Salah satu teman saya tiba-tiba menelpon. Ia mengatakan bahwa ia baru saja datang dari Jakarta dan sekarang sedang berada di Yogyakarta. Ia mengajak saya untuk ngopi sore di daerah Utara kota Yogyakarta. Tanpa pikir panjang saya mengiyakan ajakannya, itung-itung silaturrahmi dan saling berbagi pengalaman.
Sebelum saya menuliskan cerita lebih jauh, izinkan saya mengenalkan ia kepada para pembaca. Ia adalah teman kuliah saya dulu. Ia memiliki jiwa pergerakan yang tinggi. Jika boleh dikata, ia adalah penyebab sekaligus penenang huru-hara yang terjadi di kampus dulu. Tidak hanya di kampus, di tingkat kota juga.
Kita saling mengobrol hari itu. Begitu asyik hingga adzan Maghrib tiba. Banyak hal yang kita bicarakan tetapi ada satu hal yang menarik dari pembicaraan saya dan dia.
Saya bertanya apa yang ia sekarang lakukan setelah lulus dari kampus. Ia menjawab bahwa ia meneruskan usaha keluarga yaitu berjualan minyak wangi.
Sejujurnya saya agak mengernyitkan dahi. Agak aneh menurut saya. Setelah semua hal yang dilakukannya dulu sekarang ia meneruskan usaha keluarga (saya tidak mengatakan itu mudah atau itu pekerjaan yang hina, sama sekali tidak. Saya hanya agak heran saja). Saya kira ia masuk ke partai politik atau ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) atau NGO (Non-Govermental Organization). Ternyata tidak, ia sama seperti saya dan teman-teman. Bekerja secara biasa.
Saya kulik lagi, apa alasan ia meneruskan usaha itu. Ia mengatakan bahwa ia mau berkhidmat. Saya tekankan lagi, ia mau berkhidmat. Jawaban yang sederhana tetapi cukup menarik bagi saya.
Selepas obrolan panjang itu, saya pulang sambil merenungi apa yang saya dapat di obrolan tadi. Salah satunya adalah gagasan mengenai berkhidmat.
Saya kagum padanya. Ia mau menurunkan egonya untuk berkhidmat kepada keluarga dengan meneruskan usaha keluarganya. Hal yang tidak saya sangka.
Khidmat pada seharusnya bisa dilakukan di mana saja dalam bentuk apa saja. Hal yang terpenting adalah kita melakukan kebaikan bukan untuk kita tetapi kita persembahkan kebaikan tersebut untuk orang lain, untuk orang atau sesuatu yang kita khidmati. Teman saya mempersembahkan kebaikan berupa meneruskan usaha keluarga kepada keluarga nya. Ia melakukan itu bukan karena dirinya tetapi karena dipersembahkan untuk orang lain yaitu keluarga.
Pola pikir melakukan kebaikan, walau tidak besar, untuk kebaikan orang lain merupakan pola pikir yang saya rasa tidak berubah dari teman saya, hanya saja bentuknya yang berbeda. Jika dulu ia melakukan gerakan progresif untuk masyarakat, sekarang ia berwirausaha untuk keluarganya. Hal yang sama ialah, ia melakukan suatu kebaikan untuk kemaslahatan dan kebaikan orang lain, ia tidak egois.
Saya coba merenungkan hal itu selama beberapa hari pasca pertemuan itu dan mengambil pelajaran dari pertemuan itu.
Tentu saja, opini saya mengenai khidmat sungguh sangat bisa diperdebatkan atau dikritik. Saya sangat senang jika teman-teman pembaca mau mengkritik gagasan saya yang sangat miskin akan ide ini. Terakhir, saya ucapkan terimakasih telah mau neluangkan waktunya untuk membaca tulisan saya. Terimakasih.