di daerah ini sudah pula dibebani perizinan pertambangan, umumnya tambang bijih besi dan nikel.

Dengan karakteristik pemanfaatan ruang seperti itu, maka bencana ekologis mudah terjadi di daerah ini. Misalnya, lokasi pertambangan yang berdekatan dengan pemukiman, dapat membahayakan penduduk, serta berisiko memproduksi bencana ekologis. Contoh bencana ekologis yang dapat diproduksi dari aktivitas pertambangan ialahpolusi udara debu galian maupun dari asap kenderaan pengangkut materil yang hilir mudik. 

Di masa depan, bencana ekologis berpotensi terjadi jika eksploitasi tambanag emas di Poboya Kota Palu benar-benar terlaksana. Mengingat lokasi pertambangan ini cuma berjarak tujuh kilometer dari Kota Palu. Selain itu, lokasi tambang emas di Poboya juga berdampingan dengan sumber air bersih warga Kota Palu. Apalagi, beberapa waktu lalu sempat ditemukan penggunaan bahan berbahaya seperti merkuri di lokasi pertambangan.

Perkebunan monokultur seperti sawit, juga berpotensi memproduksi bencana ekologis. Misalnya, karena ia bersifat monokultur maka dapat mengganggu kesuburan tanah, sehingga tidak memungkinkan tanaman produksif lainnya tumbuh di bawahnya atau di sekitarnya. Di Desa Taronggo Kecamatan Bungku Utara, Morowali Utara, perkebunan sawit mengepung pemukiman hingga ke belakang rumah warga. Untuk menanam sebatang cabe pun tidak memungkinkan lagi, karena cabe tidak dapat tumbuh atau tumpang sari di bawah pohon sawit. Bukan hanya itu, pohon-pohon sawit ditanam sampai ke pinggiran Sungai Salato. Ketika terjadi banjir musiman di sungai ini, pohon sawit yang berakar serabut justru menjadi penghambat peresapan air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun